Riuh penolakan sebagian masyarakat terhadap Omnibus Law Cipta Kerja semakin menguat setelah disahkan menjadi undang-undang. Kalangan akademisi menyoroti permasalahan mulai dari cacat formil hingga implikasi substantif.
Demonstrasi besar-besaran memenuhi jalan di berbagai kota. Sedangkan di media sosial, terutama Twitter, pihak kontra dengan gencar menyerbu undang-undang tersebut melalui berbagai hashtag seperti #MosiTidakPercaya, #CabutOmnibusLaw, dan sebagainya.
Pada saat yang sama, narasi pihak pro UU Cipta Kerja juga berdengung kencang di media sosial. Saya melakukan riset dengan mengambil sampel data tweets dan retweets sejumlah 16.759 melalui browser extension NCapture untuk memetakan aktor dan narasi di balik kata kunci “UU Cipta Kerja” di Twitter. Sampel yang diambil berasal dari tweets dan retweets sejak 5 hingga 7 November 2020. Hasilnya cukup mengejutkan: betapa kuatnya narasi pendengung (buzzer) yang menggaungkan “kebaikan” UU Cipta Kerja.
Sepuluh besar user yang paling gencar mengkampanyekan UU Cipta Kerja secara positif adalah anonim, dan kuat diduga merupakan akun-akun “bayaran” untuk memanipulasi opini publik di media sosial. Akun @MalvaSelena sebagai yang paling gencar, misalnya, secara konsisten melakukan tweets dan retweets mendukung kebijakan pemerintah.
Dalam sebulan terakhir, akun tersebut melakukan tweets yang terus-menerus menyuarakn kebaikan UU Cipta Kerja. Saat perdebatan soal vaksin COVID-19 yang dikritik oleh para ahli karena belum lolos uji klinis tahap ketiga, akun tersebut gencar mengkampanyekan hashtag #VaksinAman.
Para user anonim yang mengkampanyekan UU Cipta Kerja saling berinteraksi satu sama lain melalui fitur mention dan retweet. Mereka juga melakukan mention kepada tokoh-tokoh publik seperti @jokowi dan @airlangga_hrt untuk menyuarakan dukungannya terhadap UU Cipta Kerja.
Namun, berdasarkan temuan riset saya, tidak semua akun-akun anonim tersebut secara keseluruhan saling berinteraksi meskipun menyuarakan narasi yang sama. Tiap-tiap user tersebut tampak membangun jejaring sosialnya sendiri dengan user lain, sehingga membentuk beberapa klaster jaringan sosial tertentu. Perwujudan jaringan sosial tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Pada gambar di atas tampak @malvaselena berjejaring dengan user lain yang jika kita periksa, adalah akun anonim serupa. Pada sisi lain, user @willona_007 sebagai akun kedua yang gencar mengkampanyekan kebaikan UU Cipta Kerja setelah @malvaselena, justru membentuk jejaringnya sendiri dengan user lain. Temuan tersebut membawa pada dua dugaan.
Pertama, jaringan sosial yang terbentuk secara terpisah meskipun menyuarakan narasi senada diduga kuat agar isi pesan menjangkau banyak kalangan. Kedua, besar kemungkinan bahwa masing-masing jaringan sosial sesungguhnya dikendalikan oleh satu orang. Mengingat dalam industri buzzer, satu orang dapat mengendalikan bahkan lebih dari 10 user. Secara sengaja masing-masing orang membuat tiap-tiap user yang ada di bawah kendalinya saling retweet dan mention.
Tidak terlalu sulit bagi kita untuk mendeteksi apakah user di Twitter adalah buzzer atau bukan. Pertama, jika kecenderungan anonimitasnya tinggi, menunjukkan bahwa akun tersebut adalah buzzer. Kedua, sebagaimana temuan riset The Guardian (2018) tentang industri buzzer di Indonesia, akun-akun yang dibayar untuk memanipulasi opini publik terlihat konsisten membuat tweets dan melakukan retweets terkait konten tertentu yang memang sudah dipesan oleh klien. Bahkan dalam laporan The Guardian tersebut, klien dari industri buzzer di antaranya adalah politisi bahkan pemerintah.
Pihak yang diduga dari pemerintah atau pro-pemerintah membayar para pendengung untuk mempromosikan UU Cipta Kerja yang penuh perdebatan itu. Tampak bahwa narasi pro UU Cipta Kerja yang dibawa adalah usaha untuk membantah kritik dari pihak kontra kebijakan tersebut.
