Berdampakkah Kunjungan Prabowo ke Amerika pada Industri Pertahanan RI

ANTARA FOTO/REUTERS/U.S. Air Force/R. Nial Bradshaw
T. Jet tempur Angkatan Udara Amerika Serikat F-35A, dari Fighter Wings ke-388 dan ke-428, membentuk "elephant walk" saat latihan di Hill Air Force Base, Utah, Amerika Serikat, Senin (6/1/2020). Foto diambil tanggal 6 Januari 2020.
Penulis: Tangguh Chairil
11/11/2020, 08.00 WIB

Setahun setelah menjabat sebagai Menteri Pertahanan Indonesia, Prabowo Subianto akhirnya dapat mengunjungi Amerika Serikat lagi pada Oktober lalu. Kunjungan itu dimungkinkan setelah pemerintah AS memutuskan untuk mencabut larangan visa sejak dua dekade lampau terhadap mantan Jenderal TNI Angkatan Darat yang dituduh mendalangi berbagai pelanggaran hak asasi manusia.

Aktivis mengkritik keputusan tersebut dan menyebutnya sebagai “sebuah kerugian bagi penegakan hak asasi manusia.” Para ahli berpendapat bahwa keputusan AS adalah bagian dari strategi mereka untuk mengimbangi kekuatan dan pengaruh Cina yang tumbuh di kawasan Asia Tenggara.

Dalam kunjungannya itu, Prabowo bertemu dengan Menteri Pertahanan AS Mark Esper di Pentagon. Mereka sepakat untuk meningkatkan kerja sama militer dan keamanan maritim antarnegara.

Namun, terlepas dari upaya diplomatik AS yang kontroversial untuk mendatangkan Prabowo, saya berpendapat bahwa kunjungan itu tidak akan mengarah pada kerja sama industri pertahanan yang signifikan antara kedua negara. Berikut penjelasannya.

Hubungan yang Kurang Berkembang

AS telah menjadi salah satu negara target utama kegiatan diplomasi pertahanan Indonesia sejak awal 2000-an karena didorong status AS sebagai negara adidaya dan ketergantungan Indonesia pada sistem persenjataan AS pada masa Orde Baru.

Pada 2015, kedua negara menyepakati kerja sama pertahanan komprehensif yang terdiri dari penelitian dan pengembangan; latihan militer bersama; pendidikan dan pelatihan; serta pengadaan senjata.

Namun, terlepas dari kesepakatan tersebut, hubungan industri pertahanan antara Indonesia dan AS masih kurang berkembang. Salah satu alasannya adalah AS membatasi transfer teknologi pertahanan ke negara-negara lain. AS dikenal memiliki sistem kontrol ekspor paling kompleks di dunia. AS hanya akan berbagi teknologi dengan sekutu dan mitra.

Dan untuk teknologinya yang sangat sensitif, AS bahkan tidak berbagi dengan sekutunya. Misalnya, pada 2015 AS menolak untuk membagi empat teknologi inti terkait jet tempur F-35 miliknya ke Korea Selatan untuk proyek jet KF-X, yang Korea Selatan kembangkan bersama Indonesia.

Kebijakan itu menjadikan AS sebagai mitra yang kurang menguntungkan bagi Indonesia untuk membangun industri pertahanan lokalnya.

Kebutuhan yang Belum Terpenuhi

Indonesia telah fokus mengembangkan industri pertahanan sejak 2009. Kebijakan ini semakin intensif di bawah Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Jokowi telah menginstruksikan Prabowo untuk mengunjungi banyak negara, termasuk Turki, Cina, dan Prancis, untuk menjajaki kerja sama dalam rangka mengembangkan industri pertahanan Indonesia.

Kerja sama industri pertahanan Indonesia dengan Turki yang telah berlangsung lama telah menghasilkan kemitraan antara PT Pindad dari Indonesia dan FNSS Defence Systems dari Turki untuk mengembangkan tank berukuran medium Kaplan. Prabowo dan Menteri Pertahanan Turki Hulusi Akar sepakat untuk meningkatkan kerja sama industri pertahanan antarnegara.

Prancis telah menawarkan transfer teknologi jet tempur Rafale ke Indonesia sejak 2015. Tahun ini Prabowo dan Menteri Angkatan Bersenjata Prancis Florence Parly akan menandatangani Perjanjian Kerja Sama Pertahanan (Defense Cooperation Agreement (DCA)) antarnegara.

Sedangkan dengan Cina, Indonesia telah mencoba memperoleh lisensi memproduksi rudal C-705 sejak 2013.

Selama kunjungan ke negara-negara lain, Prabowo secara impulsif berusaha membeli berbagai sistem senjata. Beberapa sistem senjata yang diinginkan Prabowo adalah buatan Amerika. Namun belum ada pembicaraan mengenai kerja sama industri pertahanan yang dapat menguntungkan Indonesia selama kunjungannya ke AS.

Indonesia pernah mendapat keuntungan dari kerja sama industri pertahanan dengan AS pada pertengahan 1980-an. Pada 1986, Indonesia berhasil mencapai kesepakatan untuk memproduksi suku cadang badan pesawat untuk jet tempur F-16 AS yang akan diekspor ke negara lain.

Namun sejak itu Indonesia hanya menjadi pelanggan industri militer AS. Kerja sama industri pertahanan antara Indonesia dan AS masih sangat minim.

Pernyataan bersama Prabowo-Esper usai pertemuan menjadi bukti lain bahwa belum ada kemajuan signifikan yang dicapai, karena kerja sama industri pertahanan tidak disebutkan sama sekali.

Dalam pernyataan tersebut, baik Prabowo dan Esper sepakat bahwa kedua negara akan meningkatkan hubungan militer antarnegara dan bekerja sama dalam keamanan maritim, serta bekerja sama dalam mencari jenazah personel AS yang hilang di Indonesia selama Perang Dunia II.

Secara ringkas, masih terlalu dini untuk mengatakan apakah kunjungan Prabowo ke AS akan membawa peningkatan signifikan dalam kerja sama industri pertahanan kedua negara.

Tangguh Chairil
Lecturer in International Relations, Binus University

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.