Komitmen Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menuntaskan revisi Undang-Undang Migas pada Desember 2016, kembali tidak tercapai. Hingga pertengahan Februari ini, belum ada tanda-tanda DPR akan mengesahkan revisi UU tersebut. Padahal, revisi UU Migas No. 22/2001 tersebut sudah lebih tiga tahun ngendon di DPR.
Molornya pengesahan revisi UU Migas semakin mengindikasikan adanya pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk mafia migas, berupaya secara sistematik menghentikan proses revisi tersebut. Tujuannya adalah mempertahankan status quo UU Migas 22/2001 agar kepentingan mereka tidak terusik oleh perubahan UU Migas.
Padahal, pengesahan revisi UU Migas sangat urgent, salah satunya untuk memberikan kepastian dalam investasi di sektor migas. Selain itu, UU Migas No. 22/2001 dinilai sangat liberal dan melanggar konstitusi.
Keputusan uji materi Mahkamah Konstitusi (MK) hingga tiga kali membuktikan bahwa UU Migas bernuansa liberal dan tidak sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945. Karena itu, revisi UU Migas merupakan suatu keniscayaan yang harus segera disahkan oleh DPR.
Subtansi revisi UU Migas No. 22/2001 paling tidak mengubah beberapa pasal yang dinilai melanggar UUD 1945. Revisi itu harus menempatkan peran Pertamina sebagai representasi negara dalam penguasaan dan pengelolaan lahan migas.
Sebagai representasi negara, Pertamina harus diberikan privilege, di antaranya hak utama dalam penawaran lahan migas yang baru (New Block Offered), hak utama untuk mengakuisisi hak kelola pada existing contract, dan hak utama mengelola lahan yang kontraknya sudah berakhir (expiring contract).
Selain itu, revisi UU Migas harus menghapus kelembagaan SKK Migas karena tidak sesuai dengan UUD 1945. Fungsi SKK Migas sebagai regulator dan pengawasan di sektor hulu migas diserahkan kepada Pertamina.
Dengan menyerahkan fungsi tersebut akan memberikan kesempatan bagi Pertamina untuk menjalankan fungsinya sebagai representasi negara dalam pemanfaatan sumber daya migas bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Untuk meminimalisir potensi konflik kepentingan Pertamina dalam menjalankan fungsinya sebagai regulator dan pengawasan sekaligus operator di industri migas, perlu ada pemisahan dalam mejalankan ketiga fungsi tersebut. Regulator dan pengawasan dilaksanakan oleh Pertamina sebagai holding migas. Sedangkan fungsi operator dijalankan oleh anak perusahaan di bawah induk usaha Pertamina.
Holding migas merupakan keniscayaan untuk menjadikan efisien sehingga BUMN migas bisa menjadi pemain global dan berkontribusi terhadap perekonomian Indonesia. Namun, tujuan pembentukan holding migas harus jelas dan prosesnya transparan.
Prosesnya diawali dengan merger dan integrasi BUMN migas sejenis. Merger antara Pertagas dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) serta integrasi SKK Migas ke dalam struktur Pertamina. Setelah merger dan integrasi rampung, barulah ditetapkan Pertamina, yang 100 persen sahamnya dikuasai negara, sebagai holding BUMN migas.
Opsi holding ditempatkan di bawah Presiden memang lebih tepat ketimbang di bawah Kementerian BUMN. Namun, konsekuensinya intervensi DPR terhadap holding akan menjadi semakin dominan, baik dalam penetapan direktur utama holding, maupun dalam memutuskan aksi korporasi.
Tidak menutup kemungkinan intervensi tersebut akan menjadikan holding sebagai ‘sapi perahan’ dari berbagai kelompok kepentingan, termasuk kepentingan partai politik. Untuk itu, perlu aturan tata kelola yang dapat memagari intervensi berlebihan terhadap holding tersebut.
Mengingat proses revisi UU Migas sudah berlangsung terlalu lama, tidak ada alasan bagi DPR untuk menundanya lebih lama lagi. DPR sudah seharusnya melakukan percepatan untuk menyelesaikan revisi UU Migas dalam waktu dekat ini.
Jangan biarkan quo vadis revisi UU Migas berlangsung lebih lama lagi. Kalau ternyata DPR kembali menunda revisi UU Migas 22/2001, maka Presiden Joko Widodo seharusnya mengeluarkan perpu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) migas yang selaras dengan UUD 1945.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.