Misalnya, kritik dari aktivis lingkungan bahwa UU Cipta Kerja berpotensi pada kerusakan lingkungan yang semakin parah, dibantah oleh para pendengung dengan menyuarakan hashtag #LindungiLH (dinarasikan bahwa UU Cipta Kerja dapat melindungi lingkungan hidup). Setiap hashtag pro UU Cipta Kerja yang sengaja dipromosikan tampak saling terkait satu sama lain, yang memberikan kesan kuat narasi tersebut bersifat artifisial, alih-alih organik.
Hashtag #LindungiLH berjejaring dengan #CiptaKerjaHarapanUMKM, #DukungOBL, #StrategiPemulihanEkonomi, dan #UMKMSejahteraIndonesiaMaju. Tampak terlihat narasi yang ingin ditekankan adalah UU Cipta Kerja dapat memajukan UMKM di Indonesia bahkan dapat tembus hingga pasar global. Hanya #MosiTidakPercaya yang menjadi hashtag kontra UU Cipta Kerja meskipun tidak sebanding dengan narasi para pendukungnya. Hal ini membuktikan bahwa aktivitas para pendengung yang pro UU Cipta Kerja terlihat kuat, dan mengimbangi narasi yang datang dari pihak kontra.
Problem Advokasi Kebijakan di Media Sosial
Riset saya membuktikan bahwa promosi UU Cipta Kerja di media sosial dipenuhi oleh narasi yang datang dari para pendengung. Saya meyakini bahwa tidak hanya pada kasus UU Cipta Kerja, di mana pada situasi lain, pola yang serupa sudah dapat dipastikan sama. Persoalan paling mendasar bukan sekadar perang narasi di media sosial. Lebih dari itu, kuatnya pengaruh industri buzzer di dalam media sosial membuktikan adanya ketimpangan relasi kuasa berbasiskan kepemilikan materiil yang membuat arena digital tidak demokratis.
Kenyataan ini pada akhirnya membantah anggapan bahwa internet mendorong demokratisasi karena setiap individu dapat menyuarakan aspirasinya dengan bebas (Norris, 2001). Memang benar bahwa setiap individu yang memiliki akses media sosial dapat menyuarakan aspirasinya, namun, problemnya justru representasi kepentingan warga tidak tampak karena aktivitas pendengung yang sangat gencar.
Suara warga di media digital dikalahkan oleh kepemilikan kapital yang besar, di mana mereka yang memiliki sumber finansial besar berpotensi untuk mendominasi opini publik. Hal ini didukung dari laporan The Guardian (2018) yang menyebut bahwa para pendengung itu dibayar mahal oleh para klien hingga puluhan juta rupiah.
Ketimpangan kuasa yang menjadi kesenjangan digital tersebut pada akhirnya menjadi tantangan bagi para aktivis dan warga negara yang ingin mengadvokasikan kebijakan melalui media sosial. Dalam kasus UU Cipta Kerja, mereka yang kontra sebagian adalah kalangan aktivis yang memiliki basis keorganisasian yang jelas. Ketika saya menelusuri aktor di balik #MosiTidakPercaya, saya menemukan organisasi seperti Greenpeace Indonesia, Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) cukup gencar menentang UU Cipta Kerja di Twitter.
Tapi problem para aktivis di media sosial adalah berhadapan dengan kelompok yang memiliki kapital lebih besar untuk memengaruhi opini publik. Para pendengung yang dibayar mahal akan jauh lebih gencar dalam mempromosikan kepentingan dan citra klien mereka. Riuhnya narasi pendengung membuat advokasi kebijakan di media sosial tidak berjalan efektif, karena opini masyarakat yang terpecah. Gerakan massa yang membutuhkan soliditas dipecah melalui narasi pendengung.
Tidak hanya itu, distraksi pendengung yang datang dari pihak kontra pemerintah juga menjadi persoalan yang dihadapi para aktivis. Hasil analisis terhadap #MosiTidakPercaya, saya menemukan distraksi gerakan muncul karena ada kepentingan lain yang memang pada dasarnya kontra pemerintah.
Misalnya, saya menemukan narasi yang tidak relevan berjejaring dengan #MosiTidakPercaya, seperti #HRSPemersatuBangsa, #HRSBikinIstanaMenggigil, dan #AhwalWaSahlanIBHRS. Para pendengung tampak memanfaatkan #MosiTidkPercaya untuk mempromosikan narasinya yang tidak relevan. Jika kita telusuri, narasi tersebut justru datang dari user anonim yang tentu saja sangat menganggu bagi soliditas gerakan.
Oleh sebab itu bagi para aktivis dan warga negara pada umumnya, pendengung dari pihak pro dan kontra pemerintah sekalipun adalah problem. Sebab para pendengung itulah yang membuat inti narasi yang hendak diadvokasikan terdistraksi serius dan tidak tersampaikan dengan utuh.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.