Potensi Masalah Skema Kontrak Bagi Hasil Gross Split

Dok. Chevron
Penulis: Madjedi Hasan
2/12/2017, 09.00 WIB

Pada awal tahun 2017, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengumumkan skema kontrak dengan pembagian hasil berdasarkan produksi (gross split).  Tapi, saat ini sulit menentukan apakah skema gross split akan mendorong atau menghambat investasi migas. Apalagi, ada  perbedaan hasil antara operasi untuk lapangan-lapangan lama dibandingkan dengan yang baru berproduksi. 

Selain itu, masih ada pertanyaan mengenai skema baru ini. Salah satunya adalah, apakah skema gross split akan mendorong investasi untuk kegiatan eksplorasi di wilayah-wilayah kerja yang baru. 

Di sisi lain, skema kontrak lama yang menggunakan cost recovery telah memberikan kesempatan kepada investor untuk mendapatkan pengembalian biaya eksplorasi dan pengembangan lebih awal. Ini tentu akan memperbaiki keekonomian kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract/PSC) melalui pengurangan risiko.

10 potensi masalah

Setidaknya ada 10 potensi permasalahan untuk penerapan konsep gross split dalam PSC. Pertama, mengenai cost recovery yang menjadi inti pokok dari konsep PSC itu sendiri. Pengawasan dan persetujuan biaya operasi hulu migas adalah bagian tidak terpisahkan dari kedaulatan atas sumber daya (mineral rights) yang secara UUD 1945 berada di tangan negara dan kepemilikan seluruh aset oleh negara.

Hak kelola yang terefleksi dalam bentuk program kerja dan anggaran belanja yang disepakati adalah perwujudan dari kedaulatan negara atas kegiatan usaha hulu migas. Kepastian dasar hukum juga sangat penting bagi pihak investor agar status kontrak yang mendasari keputusan investasi bersifat kuat dan tidak akan menimbulkan permasalahan jangka panjang.  Dengan demikian, Gross Split PSC tidak bisa diatur hanya berdasarkan Peraturan Menteri (Permen), tetapi harus dengan Peraturan Pemerintah.

Kedua, konsep gross split dalam PSC serupa dengan konsep kontrak migas berdasar Royalty and Tax yang berlaku di banyak negara lain. Bahkan, Indonesia sebelum kemerdekaan, juga menerapkan royalty and tax pada kontrak 5A yang berdasarkan Indische Mijnwet.  

Namun, pemerintahan Soekarno kemudian mengganti Kontrak 5A dengan Kontrak Karya pada awal tahun 1960-an.  Dasarnya adalah keinginan Indonesia mengendalikan biaya eksplorasi dan eksploatasi. Karena itu dasar pembagian hasil produksi didasarkan pada net (bersih).

Sementara, dengan gross split negara tidak lagi menanggung implikasi biaya operasi wilayah kerja. Artinya Pemerintah akan relatif sulit memaksakan agar proses persetujuan kegiatan usaha, hak kelola operasi, dan kepemilikan serta pemanfaatan fasilitas operasi hulu migas tetap berada di tangan SKK Migas sebagai wakil pemerintah dalam kontrak kegiatan hulu migas.

Ketiga, konsep gross split PSC meniadakan cost recovery dan karenanya mirip dengan bisnis biasa. Jadi kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) sepenuhnya memiliki kebebasan penuh untuk membangun, menjual, dan berbagai kepentingan pihak KKKS.

Hal ini dapat menimbulkan permasalahan saat masa kontrak wilayah kerja telah berakhir, dimana pihak kontraktor berikutnya, termasuk SKK Migas, mungkin harus membeli fasilitas produksi hulu migas dari pihak KKKS sebelumnya. 

Keempat, dengan konsep gross split, pemerintah akan lebih sulit menjalankan kebijakan mengutamakan kandungan biaya lokal (TKDN) dalam operasi hulu migas. Sebab, KKKS sepenuhnya berkepentingan mengutamakan kepentingan bisnis korporasi sepihak, bahkan mengutamakan pengadaan barang dan jasa dari perusahaan afiliasinya sendiri. 

Hal tersebut berpotensi mengurangi efek berantai bagi perekonomian nasional.  Perlu digarisbawahi bahwa sektor penunjang kegiatan hulu migas merupakan hal yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi.

Kelima, industri hulu migas membutuhkan teknologi dan tingkat keahlian yang tinggi.  Mengingat KKKS asing memiliki sepenuhnya hak atas teknologi yang digunakan dalam operasi wilayah kerja, pemerintah akan mengalami kesulitan untuk menerapkan kebijakan alih teknologi dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) tenaga kerja nasional Indonesia.

KKKS asing akan mendahulukan kepentingan bisnis korporasi.   Hal ini dalam jangka panjang dapat merugikan masa depan strategis nasional. 

