Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bertemu dengan Presiden Asian Development Bank (ADB) Masatsugu Asakawa di Washington DC, Amerika Serikat di tengah-tengah agenda yang diadakan oleh International Monetary Fund(IM) bertajuk Spring Meetings 2024 IMF-World Bank.
Dalam pertemuan tersebut, Sri Mulyani membahas kelanjutan kerja sama uji coba pemensiunan dini salah satu pembangkit listrik tenaga batu bara sebesar 660 megawatt.
Dalam hal ini, ADB merupakan mitra dalam transisi energi Indonesia melalui kerja sama peluncuran Mekanisme Transisi Energi (ETM) pada Presidensi G20 Indonesia tahun 2022 lalu. Sri Mulyani bertemu bos ADB di penghujung agenda IMF.
"Dengan dukungan kuat dari ADB, saya optimis kerja sama ini dapat dijadikan contoh di level global mengenai bagaimana transisi energi dilakukan secara konkret,” tulis Sri Mulyani dalam unggahan akun Instagramnya dikutip Kamis (18/4).
Menurut Sri Mulyani, kerja sama ini juga menjadi bukti bahwa transisi energi tidak bisa dilakukan oleh negara itu secara sendiri. Sehingga, keterlibatan ADB dan sektor swasta dinilai sangat diperlukan.
“Saya sampaikan terima kasih atas seluruh dukungan dan kerja sama dari ADB kepada Indonesia selama ini. Semoga kerja sama dapat terus terjalin semakin kuat, khususnya dalam melanjutkan agenda transisi energi,” ujarnya.
Pensiun Dini PLTU Untungkan Warga Sekitar
Sebagai informasi, Hasil studi Yayasan Indonesia Cerah dan Institute for Policy and Development (Poldev) Unitrend, Universitas Gadjah Mada (UGM) mengungkap bahwa pensiun dini PLTU atau pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara lebih menguntungkan masyarakat yang tinggal di sekitarnya.
Peneliti Poldev, Erythrina Orie, mengatakan sebanyak 85% penduduk yang tinggal di daerah dekat PLTU batu bara Cirebon-1, PLTU Pacitan, dan PLTU Pelabuhan Ratu, tidak menggantungkan pendapatannya dari aktivitas pembangkit listrik tersebut.
“Masyarakat tidak bergantung pada PLTU batu bara, baik secara langsung atau tidak langsung,” kata Orie dalam keterangannya, Selasa (30/1).
Hasil studi juga mencatat, hanya sekitar 15% responden yang menggantungkan pendapatannya baik secara langsung maupun tidak dari aktivitas PLTU. Mayoritas kebijakan pengelola PLTU memilih penggunaan sistem pekerja alih daya atau outsourcing.