Kebudayaan sah jika dinilai paling strategis dibanding bidang lain. Ibarat wadah, ia merupakan tempat penampung dari banyak bidang dari lapangan aktivitas masyarakat. Bidang ekonomi, politik, seni, agama, pendidikan, hingga tetek-mbengek perilaku manusia, semuanya bisa ditarik sebagai unsur kebudayaan.
Karena itu, wajar jika kita menempatkan kebudayaan sebagai strategi dalam usaha pembangunan, pemajuan atau peningkatan masyarakat. Namun, di balik nilai lebihnya itu, kita sering diruwetkan dalam memilih tindakan praksisnya (kerja budaya). Akibatnya, kerja budaya tereduksi dalam bentuk sporadis berupa aksi pertunjukan atau pameran visual.
Tulisan ini bermaksud memberikan cara pandang lain dengan menengok terlebih dahulu unsur-unsur esensial dalam diri makhluk yang disebut kebudayaan itu. Saya memeras unsur-unsur dalam kebudayaan tersebut dan membundel dalam empat nilai.
Saya berharap kita dapat memastikan sudah bersungguh-sungguh melakukan kerja budaya yang esensial dan terbebas dari sekadar klaim 'kerja budaya', padahal sesungguhnya hanya melakukan pameran atau pertunjukan seni.
Empat Nilai Budaya
Strategi kebudayaan esensinya adalah menjadikan kebudayaan sebagai alat kerja untuk kemajuan masyarakat. Tetapi, bagaimana jika dalam sebuah masyarakat belum memiliki modal budaya atau kalau pun punya tergolong minim?
Tidak setiap masyarakat telah memasuki level 'masyarakat berbudaya'. Secara saintis, terdapat tiga level masyarakat yaitu masyarakat tradisi, masyarakat budaya dan ketiga, masyarakat peradaban. Dengan pemetaan ini, kita mendapatkan panduan guna menentukan strategi secara tepat.
Lalu, bagaimana menilai masyarakat tersebut masih sebatas 'masyarakat tradisi' atau sudah menjadi 'masyarakat berbudaya'?
Masyarakat tradisi memiliki corak masyarakat yang mengutamakan nilai ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan yang paling dasar. Agar dapat disebut 'masyarakat berbudaya', nilai ekonomi tersebut harus disertai dengan nilai atau elemen lain, sehingga diperoleh empat unsur atau nilai yaitu: 1) nilai ekonomi, 2) nilai moral, 3) nilai sains, dan 4) nilai seni, yang saling berkaitan satu sama lain.
Nilai Ekonomi
Pangan adalah unsur terpenting dalam hidup manusia. Prinsip dasar ekonomi lahir dari naluri manusia memenuhi kebutuhan penting untuk mempertahankan hidup seperti memenuhi kebutuhan akan pangan.
Selain makanan, kemungkinan manusia bertahan hidup menjadi tinggi dalam sebuah keluarga, unit utama pembentuk komunitas (masyarakat). Ekonomi, yang semula adalah urusan pemenuhan pangan, menjadi cikal bakal lahirnya masyarakat yang ditandai dengan corak ekonomi komunal berbasis petani atau bercorak agrikultural.
Dari situ, kebiasaan komunal untuk menjalankan fungsi ekonomi lekat dengan tiga hal yaitu kerja, keluarga, dan tata laku hidup bersama.
Dengan kata lain, nilai ekonomi harus dilihat sebagai unsur mendasar karena naluri manusia pada dasarnya berurusan dengan survival ekonomi (oikonomia) pada level keluarga (oikos). Ekonomi paling dasar dari masyarakat adalah jenis ekonomi survival, sedangkan sebagian dari masyarakat modern memiliki varian berupa corak ekonomi akumulasi.
Masyarakat yang masih berada di level tradisi tidak dapat berbudaya secara maksimal jika tidak memiliki nilai moral, nilai sains dan nilai seni. Itu sebabnya kita sering melihat masyarakat dengan perekonomian lemah, sering mengalami lemah budaya.
Tetapi kita juga tidak dapat mengatakan setiap masyarakat yang memiliki ekonomi kuat, senantiasa memiliki budaya yang tangguh. Ekonomi sebagai modal kebudayaan hanya relevan jika terhubung dengan tiga nilai lain, yaitu moral, sains, dan seni.
