Hampir mendekati 100 hari sejak masa pelantikan, banyak pekerjaan rumah menanti aksi percepatan Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek). Tugas berat banyak terhampar karena pagebluk belum menunjukan grafik penurunan. Kini hadir gelombang lanjutan dan muncul varian baru, yaitu Delta, yang menghawatirkan. Salah satu kebijakan dari yang terkena dampak dan masih jalan di tempat adalah Kampus Merdeka.
Transformasi kebijakan Kampus Merdeka meliputi 1) otonomi bagi perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) untuk melakukan pembukaan atau pendirian program studi (prodi) baru; 2) program re-akreditasi yang bersifat otomatis untuk seluruh peringkat dan bersifat sukarela bagi perguruan tinggi dan prodi yang sudah siap naik peringkat; 3) kebebasan bagi PTN badan layanan umum (BLU) dan satuan kerja (Satker) untuk menjadi PTN badan hukum (PTN BH); 4) memberikan hak kepada mahasiswa untuk mengambil mata kuliah di luar prodi dan melakukan perubahan definisi satuan kredit semester (SKS).
Pada hakikatnya, kebijakan tersebut memberikan tantangan sekaligus kesempatan bagi pengembangan kreativitas, kapasitas, kepribadian dan kebutuhan mahasiswa. Mahasiswa kini memiliki ruang yang luas dalam mengembangkan diri dan potensinya. Banyak pengetahuan baru yang akan didapatkan dari dinamika yang ada di lapangan, seperti interaksi sosial, kolaborasi, manajemen diri, tuntutan kinerja, target pencapaian, dan sebagainya.
Kemerdekaan yang Ambigu?
Seorang Guru Besar dari Department of English and Cultural Studies di McMaster University, Henry Giroux, mengungkapkan, universitas harus mendefinisikan diri sebagai barang publik, ruang perlindungan untuk mempromosikan cita-cita demokrasi, imajinasi sosial, nilai-nilai sipil dan kewarganegaraan yang terlibat secara kritis. Namun, hal tersebut bertolak belakang dengan keadaan di Indonesia. Pada kenyataannya masih ada isu terkait birokrasi yang harus diperbaiki, dominasi kelompok maupun individu dan persaingan yang kurang suportif. Hal tersebut dapat menjadi ancaman bagi berjalannya Kampus Merdeka.
Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Gadjah Mada (UGM) Sulthan Farras berpendapat, kebijakan baru Menteri Nadiem sangat kental dengan pendekatan pasar. Mahasiswa ditargetkan untuk memenuhi kebutuhan industri, sementara itu terdapat gap yang besar pada kualitas kampus satu dengan yang lainnya. Kebijakan Nadiem dianggap lemah karena tidak mempertimbangkan adanya ketimpangan pada kualitas perguruan tinggi, serta tidak melakukan mapping yang jelas. Ketimpangan itu setidaknya terlihat dari kesenjangan skor antar kampus dalam data ranking kampus nasional.
Masalah lain yang muncul adalah tidak tersedianya data komperhensif terkait karakter jurusan dan kampus yang siap dengan kebijakan Kampus Merdeka. Berdasarkan data dari Forlap Ristekdikti pada 2018, terdapat 122 PTN dan 3.131 PTS yang ada di Indonesia. Dengan jumlah tersebut, kebijakan ini seharusnya potensial untuk diterapkan.
Kampus yang “lebih eksploratif”, kondisi keuangan dan branding yang mumpuni tentu akan lebih mudah menerapkan kebijakan tersebut dibandingkan dengan kampus “di bawahnya”. Namun, perbedaan level ini akan membuat kampus yang kuat pun relatif kesulitan untuk menemukan “partner kampus sepadan”. Persoalan alokasi dosen, distribusi mahasiswa, aturan akademik, dan jenis mata kuliah akan menjadi tarik ulur antar kampus. Jika dibiarkan terlalu lama, maka endapan persoalan ini akhirnya akan menguap dan membuat kebijakan tidak efektif untuk dijalankan.
Paradoksial dari paparan sebelumnya memang cukup mengkhawatirkan. Kebijakan Kampus Merdeka Nadiem Makarim akhirnya berpotensi terjebak pada sekadar jargon semata karena tidak menyentuh akar permasalahannya. “Kita tahu di era pandemi ini dunia pendidikan kurang terurus dengan baik. Ada Kampus Merdeka, sekarang ada Kampus Mengajar, itu seakan-akan jargon saja, belum terimplementasi secara baik”, ungkap Jazilul Fawaid selaku Wakil Ketua MPR RI, pada acara virtual Musyawarah Nasional Ikatan Alumni Doktor Ilmu Manajemen Universitas Negeri Jakarta pada 13 Februari 2021.
Solusi Alternatifnya?
Kampus se-Nusantara dituntut untuk bekerja sama dalam menjalankan program Kampus Merdeka dengan baik. Kemendikbudristek dituntut secara transparan untuk memfasilitasi akselerasi kampus ini agar berjalan tepat sasaran. Khususnya hal-hal yang tertera buku Panduan Merdeka Belajar – Kampus Merdeka (04/20), yaitu pertukaran pelajar, magang atau praktik kerja, asistensi mengajar di satuan pendidikan, riset, proyek kemanusiaan, kegiatan wirausaha, proyek independen, serta membangun kuliah kerja nyata tematik.
Pelaksanaan program Kampus Merdeka di beberapa kampus sudah berjalan, dengan jumlah yang terbilang sedikit. Dalam implementasinya terdapat beberapa hambatan pada bagian penyesuaian kurikulum, dosen, sistem administrasi dan pola kerjasama. Beberapa contoh PTN yang sudah konsisten berbenah adalah Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pendidikan Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI), Universitas Airlangga (Unair), dan lain-lain. Selain itu, beberpa PTS yang mulai menjalankan program Kampus Merdeka antara lain UMM – Charoen Pokphand Indonesia, Institut Teknologi Nasional (ITN), Universitas Kanjuruhan Malang, Universitas Widyagama dan yang terbaru adalah Universitas Prasetiya Mulya dengan Studio Ananta Rupa.
Adapun solusi alternatif yang dapat dibangun secara maksimal adalah dengan mereduksi kesenjangan kualitas antar universitas di Indonesia, mengakselerasi peningkatan kapasitas tenaga pendidik, pembaruan metode pengajaran dan membangun fasilitas pendidikan sebagai penunjang. Pelaksanaan program Kampus Merdeka yang melibatkan banyak perguruan tinggi secara intens tentunya akan menciptakan ekosistem yang mengagumkan.
Blueprint, mapping progress dan indikator terukur menjadi sumber informasi yang dapat diakses secara transparan. Gagasan kolaboratif harus diinisiasi secara terus menerus oleh Kemendikbudristek. Kampus Merdeka bukanlah sekadar jargon. Guna mencapai Kampus Merdeka, kita (perlu) merdeka belajar!
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.