KATADATA ? FAISAL Basri disebut-sebut menjadi salah satu kandidat menteri ekonomi kabinet Jokowi. Namanya muncul dalam sejumlah jajak pendapat yang menjaring nama-nama menteri yang diusulkan masyarakat. Faisal dicalonkan sebagai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas.
Di kalangan industri, ekonom dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini juga dijagokan menjadi Menteri Perindustrian, karena dianggap memahami seluk-beluk industri. Lulusan Master Ekonomi dari Vanderbilt University, Amerika Serikat, ini pernah menjadi anggota Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) pada 2000-2005. Ia juga menjadi tim penyusun Road Map Industri Indonesia 2015-2035.
Bagaimana sektor industri nasional harus dibangun di era pemerintahan baru, Faisal memaparkannya kepada Metta Dharmasaputra, Heri Susanto dan Nur Farida Ahniar dari Katadata. Ekonom senior ini pun mengusulkan perubahan struktur kabinet.
Bagaimana peta industri nasional saat ini?
Perekonomian itu berkembang secara bertahap. Di Amerika, Prancis, dan Belanda, sektor pertaniannya dulu yang diperkuat. Jika pertaniannya sudah terkonsolidasi, maka produktivitasnya pun akan naik terus-menerus dan sejahtera. Setelah itu, baru industrinya dimajukan. Industri akan sehat jika ia menghasilkan barang yang diserap warganya sendiri. Namun, kondisi Indonesia tidak seperti itu. Indonesia masih miskin dan pertaniannya masih loyo, lalu industri dimajukan. Akhirnya, semua industri berorientasi ekspor.
Artinya yang perlu dilakukan adalah membangun pertanian dulu?
Itu sudah selesai sekarang. Tapi, jika pertanian dan industri tidak harmonis, kondisinya seperti saat ini. Peranan pertanian dalam PDB menurun jauh lebih cepat daripada jumlah pekerja di sektor pertanian. Artinya, sektor pertanian terbengkalai. Sehingga petani tetap banyak, namun produksi pertanian turun. Lebih baik pekerja di sektor pertanian itu menyemut di sektor riil.
Bagaimana kondisi industri Indonesia saat ini?
Industri di Indonesia mengalami penurunan secara konsisten dari waktu ke waktu. Sampai 2013, kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB tinggal 23,46 persen. Sektor industri memang trennya menurun di setiap negara, namun biasanya penurunan itu terjadi ketika peranannya sudah berada di puncak.
Kapan puncaknya?
Rata-rata di negara lain puncak sektor industri ketika sudah mencapai 35 persen terhadap PDB, setelah itu baru mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan muncul sektor jasa dan lainnya. Di Indonesia puncak peranan sektor industri baru mencapai 29 persen terhadap PDB pada 2001, dan setelah itu terus mengalami penurunan.
Apakah ini anomali?
Ya. Peranan sektor industri di Indonesia penurunannya lebih cepat dibanding pola normal. Jika pola normal, penurunan sektor pertanian pun sejalan dengan jumlah pekerjanya. Saat ini, pekerja di sektor pertanian tergolong besar, namun output atau hasilnya turun. Hal ini terkait dengan industri yang menurun, sehingga tidak menjadi penyerap tenaga kerja yang besar. Untuk sementara, 14 persen tenaga kerja berada di sektor manufaktur.
Ini yang membuat produktivitas sektor pertanian rendah?
Produktivitas di sektor pertanian merupakan yang paling rendah. Produktivitas sektor jasa dan informal lebih bagus dibanding pertanian. Besarnya sektor informal ini pun karena industri tak mampu menyerap tenaga kerja. Oleh sebab itu, industri harus dimajukan untuk menyejahterakan Indonesia, karena produktivitas sektor industri itu 5-6 kali lebih tinggi dibanding sektor pertanian.
Bagaimana cara memajukan industri?
Sektor ini harus banyak diberikan insentif. Misalnya bea masuk handphone 0 persen. Sedangkan saat ini, contohnya, jika perusahaan ingin membuat handphone, impor bahan baku terkena bea masuk 5-12 persen. Ditambah pengenaan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) impor 10 persen. Perusahaan juga harus membayar PPh (Pajak Penghasilan) dibayar di muka 2,5 persen, yang sekarang dinaikkan menjadi 7,5 persen. Gara-gara aturan ini, Samsung membutuhkan dana tambahan untuk impor bahan baku sebesar US$ 200 juta. Ya sektor industrinya manyun.
Seberapa besar dampaknya?
Jika dihadapkan pada kondisi itu, ya bisa ada anggapan tidak perlu membangun industri, lebih baik berdagang saja. Berdagang kan hanya terkena PPN impor 10 persen. Perlu juga dicatat, saat ini sekitar 74 persen impor Indonesia adalah bahan baku. Sehingga wajar jika ekspor menurun, karena porsi impor (bahan baku) yang terdapat di sektor ekspor besar. Indonesia mengekspor elektronik, mobil, bahan bakunya berasal dari impor. Jadi, yang harus dilakukan adalah harmonisasi bea masuk.
Apa kebijakan lainnya?
Indutri hulu dan hilir harus bersinergi. Contohnya Pertamina memiliki kilang yang menghasilkan kondensat. Kondensat itu dijual ke luar negeri. Sementara perusahaan Chandra Asri membeli kondensat impor. Kan aneh? Seharusnya Pertamina menjadi industri kimia yang terintegrasi, misalnya di Balongan dibangun pabrik pengolahan kondensat. Lalu, pemerintah harus banyak membangun kawasan industri agar proses aglomerasi terjadi.
Untuk kabinet baru, apakah sebaiknya Kementerian Perindustrian dan Perdagangan disatukan kembali atau tetap terpisah?
