Ketegangan di Taiwan dan Posisi Strategis Indonesia di Indo-Pasifik

Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata
Penulis: Sampe L. Purba
31/8/2022, 12.13 WIB

RRC memandang kunjungan Nancy Pelosi adalah bentuk provokasi langsung terhadap kedaulatan dan kepentingan utama (core interest) mereka. Menjelang dan selama kunjungan singkat tersebut, terjadi mobilisasi dan penyiagaan berbagai arsenal dan persenjataan modern dari pihak RRC maupun Taiwan dan Amerika.

Jika melihat kepentingan geopolitik, kunjungan Pelosi merupakan test the water, sekaligus pesan bahwa kartu Taiwan dapat dipergunakan untuk mengganggu kepentingan nasional RRC. Di permukaan, pemerintahan Joe Biden tidak menunjukkan dukungannya atas kunjungan tersebut, namun sepenuhnya menjamin keamanan sang Ketua DPR.

Sehari setelah kunjungan singkat Pelosi, ketegangan semakin meningkat. PLA melakukan latihan militer di Selat Taiwan yang melibatkan Angkatan Laut, Angkatan Udara, Pasukan Roket termasuk Pasukan Gabungan Logistik. Mereka mendemonstrasikan kemampuan tentara RRC untuk memblokade Taiwan, apabila diperlukan.

Peran Indonesia

Sebagai negara besar di ASEAN, Indonesia perlu mengantisipasi eskalasi perkembangan yang terjadi, termasuk efek imbas (spill over effect). Pada 2002 secara kolektif, ASEAN telah mengeluarkan deklarasi aturan perilaku (declaration of conduct) di Laut Cina Selatan. Saat ini relevansi deklarasi tersebut perlu disesuaikan dan diletakkan dalam konteks kekinian.

AUKUS dan Indo-Pasifik adalah realitas geopolitik baru di kawasan yang membentang dari Pasifik Barat hingga Laut India Barat, serta dari Australia hingga Jepang di Utara. Presiden RRC, XiJinPing dengan program BRI menawarkan kerja sama ekonomi, sekaligus mengamankan jalur maritim (sea lines of communication) di kawasan.

Perlu digarisbawahi, Laut Cina Selatan adalah wilayah yang kaya dengan sumber daya hayati dan sumber daya migas. Energy International Association (EIA) memperkirakan wilayah ini mengandung cadangan minyak 11 miliar barel dan gas 190 triliun kaki kubik.  

Kapal survei Cina, Hayang Dizhi Shiao 10 selama berbulan-bulan di Laut Natuna Utara tahun 2021 (notabene berada di dalam landas kontinen Indonesia), membayangi kapal kontraktor migas Indonesia melakukan aktivitas pemboran eksplorasi. Ini sebuah sinyal bahwa RRC serius terhadap klaim teritorial, kedaulatan, hak berdaulat maupun proyeksi kekuatan militer.

Indonesia perlu menangani serius hal ini, baik secara substantif, konseptual juga realistis. Indonesia memiliki beberapa lapangan migas di sekitar Laut Natuna Utara, di dalam landas kontinen Indonesia, namun secara realitas juga termasuk dalam claim dash-line RRC.

Kita mengapresiasi strategi Pemerintah Indonesia yang merencanakan pembangunan pangkalan militer terintegrasi dengan penempatan Satuan TNI Terintegrasi di Pulau Natuna. Namun demikian, patut diingat bahwa RRC bukanlah padanan Indonesia secara militer. Untuk itu, kewaspadaan nasional dan patriotisme perlu diimbangi dengan strategi kolaboratif yang cerdas.

Posisi sisi silang Indonesia yang secara geografis berada di persimpangan (hub) QUAD di satu sisi, dan jalur BRI di sisi lain harus dapat dioptimalkan. Indonesia perlu menjalin dan menggalang kerja sama (misalnya dalam bentuk suatu joint operation) konkrit dengan negara-negara QUAD plus dan RRC pada lapangan-lapangan dan proyek-proyek sumber daya migas bersama di sekitar Laut Natuna Utara.

Mengelola perbatasan laut secara strategis, taktis dan cermat dengan memperhitungkan situasi kawasan adalah bagian dari menjaga integritas dan keutuhan wilayah. Itulah salah satu implementasi poros maritim yang sesungguhnya.

Halaman:
Sampe L. Purba
Praktisi Energi Global. Managing Partner SP-Consultant

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.