Upaya Penyalahgunaan Istilah Big Data untuk Menunda Pemilu 2024

Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata
Associate Professor, Monash University
Penulis: Ika Karlina Idris
19/3/2022, 07.15 WIB

Kedua, percakapan di media sosial di Indonesia kini banyak digerakkan oleh pasukan media sosial yang menyebarkan propaganda pro-pemerintah.

Banyak pasukan media sosial yang juga turut menyebarkan berita palsu pada masa pemilu, yang digaungkan di media sosial. Dengan demikian, menganalisis percakapan di media sosial tidak cukup hanya dengan mengumpulkannya, namun juga membutuhkan keahlian dalam membersihkan data dan memastikan integritas data.

Ketiga, dan yang paling penting, saat ini media sosial sarat akan dominasi narasi pemerintah. Hasil riset saya mengenai narasi pandemi Covid-19 di negara-negara Asia Tenggara menunjukkan bahwa narasi pandemi di Indonesia didominasi oleh pemerintah dari berbagai level.

Di Indonesia, unggahan dari akun-akun pemerintah tentang Covid-19 mendapatkan engagement paling banyak, bahkan hingga 70 postingan teratas seluruhnya berasal dari akun pemerintah, seperti akun Presiden Jokowi, kementerian, lembaga negara, kepala daerah, dan pemerintah daerah.

Dominasi tersebut tidak lantas bisa diartikan bahwa masyarakat mengetahui informasi pemerintah, karena data menunjukkan bahwa jenis engagement yang paling banyak didapatkan oleh hasil unggahan akun pemerintah, atau lebih dari 85 %, berasal dari likes, yang merupakan engagement pasif. Artinya, engagement itu datang sebagai hasil dari memasang iklan di Facebook. Lembaga pemerintah, dibandingkan organisasi masyarakat sipil misalnya, tentu memiliki sumber daya yang lebih besar dalam mengiklankan kontennya di media sosial.

Keempat, meski telah banyak desain dan implementasi kebijakan publik yang mengacu pada analisis big data, kebijakan yang diambil tetap tak bisa lepas dari nilai publik (public values) yang diusung.

Penundaan pemilu 2024 yang diklaim oleh para politikus sebagai aspirasi masyarakat di media sosial justru meniadakan partisipasi masyarakat yang tidak dapat mengakses media sosial, sekaligus menegasikan nilai-nilai publik atas kepercayaan, kesetaraan, dan keadilan.

Oleh karena itu, pengambilan kesimpulan dengan data dari media sosial perlu dilakukan dengan lebih hati-hati, terutama untuk memastikan apakah data tersebut asli, akurat, dan dapat dipercaya.

Penggunaan istilah big data pun perlu mencermati faktor 5V di atas, apakah sudah terpenuhi atau belum. Jangan sampai penggunaan suatu istilah teknologi hanya karena faktor ingin terlihat mengikuti perkembangan teknologi terkini, tanpa tahu persis maknanya. 

Halaman:
Ika Karlina Idris
Associate Professor, Monash University

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.