Ini tergantung pendekatan yang ingin digunakan. Ekonomi itu terbagi tiga, yaitu sektor primer, sekunder, dan tersier. Saat ini, ketiganya saling tumpang tindih. Misalnya dalam hal larangan ekspor mineral. Pemerintah tidak bisa membedakan antara pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan industrialisasi, sehingga campur aduk.
Maksudnya?
Hilirisasi itu industrialisasi. Sedangkan pengelolaan SDA itu berbeda. Jika berbicara mengenai industrialisasi, hubungannya dengan infrastruktur. Dalam industri, ada biaya tetap dan biaya variabel. Di penambangan, misalnya, perusahaanlah yang datang ke lokasi tambang. Namun, jika hilirisasi yang dituju, maka pengolahan tambang atau smelter bisa di mana saja, di tempat yang bisa menghasilkan biaya terendah. Karena itu, kalau pemerintah menyediakan pelabuhan, jalan, dan listrik yang memadai, tidak usah disuruh pun investor akan datang. Namun, jika perusahaan harus membangun listrik sendiri, ya industri sulit datang.
Bedanya dengan pengelolaan SDA?
Dalam pengelolaan SDA, hal ini terkait dengan berapa (kekayaan tambang) yang akan diambil saat ini, dan berapa yang akan disisakan untuk generasi yang akan datang. Karena itu, jika berbicara mengenai royalti, itu pun terkait dengan generasi yang akan datang. Jika porsi untuk generasi mendatang lebih besar, maka royalti harus dinaikkan. Royalti itu bukan instrumen penerimaan negara, tetapi alat untuk mengontrol eksploitasi sumber daya alam. Sementara, penerimaan negara berasal dari pajak.
Berarti hilirisasi yang digalakan saat ini keliru?
Sekarang ini hilirisasi dicampuradukkan dengan pengelolaan SDA. Ini keliru.
Bagaimana caranya agar tidak campur aduk?
Kalau di Malaysia, Menteri Urusan Sektor Primer adalah Menteri Industri. Tadi kan ada pertanyaan soal bagaimana dengan Kementerian Perindustrian dan Perdagangan. Hal tersebut tergantung pada cara pandang apa yang ingin digunakan. Menurut pandangan saya, saat ini ekspor tengah babak belur, bahkan turun. Karena itu, tidak ada kata lain, diplomasi ekonomi harus dilakukan. Jadi Kementerian Perdagangan digabung dengan Kementerian Luar Negeri. Ini kontekstual untuk kondisi saat ini, lima tahun yang akan datang kemungkinan tidak diperlukan.
Bagaimana implementasinya?
Dalam perdagangan kan ada perdagangan dalam negeri dan luar negeri. Perdagangan dalam negeri itu tujuan utamanya untuk melindungi konsumen, terciptanya persaingan sehat, dan mengurus perizinan. Untuk perlindungan konsumen agar produk yang dijual sehat, misalnya, kan sudah ada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Lalu, untuk masalah persaingan sehat, ada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Untuk urusan pasar, ada pemerintah daerah. Untuk urusan logistik bahan pangan ada Bulog.
Jadi, urusan perdagangan orientasinya pada ekspor?
Urusan perdagangan ya terkait perdagangan internasional. Karena, jika ingin mendapatkan akses dagang ke luar negeri yang lebih bagus, maka kita harus memperjuangkan produk nasional di negara lain, perlu diplomasi. Hal ini sangat diperlukan , karena ekspor kita tengah anjlok.
Fungsi koordinasi perdagangan dalam negeri di mana?
Koordinasi langsung di bawah presiden.
Konsep ini seperti di sejumlah negara, yaitu Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan?
Ya, Jepang, Korea, dan Australia seperti itu. Saat ini di Kementerian Luar Negeri RI, di bawah menteri ada Dirjen Asia Pasifik dan Afrika, Dirjen Amerika dan Eropa, Dirjen Kerjasama ASEAN, Dirjen Multilateral. Pembagian ini berdasarkan kawasan, mengikuti (gaya) Amerika. Struktur ini diterapkan di masa Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda. Memangnya kita ingin memperluas pengaruh menjadi negara hegemoni? Tidaklah.
Bagaimana di masa sebelumnya?
Dulu ada Dirjen Hubungan Ekonomi Luar Negeri (HELN) yang pernah dijabat oleh Atmono Suryo. Ada Direktur yang menangani perjanjian-perjanjian internasional, misalnya perjanjian karet internasional. Saya mengalami indahnya Deplu dengan pak Atmono karena kami sering membantu. Lalu ada Dirjen Politik. Mengapa diubah? Karena kita kehilangan Timor-Timor, dan setelah dipetakan (ternyata) tidak ada dukungan dari Afrika dan Eropa. Lalu diubah cara pandang diplomasi. Padahal Timor-Timor sudah hilang. Tidak ada lagi kepentingan.
Seperti yang pernah disampaikan Jokowi bahwa Dubes juga harus bisa dagang?
Ya. Coba cara pandang diplomasi ekonomi. Jadi, Kemenlu harus memiliki intelijen pasar.
Apakah tersedia SDM yang handal di Kementerian Luar Negeri?
Di Kemenlu itu banyak yang jago ekonomi. Michael Tene (Jubir Kemenlu) itu anak ekonomi. Ada Renata Hutagalung, Pak Soemadi Brotodiningrat (mantan Duta Besar Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, Jepang, dan Amerika Serikat, serta juru runding Indonesia untuk Perjanjian Kerjasama Ekonomi dengan Jepang), Makarim Wibisono (mantan Dirjen Hubungan Ekonomi Luar Negeri, Ada Arif Oegroseno yang ahli hukum laut (pernah menjadi Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kemenlu, sekarang Dubes di Belgia).
* * *
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.