Nasabah Kaya Perlu Jadi Pemodal Start-up

Ilustrator: Betaria Sarulina
Penulis: Michael Reily
Editor: Pingit Aria
19/2/2018, 15.18 WIB

Ada pemikiran untuk melibatkan perbankan. Tapi yang harus diingat, skema pendanaan untuk start-up itu bukan utang, tidak bisa.

Contohnya Kredit Usaha Rakyat (KUR). KUR mau buat start-up, hari ini diberikan pokok pinjamannya, bulan depan harus dicicil, ya tidak masuk. Bahkan dengan bunga 0% pun, start-up-nya belum punya revenue, belum punya cash flow, yang ada adalah spending saja. Pasti collectibility-nya jelek kalau bicara kredit perbankan.

Lalu apa yang bisa dilakukan?

Kami mau mencoba model yang dilakukan di India. Perbankan di sana fungsinya hanya sebagai agent monitoring, yang mempertemukan antara high networth individual-nya, wide management customer-nya, dengan start-up.

Jadi pemerintah sebagai mediator?

Bicaranya jangan pemerintah, tetapi bank. Skema ini sebenarnya di perbankan syariah sudah ada ruangnya, nama akadnya mudharabah muqoyyadah.

Misalkan Anda punya uang, lalu bilang, ‘Saya punya uang, dititipkan untuk dikelola di perbankan syariah dengan catatan hanya boleh diinvestasikan ke start-up.’ Itu namanya mudharabah muqoyyadah. Itu yang dilakukan di India dengan ‘India Fund Festival’.

Bagaimana kesiapan penggunaan model Festival Pendanaan itu?

Masih tahap sangat awal sebelum kami meluncurkan Indonesia Fund Festival. Di India ini sudah berjalan, tapi di sini masih menjadi hal baru. Saya mencoba menginspirasi teman-teman di perbankan dan tentunya nanti harus dielaborasi juga dengan kawan-kawan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Ini juga tidak sebatas lingkup perbankan. Saya sebenarnya ingin juga mendorong nasabahnya, masyarakatnya, untuk bergerak ke arah angel investing. Bagaimana agar nasabah-nasabah kaya high networth individual itu bisa menjadi pemodal start-up.

Ada insentif yang akan ditawarkan untuk mereka?

Bayangan saya, sederhananya adalah seperti pengurangan pajak yang sekarang diberikan untuk zakat. Jadi untuk kegiatan filantropi yang digunakan untuk membiayai riset dan pengembangan, bisa diberikan pengurangan pajak seperti yang terjadi di Amerika Serikat.

Ini kan sebenarnya bukan hanya masalah di sektor ekonomi kreatif. Masalah terbesar di negara ini adalah hilirisasi penelitian. Bagaimana agar penelitian-penelitian yang dihasilkan oleh lembaga riset, baik di dalam maupun luar kampus agar bisa menjadi industri. Masalahnya, siapa yang mau mendanai penelitian yang 90% kemungkinannya gagal kalau tidak ada insentifnya? Start-up juga sama.

Selain filantropi, bagaimana potensi crowdfunding untuk pendanaan start-up?

Crowdfunding salah satu pilihan yang menarik. Masalahnya di Indonesia kita belum bergerak ke arah crowdfunding investment. Kalau social crowdfunding seperti KitaBisa.com misalnya, tidak ada masalah, karena itu sumbangan. Tapi reward crowdfund belum jalan juga.

Apakah ide-ide ini sudah mulai dibicarakan dengan perbankan atau OJK?

Kalau dibicarakan sudah. Termasuk inisiatif untuk menyelenggarakan Indonesia Fund Festival ini, bekerja sama dengan India Fund Festival juga.

Halaman:
Michael Reily
Reporter: Michael Reily

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.