Ekosistem Festival Jazz: Sejarah, Perjuangan, dan Nasionalisme
“Kita harus optimistis bahwa kondisi akan terus membaik. Proses vaksinasi yang terus berjalan dan penurunan secara perlahan dari masyarakat yang tertular adalah sinyal kuat. Pemerintah Indonesia telah bekerja keras. Infrastuktur internet kian tersebar merata, dan saya membuktikannya hari ini pada forum Jazz. Tahun 2022, saya berharap festival Jazz di Indonesia kembali normal.”
Pernyataan Peter F. Gontha dalam webinar Forum Jazz Indonesia pada 9 April 2021 lalu tersebut patut dijadikan sebagai nilai perjuangan yang penting untuk digemakan. Bersama dengan hadirnya Triawan Munaf, Mantan Kepala Badan Ekonomi Kreatif, dan Sigit Pramono (Jazz Gunung), webinar itu banyak mendiskusikan tentang arah prospek Festival Jazz di Indonesia pasca-pandemi Covid-19.
Menurut Candra Darusman, Ketua Federasi Serikat Musisi Indonesia (Fesmi), hingga Juni 2020 terdapat sekitar 200 acara musik di Indonesia tercerai berai akibat pandemi corona. Namun hal tersebut tidak berlaku bagi Jazz Gunung yang pada akhir 2020 menghelat festival bartajuk Jazz Gunung Ijen. Dalam keadaan normal, kapasitas amfiteater Jazz Gunung Ijen dapat menampung 1.000 orang. Sedangkan dalam pandemi kemarin, festival tersebut hanya menampung 300 orang saja.
Panitia menerapkan 3W yaitu wajib swab, wajib memakai masker, dan wajib menjaga jarak sebagai kepatuhan pada protokol kesehatan. Pelaksanaan festival kali ini memiliki tantangan tersendiri, terutama dari segi event management yang harus menyesuaikan keadaan dengan menerapkan protokol dan meminimalisasi experience. Di sisi lain, penyelenggara juga ingin menyajikan festival yang sama baiknya dengan keadaan sebelum pandemi.
Pelaksanaan Jazz Gunung memberi oase kuat bahwa ekosistem Jazz dan festivalnya masih bertahan. Pada akhirnya momen Jazz Gunung diharapkan bisa menjadi titik kebangkitan ekonomi kreatif dan pariwisata.
Setelah Jazz Gunung, Prambanan Jazz hadir secara virtual dengan konsep hybrid pada tanggal 31 Oktober dan 1 November 2020, tepat di Candi Prambanan. Kemudian denyut festival Jazz mengalir ke Yogyakarta dengan hadirnya Ngayogjazz pada 19-21 November 2020. Mengusung tema yang provokatif, Ngejazz Tak Gentar, seolah ingin mengajak bertempur dengan pandemi.
Bersamaan dengan International Jazz Day, Batam Jazz terselenggara dengan tema Rising Riau Island pada 27 dan 28 Maret 2021. Festival tersebut menjadi festival Jazz ke-6 yang diadakan oleh Batam Jazz Society (BJS). Sementara Java Jazz cukup beruntung karena diadakan sebelum pandemi yaitu pada 28 Februari hingga 1 Maret di JIExpo Kemayaron. Di sisi lain, Ubud Jazz Festival dengan berat hati harus menunda event raksasanya.
Romatika Sejarah, Perjuangan, dan Nasionalisme Festival Jazz
Untuk menyegarkan ingatan tentang Festival Jazz, sebaiknya kita perlu memahami secara umum tentang sejarah Jazz dan festival Jazz dalam industri musik Indonesia. Asal usul dari kata Jazz adalah salah satu kata kunci yang paling dicari dalam bahasa Inggris Amerika Modern. Jazz dimulai sebagai istilah slang dari Pantai Barat sekitar 1912, memiliki arti 'yang bervariasi' tetapi tidak mengacu pada musik atau seks. Jazz datang dari musik Jazz di Chicago sekitar 1915.