Keenam, skema kontrak tradisional lebih konsisten dalam pembagian hasil. Risiko komersial masa eksplorasi ditanggung sepenuhnya oleh investor, tapi saat produksi dilakukan pada tingkat profit to be split.

Jadi, seluruh potensi akibat kenaikan harga migas, kenaikan volume produksi, efisiensi biaya akan dibagi dan ditanggung bersama secara proporsional. Begitu juga sebaliknya, jika ada kerugian akibat penurunan harga migas, penurunan volume produksi, kenaikan biaya operasi akan selalu konsisten

Ketujuh, pembagian produksi dengan skema gross split PSC berpotensi menyebabkan KKKS mendapatkan bagian yang jauh lebih besar daripada PSC tradisional saat terjadinya upsides (misalnya kenaikan harga). Namun akibatnya juga menanggung sendiri kerugian saat terjadinya downsides.

Sementara itu dalam kedua bentuk kontrak, negara tidak akan pernah mengalami kerugian. Sebab, negara akan selalu mendapatkan hasil atau positive cashflow mengingat negara tidak turut mengeluarkan investasi menanggung risiko finansial dan karena adanya FTP.

Sementara itu, gross split PSC tidak akan memberikan perlindungan yang sama kepada investor terhadap terjadinya penurunan produksi atau harga. Tentunya pada saat tingkat harga minyak yang rendah saat ini, gross split PSC tidak akan menarik bagi investor secara keekonomian. 

Kedelapan, penentuan besaran pembagian gross split yang memadai bagi pemerintah dan investor cukup sulit. Sebab, besaran bagi hasil tergantung kepada asumsi jangka panjang untuk harga migas, volume produksi, biaya investasi dan operasi serta waktu yang tepat.

Mengingat industri hulu migas bersifat jangka sangat panjang, sulit  mendapatkan asumsi variabel keekonomian jangka panjang yang dianggap wajar oleh kedua belah pihak.  Perlu digarisbawahi bahwa besaran gross split semestinya dapat dibuat dengan sliding scale, tergantung pada faktor keekonomian seperti IRR. Tujuannya agar ada fleksibilitas keekonomian yang dapat membantu, selain tersedianya berbagai insentif fiskal.

Kesembilan, dalam gross split PSC, bagian produksi jatah KKKS yang tentunya lebih kecil dari 90% atau 80% akan membuat pengembalian sunk costs jauh lebih lama hingga 8-10 tahun. Ini akan sulit untuk memenuhi tingkat keekonomian pengembalian modal yang memadai, terutama saat harga minyak rendah saat ini.

Dengan demikian, konsep gross split PSC berpotensi tidak akan menarik minat investor untuk masuk ke usaha hulu migas di Indonesia. Perlu dikaji apakah besaran gross split juga dibedakan di awal produksi lapangan baru, selain juga dibuat dengan sliding scale berdasarkan tingkat keekonomian. 

Kesepuluh, tidak adanya konsep cost recovery yang diatur dalam kontrak berpotensi menghilangkan prinsip uniformity principle untuk sisi kontraktual dan perpajakan. Sehingga perlakuan biaya dapat berpotensi disamakan dengan tax deductibility sebagaimana di perusahaan biasa di industri lainnya.

Mengingat peraturan perpajakan umum tidak dibuat berdasarkan karakter khusus industri hulu migas, hal ini dapat berpotensi memperburuk keekonomian yang tidak menarik iklim investasi. Sebagai contoh, masa depresiasi dapat jauh lebih panjang dan perlakuan capital dan non-capital costs dapat sangat berbeda. 

Konsistensi Gross Split

Jadi, konsep gross split PSC perlu dikaji lebih mendalam dan menyeluruh, dengan prinsip kehati-hatian. Kajian dilakukan dengan dialog terbuka bersama berbagai pelaku industri hulu migas. Perlu pula dikaji berbagai alternatif lain yang mungkin tidak kalah baik atau bahkan lebih baik untuk mencapai objektif yang sama dengan apa yang ingin dicapai dari bentuk gross split PSC. 

Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah adanya bentuk hybrid kontrak hulu migas. Sulit untuk dapat menarik minat investasi apabila secara komersial keekonomian sesungguhnya sangat mirip royalty and tax, namun pengaturannya masih kurang lebih sama dengan PSC tradisional.

Salah satu manfaat utama dari diadopsinya sistem gross split PSC adalah lebih praktisnya proses persetujuan dan pengambilan keputusan bisnis karena minimnya keterlibatan lembaga pemerintah pelaksana  kegiatan hulu migas. 

Madjedi Hasan
Konsultan dan Mantan Eksekutif di Industri Hulu Migas Selama Lebih 50 Tahun

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.