From hero to zero. Inilah yang sepertinya terjadi di sebagian startup belakangan ini. Beberapa startup di dalam dan luar negeri diberitakan melakukan pemutusan hubungan kerja, berhenti beroperasi, dan mengalami kebangkrutan. Berbeda dengan perusahaan rintisan lainnya, kehadiran startup begitu menyita perhatian. Penuh gegap gempita.
Dengan solusi berbasis teknologi digital, startup dilihat sebagai pendisrupsi para pemain lama. Gelontoran dana besar dari pendana ventura ternama mengukuhkan jati diri startup sebagai perusahaan masa depan bervaluasi tinggi. Tapi dalam perjalanannya, sebagian berhasil, sebagian besar berhenti di tengah jalan.
Sebetulnya, kenyataan ini bukan sesuatu yang mengagetkan. Di bisnis apa saja, yang bukan digital sekalipun, secara empiris lebih banyak gagalnya ketimbang berhasil. Kegagalan startup menyita perhatian mungkin karena ekspektasi yang begitu besar pada mereka. Investor besar begitu percaya pada mereka. Bagi mereka, digital adalah masa depan dan startup identik dengan bisnis serba digital. Tapi sungguhkah demikian?
Problem-solution fit
Meyakini digital adalah masa depan, pelaku startup sepertinya terobsesi dengan bisnis serba digital. Apa pun layanannya, harus serba memakai platform dan aplikasi. Padahal tidak semua kebutuhan dan problem di masyarakat butuh solusi digital. Di sinilah ketiadaaan problem-solution fit bisa terjadi sejak awal ketika bisnis masih direncanakan.
Ketiadaan problem-solution fit juga bisa terjadi karena pendekatan “solution first” yang digunakan para pendiri startup. Mereka memiliki solusi berbasis teknologi digital yang diyakini dapat mengatasi problem, memenuhi kebutuhan atau menyelesaikan pekerjaan yang ada di masyarakat. Mereka begitu “falling in love” dengan produk atau layanan berbasis teknologi.
Ternyata masyarakat tidak terlalu membutuhkan solusi mereka. Adanya problem-solution fit adalah milestone kritis yang harus dilewati oleh startup maupun perusahaan pada umumnya. Problem-solution fit ini mensyaratkan pelaku bisnis untuk menawarkan solusi yang tepat atas problem yang juga tepat di masyarakat.
Sebaik-baiknya problem di masyarakat adalah ketika mereka memiliki pekerjaan penting yang ingin diselesaikan atau jobs to be done (Christensen, 2016) dan pekerjaan tersebut belum terselesaikan dengan baik. Inilah yang disebut underserved job. Menemukannya di masyarakat merupakan modal awal berharga bagi startup.
Underserved job berupa “memproteksi diri dan keluarga dari ancaman virus Covid 19” adalah oportunitas besar dari masyarakat yang dijawab oleh perusahaan farmasi pembuat vaksin. Moderna, perusahaan yang didirikan pada 2010, termasuk perusahaan rintisan yang menikmati kesuksesan dari vaksin yang dihasilkan untuk menyelesaikan pekerjaan penting tersebut di masyarakat.
Para pembuat vaksin Covid-19 mampu menciptakan “tsunami effect” di masyarakat, dalam artian positif. Ketika berbagai vaksin Covid-19 diperkenalkan, masyarakat hampir tidak mampu untuk menolaknya; bahkan menyambutnya dengan suka cita. Inilah sebaik-baiknya pencapaian dalam berinovasi.
Kenyataannya, efek tsunami dalam berinovasi jarang terjadi. Kebanyakan startup, baik digital maupun nondigital, justru berkerumun menawarkan pekerjaan di masyarakat yang sudah “served right” (pekerjaan yang penting bagi masyarakat dan sudah terselesaikan dengan baik) maupun “overserved” (pekerjaan yang tidak terlalu penting dan sudah terselesaikan dengan baik).
Silakan lihat apa yang dialami oleh startup pembuat electric vehicle. Mengapa hanya Tesla yang sekarang ini dianggap berhasil sebagai pembuat mobil listrik, sementara banyak startup lain seperti tertatih dan terancam berhenti beroperasi. Cobalah kritis, apakah kendaraan listrik yang ditawarkan memang menjawab pekerjaan underserved di masyarakat?
Karena solusinya berupa kendaraan, maka pekerjaan di masyarakat adalah yang berhubungan dengan mobilitas masyarakat, misalnya bepergian dari rumah ke kantor dan sebaliknya. Bisa saja pekerjaan mobilitas ini bagi sebagian besar masyarakat sudah terselesaikan dengan solusi yang ada: mengendarai kendaraan sendiri atau menggunakan transportasi publik.
Salah satu definisi inovasi mensyaratkan adanya peningkatan drastis dari rasio manfaat terhadap biaya (Meyer dan Garg, 2005). Dengan harga mobil listrik yang masih di luar keterjangkauan masyarakat kebanyakan, adakah tambahan manfaat melimpah yang diperoleh penggunanya? Bisa saja itu datang dari manfaat emosional seperti kesenyapan kendaraan yang dapat dinikmati pengendaranya, kebanggaan diri sudah menjadi individu yang bernilai hijau, dan juga penjelas identitas diri sebagai sosok yang sukses karena mampu memiliki kendaraan yang tidak murah.
