Purbaya Perintahkan DJP Tunda Pajak Pedagang Online Sampai Ekonomi Tumbuh 6%

ANTARA FOTO/Abdan Syakura/agr/foc.
Pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah mengemas pakaian yang laku terjual di Studio Nukadua, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Senin (9/12/2024).
Penulis: Rahayu Subekti
20/10/2025, 19.13 WIB

Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bimo Wijayanto mengatakan pemerintah akan menunda implementasi pungutan pajak bagi para pedagang online. Keputusan itu menurut Bimo sesuai dengan arahan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. 

Kementerian Keuangan saat masih dipimpin oleh Sri Mulyani Indrawati sempat menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025. Aturan ini memastikan perusahaan e-commerce memungut pajak para pedagang online.

“Memang ini ada arahan terbaru dari Pak Menteri yang terkait dengan pajak e-commerce. Nah itu yang memang ditunda sampai nanti sesuai dengan arahan Pak Menteri, sampai katakanlah pertumbuhan ekonomi bisa lebih optimis ke angka 6%,” kata Bimo dalam Media Briefing di Kantor Pusat DJP Kemenkeu, Jakarta, Senin (20/10).

Bimo menjelaskan, jika ekonomi sudah tumbuh 6% maka setiap orang yang sudah mempunyai kemampuan ekonomi pada level tertentu. Termasuk juga bagi UMKM yang penghasilannya sudah diatas Rp 500 juta per tahun.

“Maka dengan sendirinya mereka harus melaporkan SPT atas aktivitas ekonominya yang memang terkena pajak,” ujarnya.

Kenapa Pemerintah Pungut Pajak E-commerce?

Pemerintah sebelumnya berencana memungut pajak dari pedang online sebesar 0,5%, khusus untuk pedagang yang memiliki omzet Rp 500 juta per tahun.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Rosmauli menjelaskan, latar belakang diterbitkannya PMK tersebut adalah pesatnya perkembangan perdagangan melalui marketplace di Indonesia. Terutama setelah pandemi Covid-19 yang mendorong perubahan perilaku konsumen ke arah digital.

“Perkembangan ini diperkuat oleh tingginya jumlah penduduk Indonesia, meningkatnya penggunaan smartphone dan internet, serta kemajuan teknologi finansial yang semakin memudahkan transaksi secara daring,” kata Rosmauli.

Menurutnya, kondisi tersebut menciptakan ekosistem perdagangan berbasis digital yang terus tumbuh. Untuk itu, diperlukan pengaturan yang mendorong kemudahan administrasi perpajakan.

“Ini khususnya bagi pelaku usaha yang bertransaksi melalui sistem elektronik,” ujar Rosmauli.

Selain itu, pengaturan tersebut juga bertujuan menciptakan keadilan berusaha antara pelaku usaha digital dan konvensional. Ia juga menyebut, praktik kebijakan perpajakan yang serupa sudah diterapkan di beberapa negara seperti Meksiko, India, Filipina, dan Turki.




Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Rahayu Subekti