Musik Jazz hadir di Indonesia pada 1919 melalui musisi Eropa. Genre Jazz sendiri mengalami puncak popularitas di Indonesia pada 1950-an. Pada 1980 hingga 1990-an, Jazz kembali naik daun dengan hadirnya sederet musisi kondang. Sederet musisi muda mulai membawakan kembali genre yang diklaim sebagai musik untuk generasi tua. Ireng Maulana, Elfa Secoria, dan Benny Likumahuwa menghadirkan musik Jazz dengan lagu-lagu yang bisa dinikmati anak muda juga lantai dansa.
Memasuki 2000-an, perkembangan musik Jazz seolah berfokus pada bagaimana agar musik di genre ini dapat dinikmati oleh semua kalangan usia. Jazz juga mulai dimainkan di televisi. Musisi seperti Andien, Maliq & D’Essentials, Raisa, Dewa Budjana hingga festival-festival musik juga turut mendukung perkembangannya.
Java Jazz Festival memberikan warna dan peranan yang cukup besar dalam mempopulerkan Jazz di Indonesia. Peter Gontha, yang menggagas Java Jazz Festival lebih dari 15 tahun lalu, mengaku terinspirasi dari North Sea Jazz Festival di Den Haag, Belanda.
Setelah itu, kian bermunculan sederet festival musik Jazz di Indonesia seperti International Jazz Festival (Jakjazz), yang dibentuk oleh Ireng Maulana. Ada juga Ngayogjazz, festival musik Jazz yang diadakan di kampung Yogyakarta, serta Jazz Gunung yang diprakarsai mendiang Djaduk Ferianto. Festival tersebut membantu menyebarkan musik Jazz di tahun 2000-an untuk pasar yang lebih luas. Sebagai cultural tourism event, Ngayogjazz dan Jazz Gunung meninggalkan kesan berkelas yang ikonik dan lebih merakyat.
Tercatat kurang lebih 30 festival Jazz tersebar di berbagai penjuru Indonesia. Semua menghadapi masalah yang sama yaitu pandemi. Perlu ada kolaborasi sinergi yang kuat untuk dapat mengadakan festival Jazz berkualitas dengan standar protokol kesehatan.
Saat ini, mungkin sampai akhir tahun, festival Jazz akan berjuang sangat keras untuk terus eksis. Pilihan daring atau hybrid sama rumitnya, namun tak ada pilihan lain. Pemerintah dituntut untuk turut mendukung festival dengan memberikan subsidi tes swab secara gratis untuk festival yang memenuhi kualifikasi.
Digitalisasi dan pendataan ekosistem jazz menjadi sangat penting, terutama pada aspek peta sebaran festival Jazz dan artis Jazz lokal. Hal ini menjadi pekerjaan rumah yang harus diupayakan oleh Kementerian Pariwisatan dan Ekonomi Kreatif.
Festival Jazz bukan tidak mungkin menjadi salah satu penggerak utama industri kreatif di sektor musik pada masa mendatang. Alasannya, karena selain sebagai “world music”, segmen market yang unik dan memikat juga mampu mendorong kehadiran wisatawan. Pengelolaan festival yang khas/unik, adaptif, professional dan kolaboratif juga menjadi kunci kesuksesan festival.
Semangat dan perjuangan baik dari sisi penyelenggara maupun persatuan antar festival diharapkan dapat memompa jiwa nasionalisme agar dapat bangkit dan keluar dari pandemi ini. Upaya untuk meningkatkan jumlah penggagas event festival Jazz ke seluruh nusantara juga harus terus didukung agar tercapai persebaran yang merata. Penyelenggara harus optimistis dan dapat beradaptasi terhadap keadaan. Selain itu, kerjasama yang baik dengan seluruh stakeholder harus tetap dijaga.
Akhir kata, berikan lebih banyak ruang untuk festival musik dan jangan terpaku dengan meetings, incentives, conferences, and exhibitions (MICE). Seperti sebuah syair lagu Jazz terkenal yang berjudul “Aku Ingin” karya Indra lesmana, semoga pandemi cepat berlalu dan kita kembali bisa ber-Jazz ria dalam festival yang mengenangkan.
“Aku ingin dapat bebas lepas,
Aku ingin senantiasa merasa bahagia,
Aku ingin dapat terbang jauh, bila tiada yang perduli.”
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.