Nilai Moral
Prinsip moralitas adalah elemen dasar yang tak terpisah dengan nilai ekonomi. Sebab, dengan adanya moralitas hidup bersama tersebut manusia dapat bertahan hidup secara lebih efisien. Semakin mahir manusia bekerja sama dan mengurangi kompetisi antar sesama, semakin besar peluangnya untuk survive.
Unsur mendasar dari moralitas adalah empati, dengan kerja sama sebagai mekanismenya. Ada pula altruisme sebagai elemen penting dari kesadaran keberlangsungan hidup masyarakat.
Semakin maju masyarakat, semakin moralitas dianggap penting. Moralitas dipahami sebagai upaya menjalankan tata nilai yang telah tumbuh dan teruji sehingga mampu menumbuhkan daya hidup bersama. Dari situ, tumbuh nilai-nilai lain yang diperlukan untuk membentuk masyarakat berbudaya.
Sebagai contoh, sebuah kelompok masyarakat memiliki pandangan menjual tanah merupakan perilaku tidak pantas karena tanah dilihat sebagai modal produksi, bukan komoditi. Apabila masyarakat mempertahankan moralitas tersebut, mereka tidak akan mudah melepas tanah dan cenderung mengembangkan produksi di atasnya. Moralitas ini menyokong corak ekonomi yang berkembang di kelompok tersebut.
Nilai Sains
Cepat atau lambatnya perkembangan masyarakat ditentukan oleh ilmu pengetahuan. Berbagai peradaban yang kuat dan tangguh dengan kurun waktu panjang berasal dari kemampuan manusia yang secara adaptif mengelola sumber daya alam sekaligus mengelola sumber daya manusia. Banyak negara-bangsa dapat mencapai kemajuan meskipun tergolong memiliki sumber daya alam yang miskin, seperti Singapura.
Meski begitu, ilmu pengetahuan dapat menghasilkan dampak negatif bagi masyarakat yang mengaplikasikannya, maupun bagi masyarakat di luar kelompok yang mengaplikasikannya.
Itu terjadi karena ilmu pengetahuan yang diterapkan merupakan sebuah hal yang bebas nilai. Misalnya, implementasi teknologi tertentu yang dapat memaksimalkan nilai ekonomi atau keuntungan ekonomi tetapi menyebabkan kerusakan ekologi. Sekelompok masyarakat 'tega' mengambil keputusan untuk mengimplementasikan dengan mengorbankan kepentingan ekologi dan mengorbankan kepentingan golongan masyarakat yang lain.
Eksploitasi tersebut terjadi karena kekuatan nilai sains tidak dibarengi dengan kekuatan moralitas sehingga kemajuan teknologi menimbulkan ekses negatif bagi ekologi. Jika pertumbuhan nilai sains yang kuat dibarengi dengan menguatnya moralitas, tentu pertumbuhan itu tidak akan merusak lingkungan.
Nilai Seni
Seni dalam pengertian esensial adalah sebuah “kelembutan” dari akal budi, bukan dari fisik semata. Wujudnya ialah kreativitas dan inovasi. Kreatif artinya kemampuan membangun sesuatu yang “diperbarui” atau “bernilai tambah” yang di dalamnya memuat nilai-nilai yang “menguntungkan”. Sedangkan inovatif memiliki makna kemampuan mengatasi persoalan yang muncul (mengatasi entropi).
Sebab itu, ciri masyarakat berbudaya ditandai dengan adanya kemampuan yang tidak hanya sebatas menyediakan makanan, melainkan mampu mengolahnya kembali secara kreatif. Ciri lain ialah kemampuan eksperimen atas kekayaan alam yang diolah secara kreatif sampai kemudian menciptakan ekspresi dalam bentuk literasi, atraksi dan visual.
Semakin banyak eksperimen, terlebih dengan melibatkan nilai sains, biasanya masyarakat akan menemukan kreasi-kreasi baru yang menimbulkan dampak positif.
Dengan empat pilar dasar ini sebuah kebudayaan tumbuh dan kita dapat memperjelas kerja budaya yang hakiki. Tahap lanjut dari perjuangan kebudayan ialah peradaban yang dapat dilihat dengan nilai kekuatan pangan, kekuatan literasi dan kekuatan teknologi.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.