Tapi apakah keunggulan manfaat tersebut menciptakan peningkatan rasio benefit terhadap biaya yang dikeluarkan untuk memiliki kendaraan listrik? Bisa ya bagi segelintir masyarakat. Secara empiris, total cost of ownership mobil listrik lebih rendah ketimbang mobil dengan motor bakar. Tapi mobil listrik memiliki problem potensial kepada calon penggunanya.
Beberapa studi menunjukkan bahwa harga kendaraan, keterbatasan infrastruktur pengisian baterai, dan kekhawatiran baterai mati di tengah jalan menjadi faktor penghalang utama adopsi mobil listrik. Merujuk pada theory of planned behavior (Ajzen, 1991), faktor harga yang di luar ability dan willingness to pay masyarakat kebanyakan menjadi penentu yang akan meniadakan intensi seseorang untuk memiliki mobil listrik. Dan intensi, menurut teori ini, merupakan prediktor dari suatu tindakan. Dalam hal ini tindakan memiliki mobil listrik.
Adanya problem-solution fit adalah ujian pertama yang harus dilewati oleh startup atau pelaku bisnis apa pun ketika menawarkan solusi baru untuk masyarakat yang memiliki problem atau pekerjaan yang harus diselesaikan. Ketiadaan problem-solution fit akan menyulitkan perusahaan dalam mengkomersialisasi solusi tersebut di masyarakat.
Tidak adanya problem-solution fit membuat solusi yang ditawarkan, sehebat apa pun, jadi tidak desirable di mata masyarakat. Adanya problem-solution fit barulah modal awal bagi pelaku bisnis. Masih ada ujian lain yang harus dilewati.
Feasibility
“Prototypes are easy, production is hard”. Elon Musk sudah memberikan psywar kepada para startup pembuat kendaraan listrik yang terus bermunculan. Memunculkan prototipe-prototipe yang memukau masyarakat belum menjadikannya pembuat hebat. Ujian terberat adalah bagaimana mewujudkan prototipe tersebut dalam jumlah besar jika memang ada order pesanan dalam jumlah besar.
Dengan prototipe, startup pembuat dapat mendatangkan pesanan dalam jumlah besar dan juga melambungkan harga sahamnya jika sudah go public. Namun kehebatan pencapaian di lantai bursa tidak berbanding lurus dengan prestasi di shop floor. Keterlambatan dalam produksi dan pengiriman pesanan ke konsumen menjadi sesuatu yang rutin bagi startup.
Penciptaan nilai dalam produksi membutuhkan segala sumber daya dan proses yang berkemampuan. Itu semua tidak mudah dan tidak murah. Di sinilah para startup terjebak dalam keterbatasan area feasibility dari kemampuan mereka untuk mewujudkan produk jadi secara tepat jumlah, tepat biaya, tepat kualitas, dan tepat waktu. Belum memiliki kemampuan untuk menjalankan proses pertambahan nilai secara efisien dapat membuat biaya operasional membengkak.
Tindakan reaktif untuk mengkompensasi pembengkakan biaya itu adalah dengan menaikkan harga produk dan praktik cost-cutting yang justru kontraproduktif. Inilah jebakan dalam lembah kematian (valley of death) yang menakutkan setiap startup. Tidak cukup memiliki segala sumber daya manusia, kekayaan intelektual, teknologi dan finansial untuk tetap beroperasi dalam upaya menciptakan dan memenuhi permintaan pasar.
Sebagian kecil startup beruntung mampu melewati lembah kematian tersebut karena investor besar masih mau mengucurkan dananya. Praktik “pumping money” para investor untuk mewujudkan masa depan yang mereka inginkan masih menjadi penyelamat startup yang berhasil.
Bagi sebagian startup lain, mereka kesulitan mendapatkan kucuran dana investor untuk tetap beroperasi. Merasionalisasi karyawan, memangkas biaya, dan menaikkan harga produk menjadi keharusan. Tapi tindakan tersebut justru memperburuk performa startup. Mereka lupa, lanskap ketidakpastian yang dihadapi berbeda dengan yang dihadapi perusahaan yang sudah lama di industri. Sisi suplai dan permintaan memberikan tekanan begitu tinggi kepada startup sementara kemampuan proses mereka masih terbatas.
Kehadiran startup, baik yang serba digital mau pun yang membuat barang, pantas disambut. Sebaik-baiknya startup adalah yang dilandasi kuatnya maksud (purpose) untuk membantu masyarakat yang masih memiliki the underserved job. Carilah solusi yang fit untuk problem atau pekerjaan yang belum terselesaikan di masyarakat. Buktikan jika solusi yang ditawarkan mampu mengurangi/menghilangkan pain dan meningkatkan atau mengadakan gain di masyarakat yang dilayani.
Jika sudah mendapatkan kucuran dana besar dan pengakuan status unicorn atau decacorn dari investor, janganlah berselebrasi berlebihan. Pembuktian sesungguhnya adalah apakah solusi yang ditawarkan menjadi berarti bagi mayoritas masyarakat yang akan dilayani. Jika itu yang terjadi, coba resapi penggalan lirik lagu The Wall dari supergrup rock progresif Kansas: the moment is a masterpiece.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.