Covid 19, Keberlanjutan Agenda Lingkungan Hidup, dan Sustainabilitas

ANTARA FOTO/Arnas Padda/yu/aww.
Hewan ternak milik warga mencari makan di area Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Kamis (9/7/2020). Kementerian ESDM mencatat bauran energi baru dan terbarukan (EBT) telah mencapai 15 persen dari target sebesar 23 persen pada 2025.
Penulis: Riki Frindos
Editor: Redaksi
13/8/2020, 11.00 WIB

One in A Century Health Crisis’, demikian kata WHO.  Sementara IMF memberi judul laporan World Economic Outlook bulan Juni yang lalu: ‘A Crisis Like No Other’. Sejak WHO dan IMF berdiri, sebagai lembaga kesehatan dunia dan lembaga stabilitas keuangan dan moneter dunia, mereka memang belum pernah melihat krisis kesehatan dan krisis ekonomi sedahsyat saat ini.

Pertanyaannya bagi kita adalah, apakah masih ada ruang untuk bersuara dan terus mendorong agenda-agenda lingkungan dan sustainabilitas. Atau, ini bukanlah sesuatu yang pantas, ketika dunia berjuang mengatasi krisis kesehatan dan krisis ekonomi. Sebagian mungkin berpendapat demikian. Bahkan, ada beberapa pihak yang mengambil kesempatan ini untuk sengaja meminggirkan isu-isu lingkungan untuk kepentingan oportunistik.

Namun, penggiat lingkungan percaya bahwa krisis pandemi Covid-19 ini justru akan menguatkan kesadaran dan komitmen warga dunia pada isu-isu lingkungan hidup dan sustainabilitas. Karena, meski sangat pahit, pandemi ini memberi pembelajaran yang sangat nyata dan berarti bagi kita semua.

Covid-19 dan Pembelajaran

Pembelajaran yang pertama adalah, jangan coba-coba melintasi batas dalam mengeksploitasi dan mengintervensi kapasitas dan keseimbangan alam. Keseimbangan yang telah terbangun selama ribuan atau mungkin jutaan tahun yang menjadi pondasi dasar kehidupan dan eksistensi manusia. Jangan melintasi batas dalam menginfiltrasi kehidupan alam liar sebagai bagian dari keseimbangan bumi, apalagi mengkonsumsi hewan liar secara sistematik, misalnya. Sebab, ini dapat meruntuhkan keseimbangan, merubuhkan benteng yang melindungi manusia dari mikroorganisma yang mematikan.

Yang kedua, ibarat film bioskop, pandemi corona adalah sebuah teaser, sebuah cuplikan 2-3 menit mengenai bencana yang dapat menimpa kita di masa yang akan datang. Namun, pertunjukan penuh 90 menit kelak akan hadir di depan kita — jika kita tidak berbuat sesuatu. Jika kita tidak mengubah gaya hidup kita, proses produksi dan pola konsumsi, yang mengumbar emisi gas rumah kaca ke atsmosfer, yang membawa kehancuran pada keanekaragaman hayati di bumi.

Jika demikian, IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) menyatakan suhu bumi dapat naik hingga sebesar empat sampai lima derajat Celcius. Jika demikian, IPBES (Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services) mengatakan akan ada satu juta species yang lenyap dari permukaan bumi. Semuanya akan meluluh-lantakkan keseimbangan bumi. Artinya, pertunjukan bencana-bencana masif kelak akan hadir meneror penduduk bumi.

Namun, krisis Covid-19 tidak hanya memberikan pembelajaran tentang neraka yang akan menanti kita jika kita terus berbuat dosa pada planet bumi. Pandemi ini juga menghadirkan teaser tentang surga kehidupan di dunia yang menanti jika kita berhenti berbuat dosa pada alam dan segenap makhluk ciptaan Tuhan.

Lockdown  yang sempat diterapkan di Jakarta tentu bukanlah sesuatu yang kita inginkan. Tapi, sekonyong-konyong langit Jakarta bersinar biru bening, sebening udara segar yang kita hirup. Tiba-tiba, kita mendengar kicauan burung di jalanan Jakarta, kita mendengar suara gemericik air di Bundaran Senayan yang selama ini tenggelam entah kemana di tengah hiruk-pikuk Jakarta. Kita ternyata punya pilihan: a better and beautiful world to live in.

Covid-19 dan Tonggak Sejarah Baru Renewable Energy

Terlepas dari pembelajaran ini, apakah benar warga dunia tidak meminggirkan isu-isu lingkungan selama pandemi ini?

IEA (International Energy Agency) dalam Global Energy Review yang terakhir mengungkapkan konsumsi energi anjlok secara drastis selama pandemi ini, dan diperkirakan berlanjut hingga akhir 2020. Konsumsi energi yang berasal dari batu bara dan minyak mengalami penurunan yang paling dahsyat. Gas alam dan nuklir juga mengalami penurunan. Satu-satunya sumber energi yang masih tumbuh dengan solid adalah renewable energy, sumber energi terbarukan dan bersih, seperti energi surya atau angin.

Negara-negara di Eropa seperti Jerman, Inggris, dan Spanyol, sejak pandemi Covid-19 mencatat tonggak sejarah baru. Separuh atau lebih konsumsi energi mereka sekarang berasal dari sumber energi bersih dan terbarukan. Bahkan di India, energi bersih dan terbarukan kini mencakup 30% dari konsumsi energi mereka.

Barangkali, yang paling monumental adalah apa yang terjadi di AS. Negara adidaya ini dikenal kurang “bertanggung jawab” pada isu-isu lingkungan, terutama di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump. Trump dengan arogan mengeluarkan berbagai pernyataan dan kebijakan yang terang-terangan anti lingkungan, termasuk bersumpah membangkitkan kembali industri batu bara di AS.

Namun, selama hampir empat tahun dia berkuasa konsumsi batu bara terus turun dengan drastis. Akhirnya, pandemi Covid-19 put the nail in the coffin, ketika akhirnya konsumsi energi terbarukan di AS melampaui sumber energi batubara. Akal sehat, ilmu pengetahuan, dan aspirasi untuk planet bumi yang lebih baik bisa mengalahkan pemimpin negara yang paling berkuasa sekalipun.

Halaman:
Riki Frindos
Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.