Momok Plastik Sekali Pakai

Katadata/ Bintan Insani
Penulis: Mona Sakaria
4/9/2024, 08.55 WIB

Sulit dibayangkan sehari tanpa plastik.  Dari wadah makanan-minuman, kosmetik. kantong isi-ulang sabun, deterjen, sampai kartu ATM, semua plastik.

Plastik adalah material ajaib: ringan, higienis, kedap, murah, dan awet. Namun, proses produksi plastik berbahan baku fosil menyebabkan masalah perubahan iklim. OECD memproyeksikan kenaikan konsumsi plastik global dari 460 juta ton pada 2019, menjadi 1.231 juta ton pada 2060. Konsumsi didominasi plastik non-recycled berbahan baku fosil.  

Sementara sampah plastik global meningkat dari 353 juta ton pada 2019 menjadi 1.014 juta ton pada 2060. Kenaikan sampah plastik didorong oleh pertumbuhan sampah plastik sekali pakai.  Separuh dari sampah tersebut akan menjadi landfill, mencemari udara, air, dan tanah.

Ditemukannya plastik di tempat-tempat yang tak terduga, seperti di laut dalam, atmosfer, dan plasenta manusia memperjelas bahwa polusi plastik merupakan masalah global. Peta jalan untuk keberlanjutan yang disusun UNEP pada 2018 menyoroti plastik sekali pakai sebagai masalah terbesar yang mendesak.

Plastik Sekali Pakai

Kebanyakan kemasan plastik adalah sekali pakai atau single use plastics (SUP). Plastik ini hanya digunakan satu kali sebelum dibuang atau didaur ulang, seperti tas kresek, kemasan makanan-minuman, sedotan, kantong sabun. Karena mudah dan murah, banyak kemasan produk konsumen beralih ke SUP.

UNEP melaporkan 46% sampah plastik dunia pada 2021 dari industri kemasan. Pada 2019, Tiongkok penghasil terbesar sampah SUP sebanyak 25,4 juta ton, disusul Amerika 17,2 juta ton.  Pada 2060 negara-negara OECD diprediksi masih akan menghasilkan lebih banyak sampah plastik per kapita (rata-rata 238 kg) dibanding negara-negara non-OECD (rata-rata 77 kg).

Hanya 9% dari sampah plastik berhasil didaur-ulang, 50% berakhir sebagai landfill, 19% dibakar, dan 22% tidak terkelola. OECD memperkirakan jumlah sampah yang menjadi landfill akan jadi dobel tahun 2060 jika dibiarkan.

SUP Menjadi Momok Dunia

Plastik mencemari darat, perairan, dan udara. Plastik agrikultural, seperti kantong bibit tanaman, pembungkus buah, dan plastik pengepakan hasil panen, menimbulkan sampah di tanah. Angin menerbangkan mikro dan nanoplastik dari darat ke udara. Pembakaran sampah plastik di beberapa negara berkembang untuk tungku masak dan penghangat menimbulkan gas berbahaya.

Sampah plastik liar masuk ke sistem perairan, mengalir ke laut, terakumulasi dan terurai menjadi partikel kecil dan mengeluarkan zat beracun yang membahayakan kehidupan biota laut dunia. Sampah plastik mematikan lebih dari 100.000 spesies laut tiap tahun. 

Pendorong Pertumbuhan Sampah SUP

Pasar SUP global pada 2023 US$41,43 miliar dan diprediksi tumbuh rata-rata 5,85% per tahun mencapai US$69,18 miliar pada 2032. Biaya produksi SUP yang umumnya lebih rendah daripada material lain seperti kaca atau metal, dan volume produksinya menjadi daya tarik dunia usaha.

Sebuah riset menjelaskan salah satu faktor pendorong tumbuhnya SUP adalah sistem makanan (food system) yang telah bergantung pada SUP. Kemasan makanan memfasilitasi penyimpanan, penanganan, transportasi, distribusi, proteksi dan pengawetan makanan, dan juga sebagai cara untuk mengkomunikasikan informasi produk. Sektor makanan mengkonsumsi 35% produksi kemasan global, dan hampir 95% kemasan makanan dibuang setelah sekali pakai.

McKinsey menyorot e-commerce sebagai salah satu faktor yang akan mengubah industri kemasan dalam 10 tahun ke depan. Pandemi Covid-19 memicu perubahan perilaku konsumen yang mengakibatkan lonjakan e-commerce.  Pasar e-commerce global pada 2023 US$16,29 triliun, kemudian US$18,77 triliun pada 2024, dan diramalkan tumbuh rata-rata 15,2% per tahun mencapai US$67,05 triliun pada 2033.

