Deret Risiko Fiskal Era Prabowo, Suku Bunga Tinggi hingga Beban Utang

Dok. Kementerian Pertahanan
Menteri Pertahanan Republik Indonesia, Prabowo Subianto tampil sebagai pembicara dalam sesi Special Address pada forum IISS Shangri-La Dialogue 2024
23/7/2024, 07.44 WIB

Pemerintah telah menyusun gambaran arah kebijakan pada 2025 yang terangkum dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2025 edisi pemutakhiran. Dalam dokumen tersebut juga dicantumkan sejumlah risiko fiskal yang akan dihadapi pada era pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming.

 Dikutip dari dokumen tersebut, pengelolaan fiskal ke depan dipastikan masih menghadapi risiko ketidakpastian. Risiko tersebut utamanya dipicu oleh dinamika perekonomian yang bergerak sangat dinamis, volatilitas harga komoditas, perubahan iklim, ekonomi digital, dan transisi demografi.

 "Hal itu perlu diantisipasi dan dimitigasi agar tidak mengganggu stabilitas ekonomi dan keberlanjutan fiskal," tulis dokumen tersebut dikutip Selasa (23/7).

 Dalam hal risiko ekonomi makro, kondisi perekonomian global dipastikan masih penuh dengan ketidakpastian dan perlu diwaspadai.   Kondisi tersebut tercermin dari pergerakan berbagai indikator utama, seperti pertumbuhan PDB global, volume perdagangan internasional, harga komoditas, inflasi, dan tingkat suku bunga.

 Dinamika perekonomian global perlu diimbangi dengan kebijakan Pemerintah yang tepat. Beberapa risiko global perlu diwaspadai serta menjadi faktor dalam penentuan asumsi dasar ekonomi makro 2025.

 Risiko tersebut antara lain tingkat suku bunga global yang bertahan tinggi, eskalasi tensi geopolitik, dan ruang kebijakan fiskal yang terbatas. Selain itu juga tingkat utang yang tinggi serta volatilitas pasar keuangan.

Utamakan Pembiayaan Dalam Negeri

Pembiayaan utang pemerintah berisiko terdampak oleh volatilitas di pasar keuangan. Pemerintah akan  mengutamakan pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri seiring dengan upaya untuk mewujudkan kemandirian pembiayaan APBN.

Sumber utama pembiayaan dalam negeri ini berasal dari SBN. Dengan begitu, pembayaran bunga utang dan refinancing utang pemerintah dipengaruhi oleh volatilitas pasar keuangan.

Sementara itu, risiko nilai tukar diperkirakan menurun seiring upaya Pemerintah untuk memprioritaskan pembiayaan dalam mata uang rupiah. Hal tersebut dilakukan dalam rangka pengembangan pasar keuangan domestik dan perluasan basis investor dalam negeri.

Sejumlah program kebijakan juga memiliki sejumlah risiko. Program energi baru dan terbarukan atau EBT pada tahap implementasinya terdapat beberapa risiko yang perlu dimitigasi.

 Terdapat risiko adanya peningkatan beban fiskal atas adanya biaya penggantian kompensasi atas kenaikan biaya listrik yang bersumber dari pembangkit berbasis energi terbarukan, serta kenaikan eksposur kewajiban kontinjensi atas pemberian dukungan fiskal berupa penjaminan untuk pengembangan EBT dan transisi energi.

Sebagai langkah mitigasi, akan dilakukan koordinasi dengan kementerian sektor terkait penyelesaian roadmap transisi energi, penyiapan alokasi dana kontingensi, dan koordinasi dalam penganggaran belanja kompensasi. Hal itu dilakukan untuk mengakomodasi potensi kenaikan BPP listrik atas pengembangan EBT.

Dalam program jaminan Kesehatan, dipastikan tingkat utilisasi pelayanan jaminan kesehatan mengalami tren peningkatan cukup signifikan setelah pandemi yang diiringi dengan kolektibilitas iuran yang belum optimal. Hal ini, berpotensi menimbulkan risiko defisit pada Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan yang dikelola oleh BPJS Kesehatan.

Kondisi tersebut memberikan tekanan terhadap ketahanan DJS Kesehatan pada 2025 sehingga potensi kristalisasi risiko defisit pada DJS Kesehatan semakin meningkat secara signifikan. Potensi defisit tersebut dapat berdampak pada penambahan belanja negara jika tidak dilakukan mitigasi yang baik.

Di sisi lain, pemenuhan kebutuhan anggaran belanja yang mengikat harus dialokasikan pemerintah, termasuk kewajiban belanja yang diatur oleh undang-undang. Pengalokasian kewajiban belanja tersebut dapat mempengaruhi ruang fiskal pemerintah karena dengan semakin besar alokasi belanja negara maka alokasi mandatory spending terutama untuk anggaran pendidikan akan semakin meningkat.

Salah satu risiko pembiayaan utang pada 2025 adanya risiko shortage pada pembiayaan utang. Hal ini didorong oleh kebutuhan pemenuhan pembiayaan melalui utang yang masih akan cukup besar baik untuk memenuhi defisit APBN, pembiayaan jatuh tempo, dan pembiayaan non utang.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan rencana anggaran pendapatan dan belanja negara atau RAPBN 2025 tetap sesuai dokumen KEM PPKF. Rinciannya, defisit APBN antara 2,29%-2,82%, pertumbuhan ekonomi 5,1%-5,5, inflasi 1,5%-3,5%, suku bunga SBN antara 6,9%-7,2%, dan kurs nilai tukar rupiah antara Rp 15.300-15.900 per dolar AS. 



Reporter: Rahayu Subekti