Pasca-transisi demokrasi pada 1998, banyak kelompok Islam fundamentalis vokal bermunculan di Indonesia.
Front Pembela Islam (FPI) -yang paling menonjol di antara kelompok-kelompok ini- telah memobilisasi, tak jarang dengan kekerasan, untuk menolak hal-hal yang mereka anggap amoral dan sesat. FPI, bersama dengan kelompok Islam lainnya, telah berperan penting dalam mempertajam polarisasi dan populisme agama di Indonesia.
Selain lewat kampanye nasional, seperti gerakan ‘212’ yang menolak Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dalam pemilihan gubernur Jakarta pada 2016, sebagian besar kelompok militan ini aktif secara lokal, menargetkan pada pemerintahan dan minoritas di daerah.
Tetapi kelompok-kelompok ini lebih berhasil di beberapa daerah tertentu dibanding daerah lain.
Saya melakukan riset pada mobilisasi Islam fundamentalis di Indonesia di Pulau Jawa. Saya menerbitkan temuan di jurnal Comparative Politics baru-baru ini.
Penelitian saya menemukan bahwa kelompok militan semakin bertumbuh pesat di wilayah yang pemimpin Muslim dan lembaganya lemah, dan yang memiliki persaingan kuat untuk mendapat otoritas agama.
Mobilisasi militan, menurut saya, adalah produk sampingan dari struktur lokal otoritas keagamaan -bukan otoritas soal Islam, tapi bagaimana otoritas ini dihasilkan dan diperebutkan secara lokal.
Perbedaan yang Mencolok
Di Pulau Jawa, beberapa daerah mengalami pertumbuhan kelompok Islam fundamentalis lebih cepat dan mobilisasi yang lebih ajeg. Dari enam provinsi, Jawa Barat memiliki jumlah kelompok Islam terbesar dan demonstrasi paling sering. Angka protes dan kekerasan di Jawa Barat mendekati 60% dari total kejadian di Pulau Jawa sejak 1998. Angka ini jauh berbeda dari Jawa Timur yang hanya 10%.
Beberapa pengamat telah mengaitkan antara munculnya kelompok militan seperti FPI dan proses desentralisasi dan patronase politik pada periode Reformasi. Namun kaitan ini ini tidak bisa menjelaskan sepenuhnya mengapa kelompok-kelompok seperti ini cenderung lebih berkembang di Jawa Barat, padahal insentif politik dapat dibilang sama di seluruh Indonesia.
Penelitian lain juga berteori bahwa kelompok militan di Jawa Barat ini berhubungan dengan jaringan Darul Islam. Darul Islam adalah gerakan garis keras yang berusaha mengubah Indonesia menjadi negara Islam antara tahun 1942 dan 1962.
Saya menemukan sedikit bukti pendukung di lapangan untuk teori itu.
Sebagian besar pemimpin kelompok militan seperti FPI, terutama ketika di tingkat kabupaten dan kecamatan, adalah kiai atau ustaz yang mengelola pesantren, pengajian, atau majelis taklim kecil.
Fragmentasi di Jawa Barat
Studi saya melibatkan puluhan wawancara dengan berbagai kiai dan kelompok militan yang saya lakukan pada 2014 dan 2015 sebagai bagian dari disertasi doktoral saya. Saya juga menggunakan kumpulan data terbaru terkait 15.000 pesantren dan 30.000 kiai di Jawa.
Data yang telah saya kumpulkan memungkinkan adanya perbandingan perspektif tentang institusi Islam di Jawa yang belum ada sebelumnya.
Jawa Barat memiliki pesantren lebih banyak dibandingkan Jawa Timur, tapi ukuran pesantren Jawa Barat dua kali lebih kecil dibanding rata-rata (JB=111,5; JT=230,5 santri). Peta menunjukkan kabupaten dengan pesantren-pesantren paling kecil (warna hijau) dan pesantren dengan jumlah murid lebih dari seribu (titik hitam) di Pulau Jawa.
Seperti yang terlihat, pesantren di Jawa Barat jauh lebih kecil dibandingkan daerah lain. Hanya ada 26 pesantren yang punya murid lebih dari 1.000 di Jawa Barat. Jawa Timur punya tidak kurang dari 94 pesantren dengan murid lebih dari seribu.
Meski memiliki lebih banyak pesantren, peta tersebut menunjukkan hanya ada sedikit pesantren yang berpengaruh di Jawa Barat. Di sana, pesantren tidak hanya kecil, tapi juga lemah secara kolektif. Jaringan antar kiai di Jawa Barat lebih renggang, lebih terfragmentasi, dan lebih informal dibandingkan di Jawa Timur.
Ini menunjukkan dinamika organisasi keagamaan di sana: Meski banyak orang di Jawa Barat adalah kaum Muslim tradisional namun Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi Muslim terbesar di Indonesia tidak dominan di provinsi itu.
