Ekonom Nilai Rendahnya Angka Inflasi Mengkonfimasi Pelemahan Daya Beli

ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/tom.
Calon konsumen memilih makanan kemasan yang dijual di sebuah minimarket di Padang, Sumatera Barat, Senin (2/12/2024).
Penulis: Rahayu Subekti
3/12/2024, 19.24 WIB

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi pada November 2024 hanya 1,55% secara tahunan. Sejumlah ekonom justru mengkhawatirkan kondisi ini lantaran disebabkan rendahnya daya beli. 

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet mengatakan pemerintah memang ingin menjaga angka inflasi sepanjang 2024 dengan memfokuskan pada level harga kebutuhan pangan tetap terjangkau  agar inflasi tidak meningkat. Akan tetapi, kebijakan itu juga membawa dampak ikutan terjadi deflasi karena ada perlambatan konsumsi. 

“Dengan kata lain daya beli masyarakat relatif melambat terutama pada 2024,” kata Yusuf kepada Katadata.co.id, Selasa (3/12).

Yusuf menjelaskan, hal tersebut akan memberikan implikasi ke perekonomian mengingat konsumsi rumah tangga merupakan komponen terbesar dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB). Sementara itu, daya beli masyarakat yang tertekan akhirnya ikut mempengaruhi konsumsi rumah tangga .

“Masyarakat akan lebih menyesuaikan pola konsumsi mereka dan akhirnya ketika mereka melakukan penyesuaian konsumsi rumah tangga ini terlihat pada angka agregat di mana pertumbuhan konsumsi rumah tangga mengalami perlambatan terutama di tahun ini,” ujar Yusuf.

Lebih jauh Yusuf mengatakan untuk pola musiman masih ada peluang masyarakat terutama kelompok kelas menengah ke atas akan melakukan spending pada akhir tahun ini. Hal ini dikarenakan libur Natal dan tahun Baru 2024/2025 yang biasanya dihabiskan dengan travelling dan akan meningkatkan inflasi, terutama jasa transportasi.

PPN 12% Bisa Mengoreksi Angka Inflasi 2025

Yusuf menilai inflasi 2025 juga berpotensi akan terkoreksi. Menurut Yusuf, pada kuartal I 2025, inflasi berpotensi akan relatif lebih tinggi karena momentum Ramadhan dan Idul Fitri yang umumnya bisa menggerek kenaikan harga. Meski demikian, ia mengatakan pemerintah berencana menerapkan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN 12% pada awal 2025. 

“Saya kira hal ini akan menjadi semacam faktor penyesuaian yang bisa mengubah proyeksi angka inflasi terutama di kuartal awal 2025,” kata Yusuf.

Menurut dia, dengan melihat kinerja inflasi hingga November 2024, kemungkinan besar target inflasi 2,5% plus minus 1% itu akan tercapai. Namun harus didalami dan dievaluasi penyebab tercapainya inflasi tersebut.

“Apakah tercapainya angka inflasi tersebut semata-mata karena terjaganya harga komoditas pangan yang selama ini punya beban besar terhadap lonjakan inflasi atau justru karena melambatnya permintaan barang ataupun jasa dari masyarakat karena tekanan daya beli yang mereka dapatkan,” ujar Yusuf.

Pemerintah Harus Berikan Stimulus

Dalam kasus inflasi yang didorong rendahnya permintaan, Yusuf menilai, pemerintah perlu memberikan stimulus. Khususnya kepada ekonomi atau masyarakat.

“Hal itu bisa diterapkan melalui bantuan sosial atau sejenisnya untuk menjaga level inflasi,” kata Yusuf.

Senada dengan Yusuf, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira juga mengatakan pemerintah harus segera diberikan stimulus. Tak hanya itu, pemerintah juga harus langsung membatalkan semua kebijakan fiskal yang tidak sejalan pada 2025.

“Pembatalan ini termasuk tarif PPN 12% dan iuran BPJS kesehatan naik yang akan dibebankan kepada kelas menengah ke bawah pada 2025,” ujar Bhima. 

Dia menilai sekarang ini tantangan terbesar pemerintah yaitu jangan sampai inflasi yang rendah berbalik meningkat. Terlebih jika penyebabnya bukan karena kenaikan daya beli masyarakat, tapi kebijakan fiskal yang mendorong harga-harga barang dan jasa meningkat signifikan pada 2025. 



Reporter: Rahayu Subekti