Kita Tidak Sedang Krisis Besar, tapi Harus Hati-hati

ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA
Pemandangan gedung bertingkat terlihat dari ketinggian di Jakarta, Jumat (9/8/2019). Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II tahun 2019 sebesar 5,05 persen (year on year/yoy), atau lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 5,27 persen (yoy).
Penulis: Luhut Binsar Pandjaitan
Editor: Yura Syahrul
7/9/2019, 09.37 WIB

Pilar ketiga adalah komitmen mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, pelabuhan laut, logistik, dan industri perkapalan, serta pariwisata maritim.

Pilar keempat adalah diplomasi maritim, yang mengajak semua mitra Indonesia bekerja sama di bidang kelautan. “Bersama-sama kita harus menghilangkan sumber konflik di laut, seperti pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut,” ujarnya.

Pilar kelima, sebagai negara yang menjadi titik tumpu dua samudera, Indonesia berkewajiban membangun kekuatan pertahanan maritim.

Sebagai sebuah nomenklatur baru yang dibentuk bersama kelahiran Kabinet Kerja pada 27 Oktober 2014, kita semua di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman mendapat tugas yang sangat berat untuk merumuskan visi dan misi Presiden Jokowi itu menjadi rencana aksi yang bisa diimplementasikan secepat mungkin dan itu meliputi beberapa isu utama yang berkaitan dengan ekonomi maritim, budaya bahari, dan kedaulatan maritim Indonesia.

Beberapa waktu lalu, saya menghadiri Konferensi Kelautan Dunia (World Ocean Conference) yang dilaksanakan di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York. Dalam konferensi tersebut, mewakili Indonesia, saya mendapat kehormatan untuk duduk sebagai Co-Chair dan sekaligus mewakili seluruh negara di kawasan Asia-Pasifik.

Pada kesempatan itu, saya selaku juga Ketua Delegasi RI membawa sejumlah agenda kepentingan nasional Indonesia, di antaranya Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI) dan penanganan sampah plastik di laut serta menawarkan kerja sama penanganannya.

Pengalaman di atas menunjukkan bahwa visi maritim Indonesia yang diangkat oleh Presiden Joko Widodo telah mendapat perhatian serta apresiasi dunia internasional. Ini berarti visi kemaritiman ini sudah sepatutnya diimplementasikan oleh seluruh komponen negara dalam mendukung pencapaian tujuan nasional.

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman RI mencoba menerjemahkan narasi besar Presiden di atas dengan tiga butir misi pembangunan maritim dan sumber daya alam. Pertama adalah memperkuat jati diri Indonesia sebagai negara kepulauan dan bangsa bahari yang berdaulat dan berkarakter budaya Nusantara.

Kedua, meningkatkan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan untuk kesejahteraan anak bangsa sepanjang masa. Ketiga, mempercepat penyediaan serta pemerataan infrastruktur dan konektivitas untuk pengembangan wilayah yang selaras dalam satu kesatuan ruang.

Karena itulah, kami telah juga merumuskan lima Poros Maritim Dunia untuk dijadikan acuan utama dalam ocean policy kita. Satu, membangun kembali budaya maritim Indonesia. Dua, menjaga dan mengelola sumber daya laut kita. Tiga, memberi prioritas pada pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim. Empat, mengembangkan diplomasi maritim, membangun kemitraan. Lima, membangun kekuatan pertahanan maritim.

Kami memang bertekad membangun kembali budaya maritim Indonesia karena sejarah telah mengajarkan kepada kita bahwa kerajaan-kerajaan besar yang pernah berjaya di Nusantara dengan cakupan wilayahnya jauh menyeberang samudera hingga Pulau Madagaskar, umumnya memiliki karakter sebagai sebuah bangsa maritim. Bangsa-bangsa penjajah dari Eropa yang datang ke Nusantara mulai abad ke-16 menyadari karakter demikian tidak mungkin atau sulit untuk dijajah atau dikuasai.

Oleh karena itu, pihak penjajah, yang umumnya juga merupakan bangsa maritim, selalu berusaha melakukan penghancuran jati diri bangsa ini dan dengan segala cara mengubah karakter bangsa maritim kita menjadi orang-orang berwawasan kontinental, inward-looking, dan terpecah-belah.

*

Sidang Kabinet Paripurna (ANTARA FOTO/PUSPA PERWITASARI)

Saya ingin katakan bahwa Indonesia 2014-2019 dan Indonesia 2019-2024 tidak akan banyak berbeda dalam gaya kepemimpinannya. Tetapi, bila dibandingkan dengan Indonesia sebelumnya, ada perbedaan yang cukup mencolok.

Pembeda utama terletak pada sosok pemimpinnya. Pemimpin sekarang (dan juga lima tahun ke depan), Pak Jokowi, tidak korupsi. Pak Jokowi, menurut hemat saya, adalah seorang pemimpin yang sederhana, memberikan contoh baik, dirinya maupun keluarganya tidak terlibat bisnis dengan pemerintah. Sehingga saya dan para pembantunya pun tidak ada bisnis apa pun dalam pemerintahan. Karena prinsip keteladanan, yang saya percayai sebagai perwira, adalah kata kunci dari suatu leadership.

Selain Pak Jokowi, dari sisi pemerintahan sekarang kita juga memiliki Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan, yang kredibilitasnya di mata dunia tidak diragukan lagi. Hal-hal tersebutlah yang menjadi salah satu tumpuan kepercayaan investor global terhadap Indonesia.

Perbedaan kedua adalah pada sisi fundamental ekonomi sekarang yang lebih baik. Pertumbuhan ekonomi mencapai 5,27 persen pada kuartal kedua 2018, tertinggi sejak 2014. Inflasi pun masih terkendali pada angka 3,20 persen per Agustus 2018. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan pemerintah dalam menjaga stabilitas harga cukup baik.

Rasio utang luar negeri kita juga cukup rendah pada 34 persen (60 persen pada periode 1997-1998). Ekonomi kita pun sebagian besar didorong oleh sektor domestik dan investasi, hanya sekitar 20 persen kontribusi ekspor terhadap PDB kita. Hal ini akan meminimalkan dampak ketidakpastian ekonomi dunia seandainya terus berlanjut.

(Artikel ini disunting dari buku “Menuju 5 Besar Dunia” yang dirilis di Jakarta pada 12 September 2019.)

Halaman:
Luhut Binsar Pandjaitan
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman RI

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.