Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Vivi Yulaswati memaparkan tiga tantangan dalam implementasi pembangunan hijau (ramah lingkungan) di Indonesia.
Pertama adalah kurangnya kapasitas dan proses pengambilan keputusan untuk merencanakan serta melaksanakan kebijakan pembangunan hijau.
Dalam banyak kasus, kebutuhan untuk menerjemahkan kebijakan ke tingkat yang rinci dan operasional tidak dilakukan, sehingga perencanaan masih berada pada tingkat makro dan gagal mengatasi permasalahan mendasar.
“Jadi, kita masih punya problem dalam konteks kapasitas dan tentunya pada mekanisme dan proses pengambilan keputusan,” ujar Vivi dikutip dari Antara, Rabu (22/5).
Hal ini disampaikannya dalam acara peluncuran inisiatif pengembangan Green Academy bertemakan “Building Environmental Planning Capacity in Achieving Indonesia’s Golden Vision 2045” yang dipantau secara virtual di Jakarta, Rabu.
Tantangan kedua adalah permintaan yang tinggi terhadap investasi ramah lingkungan dalam transisi menuju pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim.
Menurut Vivi, Indonesia perlu menerapkan praktif dan investasi yang mengarah pada pembangunan ramah lingkungan ketikan menjalani proses transisi, penerapan ekonomi ramah lingkungan dan rendah emisi.
Selain itu, transisi ini juga mencakup transisi keterampilan dan tenaga kerja untuk mengisi pekerjaan ramah lingkungan (green jobs).
“Kita perlu investasi yang cukup besar, sehingga berbagai inovasi financing, skema-skema kolaborasi, blended finance, dan sebagainya itu menjadi salah satu yang mungkin akan lebih sering terdengar ke depan,” kata dia.
Adapun tantangan terakhir adalah kesenjangan dalam memperoleh teknologi dan inovasi ramah lingkungan guna mendukung penerapan pembangunan hijau yang berkelanjutan di masa depan. Karena itu, diperlukan penelitian dan pengembangan teknologi, didorong oleh peraturan dan kelembagaan yang mendukung.
“Kita dihadapkan pada persoalan kesenjangan penguasaan teknologi. Teknologi is out there, tapi mengakui akuisisinya tentunya butuh tangan-tangan dari (para akademisi), teman-teman perguruan tinggi untuk juga mengembangkan kapasitas di dalam konteks penguasaan teknologi dan inovasi,” kata Vivi.
Mengacu dari contoh penerapan pembangunan hijau di berbagai negara, ditemukan bahwa faktor kunci yang memperlambat isu-isu lingkungan terletak pada aspek keahlian teknis dan kapasitas kelembagaan yang harus optimal, termasuk kualitas penelitian, data, dan tata kelola.
“Beberapa akademi di Asia dan Eropa, ada yang namanya Sustainable Communities Leadership, Academy for Sustainable Communities, serta European Academy for Sustainable Development bisa menjadi contoh pengembangan platform pertukaran pengetahuan dan solusi-solusi yang bisa mengkatalis berbagai problem,” ujar Vivi.