Sebaliknya, lanskap organisasi masyarakat Islam sangat terpecah-pecah. Sebagian besar kiai tidak terafiliasi atau hanya menjadi anggota organisasi yang kecil.
Singkatnya, Jawa Barat memiliki elite agama lebih lemah dan struktur otoritas yang kompetitif.
Mengapa ini penting?
Pengaruh seorang kiai berhubungan erat dengan seberapa besar pesantren dan jaringannya. Kiai dengan jumlah murid lebih banyak dan punya lebih banyak jaringan dengan kiai lain secara umum lebih mudah memberi pengaruh lebih di dalam maupun luar wilayah.
Kiai yang punya pengaruh dapat meningkatkan popularitas mereka, sehingga dapat mendapatkan akses, kekuasaan, dan sumber daya di pemerintahan daerah, partai politik, dan institusi Islam (misalnya Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia).
Kiai dengan status lebih rendah, yaitu yang muridnya sedikit dan koneksinya lemah dengan kiai lain, akan lebih sulit mendapatkan kesempatan untuk memperluas pengaruhnya. Sebaliknya, mereka menjadi rentan dan harus melakukan banyak upaya jika ingin bertahan dalam jangka panjang.
Kurangnya pesantren besar di Jawa Barat membuat provinsi tersebut kekurangan kiai yang berpengaruh.
Meski masyarakat Jawa Barat memiliki identitas Islam yang kuat, otoritas Islam di sana lebih lemah dan lebih kompetitif dibanding dengan daerah lain. Dalam konteks ini, kita bisa memahami munculnya kelompok militan di Jawa Barat.
Kiai Jawa Barat memiliki pesantren lebih kecil dan harus bersaing mendapatkan murid dengan menggunakan retorika agama yang lebih agresif.
Bergabung atau membentuk sebuah kelompok militan, yang menggunakan wacana moralitas dan sektarianisme, telah menjadi alat kuat untuk memperluas otoritas keagamaan.
Banyak kiai kecil telah mendapatkan pengikut baru dan pengakuan dari kiai dan pembuat kebijakan lainnya justru sebagai hasil dari mobilisasi dan wacana agama yang tegas di ruang publik.
Dengan kata lain, aktivitas mereka di kelompok militan telah memperkuat status, pengaruh, dan kekuatan mereka - sesuatu yang mereka tidak bisa dapatkan sendirian. Banyaknya kiai kecil menjelaskan perkembangan pesat kelompok militan di Jawa Barat.
Kelembagaan yang Lebih Kuat di Jawa Timur
Di Jawa Timur, situasinya jauh berbeda. Survei pendapat menunjukkan perilaku terhadap moral dan agama minoritas secara umum hampir sama di seluruh daerah-daerah di Jawa.
Penelitian terbaru juga memperlihatkan bahwa pengikut NU yang sebagian berada di Jawa Timur sama tidak tolerannya dengan yang kaum Muslim lain, bahkan dalam beberapa kasus jauh lebih intoleran.
Akan tetapi, mobilisasi militan jauh lebih kecil di Jawa Timur.
Di sini, bukan ideologi, melainkan lembagalah yang lebih penting: kiai punya pesantren besar, punya jaringan kuat antarkiai, dan tidak bersaing untuk mendapatkan pengikut serta perhatian publik. Struktur kelembagaan ini cenderung menahan upaya-upaya kiai untuk bergerak sendiri dan menjadi lebih menonjol dari lainnya.
Cara untuk memperoleh pengaruh dan kekuatan di Jawa Timur adalah melalui NU dan mendapat posisi pemimpin di berbagai organisasi sayap NU. Menggunakan mobilisasi militan untuk mendapat status, seperti di Jawa Barat, akan sia-sia.
Lebih lagi, karena mereka punya institusi kuat di bawahnya, kiai lokal merasa lebih mudah - atau berdampak tidak buruk dalam hal reputasi mereka - untuk secara terbuka menentang dan menghalangi aktivitas kelompok militan.
Menariknya, banyak kiai di Jawa Timur menentang kelompok militan lebih karena takut kalah dari pemimpin baru yang muncul, ketimbang karena mereka menentang tujuan kelompok militan.
Apa yang harus dilakukan negara?
Kesimpulannya, struktur lokal otoritas agama - ketimbang perbedaan politik atau gagasan - menjadi alasan sukses-gagalnya kelompok militan di Jawa.
Di daerah yang otoritas agamanya kuat, kelompok militan tidak bisa mengakar. Di daerah yang otoritas agamanya lemah dan kompetitif, kelompok militan berkembang pesat.
Poin penting yang dapat diambil adalah pemerintah harus hati-hati dalam mengurangi pengaruh otoritas keagamaan pada era demokrasi. Pemerintah harus menghindari pemberian ruang berlebih yang memunculkan kompetisi antarelite agama - di Majelis Ulama Indonesia misalnya - yang meningkatkan insentif untuk melakukan mobilisasi militan.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.