Pertumbuhan e-commerce ikut memperburuk masalah sampah plastik. Pada 2019 industri e-commerce diperkirakan menggunakan 1 juta ton plastik untuk kemasan, dan hampir seluruhnya menjadi sampah.  Jumlah tersebut diprediksi dobel pada 2025.  

Studi di Korea menemukan pergeseran ke belanja online menimbulkan 488 kali lebih banyak sampah kemasan dibanding belanja offline. Studi lain mencatat tambahan 11,4 sampai 17,4 kiloton kemasan plastik di Uni Eropa karena kenaikan aktivitas e-commerce selama Covid-19.

Sachets plastik sekali pakai untuk produk kebutuhan sehari-hari menguntungkan perusahaan menjangkau pasar berpenghasilan rendah. Jumlah sachets SUP yang besar menyumbang masalah lingkungan di negara-negara berkembang. Sachets dibuat dari beberapa lapis plastik yang saat ini sulit untuk didaur-ulang. Greenpeace melaporkan Unilever sebagai penjual sachets plastik terbesar di dunia, diperkirakan menjual 53 miliar sachets pada 2023 atau 1.700 per detik.

Kebijakan SUP

Karena pertumbuhannya dan bahaya polusinya, SUP menjadi momok dunia.  Solusinya membutuhkan kerjasama dan komitmen yang serius dan serempak dari pemerintah nasional dan transnasional, konsumen, dan produsen plastik.  

Laporan Annual Trends in Plastics Policy terbitan Universitas Duke pada 2022 menyebutkan jumlah kebijakan nasional terkait polusi plastik meningkat sejak 2000. Kebanyak menyasar tahap produksi dan konsumsi dibanding pengelolaan sampah plastik.

Kebijakan terbanyak bersifat regulatori, seperti larangan pemakaian SUP peralatan makan-minum, dan peraturan yang mendukung ekonomi sirkular seperti Extended Producer Responsibility (EPR).   

Laporan Deloitte tahun 2019 menyebutkan kecemasan konsumen mendorong terbitnya undang-undang larangan tas belanja SUP di 127 negara. Pada 2009, Tiongkok mulai menerapkan aturan mencegah kemasan berlebihan pada e-commerce. Uni Eropa mentargetkan larangan pemakaian SUP mulai 2030.

Beberapa negara membuktikan efektivitas program Extended Producer Responsibility (EPR) dan skema pengembalian deposit dalam mengurangi sampah botol PET dan meningkatkan sektor daur-ulang. Produsen dan penjual diharuskan menggunakan material alternatif yang bisa didaur-ulang, seperti alat makan kertas dan kayu, air minum dalam botol aluminium.  

Instrumen berbasis informasi—pendidikan dan imbauan—bertujuan mengubah perilaku dan interaksi konsumen dengan plastik, seperti 3R (reduce, reuse, recycle), gunakan kemasan ramah lingkungan, imbauan isi ulang, dan belanja offline

Toko-toko dan stasiun isi ulang vending machine dikembangkan, bekerja sama dengan retailers.  Contohnya Unilever memperkenalkan refill station di Bintaro bulan Februari 2020.

Instrumen ekonomi contohnya pungutan pajak, bea masuk, atau insentif riset, inovasi, dan investasi material alternatif ramah lingkungan.

Salah satu kebijakan transnasional mengatur ekspor impor sampah plastik. Karena kekurangan kapasitas mengelola sampahnya, negara-negara kaya mengekspor sampah plastik ke negara-negara berkembang. Ketidaksiapan sistem pengelolaan sampah di negara importir berakibat polusi sampah plastik.

Indonesia merupakan salah satu penyumbang terbesar sampah plastik di laut, sejumlah 0,48 sampai 1,29 juta ton setahun, yang merupakan 10,1% dari sampah plastik laut dunia. Sekitar 10 miliar kantong plastik (ekuivalen 85.000 ton plastik) beredar di Indonesia tiap tahun.   

Observasi LIPI mencatatkan 45% sampah di Teluk Jakarta adalah kemasan SUP. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mempanjangan larangan nasional penggunaan SUP sampai 2029, meliputi tas belanja, sedotan, alat makan, kotak-makan styrofoam.

Dengan populasi ke-4 terbesar di dunia, Indonesia harus bergerak cepat dan tepat mengelola sampah plastiknya.  Pemerintah telah menyusun sejumlah peta jalan dan inisiatif, dan menetapkan target: mengurangi sampah dari sumbernya sebesar 30%, meningkatkan penanganan sampah sampai 70% dan mengeliminasi polusi plastik pada 2040.  Mari kita berkontribusi agar Indonesia tidak tertimbun plastik.

Mona Sakaria

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.