“Membangun kehidupan lebih sulit dari pada membangun beton.”
Furqon, 43, melontarkan kata-kata ini ketika ditemui pekan lalu. Petang itu, bersamanya Toni dan beberapa warga Kampung Bayam, Papanggo. Ditemani teh manis dan kerupuk kicimpring buatan Ibu Bariyah, obrolannya makin mengalir.
Di sana ada jalan setapak selebar dua meter membelah kampung. Jalan itu digenangi air, berwarna hitam pekat, aroma khas comberan menguar memenuhi ruang yang sesak.
Toni memilih tetap tinggal di Kampung Bayam. Lebih dari 10 tahun ia hidup bertetangga bersama ratusan keluarga lainnya di kampung daerah Tanjung Priok, Jakarta Utara itu. Namun kini hanya tersisa 50 keluarga.
Pembangunan Jakarta International Stadium (JIS) dengan kapasitas 82.000 penonton berdampak pada sekitar 550 keluarga. Mereka terpaksa meninggalkan Kampung Bayam.
Para penduduk itu masih berjuang menagih janji PT Jakarta Propertindo alias Jakpro. BUMD milik Pemprov DKI Jakarta, pelaksana proyek stadion itu, berjanji menyediakan hunian pengganti permanen bagi warga.
Sebagian rumah kini sudah rata dengan tanah. Bangunan lainnya setengah hancur, meski masih berpenghuni. Jalanan, gang-gang, begitu berantakan. Kubangan air menghitam, sementara fasilitas PAM dihentikan ke kampung ini.
Dalam keterangan Jakpro kepada Katadata.co.id, proses pembangunan JIS tetap memperhatikan kepentingan masyarakat. Misalnya, mengajak warga Kampung Bayam aktif dalam program pemukiman kembali atau resettlement action plan. Pencairan kompensasi pun dilakukan sejak Juli tahun lalu. Lebih dari 590 kepala keluarga memperoleh kompensasi.
“Warga yang telah menerima kompensasi diberikan kesempatan untuk mengosongkan area eksisting dan melakukan pembongkaran mandiri dengan jangka waktu maksimal 30 hari sejak dana diterima. Hal ini tertuang dalam surat pernyataan kesepakatan yang ditandatangani oleh masing – masing KK penerima kompensasi”, kata Melisa Sjach, Corporate Communications Manager Jakpro.