Soal Tiket ‘Mahal’ dan Nasib Maskapai Nasional

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Pesawat Garuda di Hangar GMF,  Tanggerang,  Banten (2/3). Saat ini Garuda Indonesia mengoperasi 24 pesawat berbadan lebar Aibus A330 sementara unit biaya rendahnya Citilink mengoperasikan 51 unit A320. 
Penulis: Metta Dharmasaputra.
Editor: Redaksi
12/6/2019, 09.35 WIB

Sebagai contoh, untuk rute Jakarta-Yogyakarta, berdasarkan aturan baru TBA maka harga tiket pesawat hanya di kisaran Rp 297-860 ribu (plus biaya lainnya).

Harga itu beririsan dengan tiket Kereta Api kelas eksekutif Jakarta-Yogyakarta, yang berkisar Rp 260-430 ribu. Itu pun dari 24 perjalanan kereta dalam sehari, hanya 6 yang harga tiketnya lebih rendah dari tarif batas bawah (TBB) pesawat kelas ekonomi.

Dengan kata lain, sejumlah tiket kereta api bahkan lebih mahal dari tiket pesawat. Padahal, lama perjalanan yang ditempuh mencapai 7,5-8 jam. Sedangkan pesawat hanya butuh sekitar satu jam penerbangan.

Kelima, perbandingan harga antarnegara. Harga rata-rata per jam penerbangan di Indonesia terbilang paling rendah dibandingkan dengan negara lainnya.

Harga penerbangan domestik di Indonesia per jamnya hanya berkisar Rp 719 ribu. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata di kawasan lainnya, seperti Eropa (Rp 1,17 juta) dan Amerika Serikat (Rp 1,39 juta).

Pada 2017, Indonesia bahkan tercatat sebagai negara dengan harga tiket pesawat domestik terendah keempat dari 80 negara tujuan wisata dunia. Hanya Moldova, Brasil dan India yang berada di bawah Indonesia.

Keenam, keberlangsungan bisnis maskapai. Murahnya harga tiket, tentu saja menguntungkan konsumen. Tapi perlu digarisbawahi, jika nilainya tak lagi mampu menutup biaya operasional maskapai maka akan mengancam kesinambungan bisnis perusahaan dan pada akhirnya juga membahayakan penumpang.

India bisa menjadi salah satu contoh. Dengan harga tiket domestik yang murah, bahkan lebih rendah dari Indonesia, dua maskapai besar di negeri itu kolaps dalam tujuh tahun terakhir, yakni Kingfisher (2012) dan Jet Airways (2019).

Indonesia juga punya catatan buruk soal ini. Dalam dua dasawarsa terakhir, sebanyak 24 maskapai penerbangan domestik gulung tikar. AdamAir, BataviaAir, Merpati, Sempati, Bouraq, Jatayu, WingsAir adalah sebagian dari nama-nama yang kini tinggal menjadi kenangan di langit nusantara.

Terakhir Sriwijaya Air Group diambil alih pengelolaan operasionalnya oleh Garuda Indonesia. Dengan begitu, kompetisi di udara yang tersisa tinggal antara Garuda Indonesia Group (Garuda, Citilink, Sriwijaya), Lion Air Group (LionAir dan Batik Air), dan AirAsia Indonesia asal Malaysia.

Jika kini muncul tuduhan adanya duopoli atau oligopoli, bisa jadi ini justru terbentuk dengan sendirinya. Buah dari kondisi industri penerbangan nasional yang tidak sehat akibat inefisiensi dan perang harga, yang membuat banyak maskapai berguguran.

Di industri pesawat LCC, Air Asia dan Citilink sesungguhnya termasuk maskapai yang berbiaya dan bertarif terendah di dunia. Tapi, penting juga dilihat bahwa kondisi keuangan mereka tidak dalam kondisi segar bugar.

PT AirAsia Indonesia Tbk. tercatat menangguk rugi sebelum pajak sekitar Rp 1 triliun. Sementara itu, PT Lion Mentari Airlines kini bahkan seperti diberitakan kontan.co.id, mengajukan permohonan penundaan pembayaran jasa kebandaraan kepada PT Angkasa Pura I.

Menuju Harga Wajar

Berbagai gambaran di atas menunjukkan bahwa rezim tiket murah sesungguhnya perlu segera diakhiri. Persepsi publik pun perlu digeser menuju harga tiket wajar yang menjamin keberlangsungan bisnis maskapai dan menjamin keselamatan penumpang.

Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2015 lalu sudah menyiratkan perlunya penetapan harga tiket yang lebih realistis. Penentuan harga tiket Garuda dinilai tidak optimal. Lembaga ini juga menekankan, perhatian pada aspek keberlangsungan bisnis amatlah penting, karena pendirian BUMN tak lepas dari usaha mencari laba.

Mengacu pada rekomendasi BPK itu, ada sejumlah hal yang perlu juga dilakukan oleh pemerintah.

Pertama, perlu dilakukan evaluasi terhadap seluruh mata rantai komponen biaya yang membebani industri penerbangan. Salah satunya menyangkut pengadaan avtur yang lebih kompetitif. Antara lain, dengan membuka peluang masuknya pemasok avtur selain Pertamina via tender, seperti yang sudah dilakukan oleh PLN.

Kedua, perlu diciptakan kesetaraan lahan bisnis (equal playing field) di antara para maskapai. Jika perlu, adakan skema insentif atau dana subsidi (public service obligation) untuk layanan maskapai ke daerah-daerah sepi penumpang.

Sebab, menjadi tidak adil, ketika Garuda Group diharuskan beroperasi ke rute-rute sepi penumpang demi menopang program pariwisata, maskapai swasta diperbolehkan hanya beroperasi di jalur-jalur gemuk yang menguntungkan. Tingkat kompetisi menjadi timpang.

Ketiga, pemerintah perlu melakukan pengawasan ketat dan menindak tegas maskapai yang mematok harga tiket secara tidak wajar.

Dengan berbagai langkah itu, diharapkan industri penerbangan nasional bisa dibangun secara sehat dan berkesinambungan. Harga tiket pun secara bertahap akan bergeser menuju harga wajar yang merupakan titik ekuilibrium baru bagi maskapai dan penumpang.

Halaman:
Metta Dharmasaputra.
Pendiri Katadata Insight Center

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.