Urgensi Peninjauan Ulang Kebijakan Harga Gas Bumi untuk Industri
Melalui rapat terbatas pada 8 Juli 2024, pemerintah memperpanjang kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) yang akan berakhir pada 31 Desember 2024. Seperti sebelumnya, pemerintah menyampaikan bahwa tujuan utama perpanjangan kebijakan HGBT adalah untuk meningkatkan daya saing dan kapasitas industri nasional.
Melalui Peraturan Presiden Nomor 40/2016, Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri, dan sejumlah aturan pelaksanaannya, pemerintah menetapkan harga gas di plant gate konsumen industri di Tanah Air tidak lebih dari US$ 6 per juta British Thermal Unit (MMBTU).
Landasan pemikiran kebijakan tersebut adalah informasi mengenai harga gas yang disebut memiliki porsi besar dalam struktur biaya produksi industri nasional. Sementara rata-rata harga jual gas hulu di Indonesia dinilai lebih tinggi dibandingkan rata-rata harga jual gas di negara ASEAN lainnya.
Atas dasar tersebut, kebijakan HGBT diharapkan dapat memberikan sejumlah manfaat, di antaranya: (1) mendorong terciptanya multiplier effect dan pertumbuhan ekonomi, (2) penurunan beban subsidi pupuk dan listrik, dan (3) mendukung program swasembada dan ketahanan pangan melalui harga pupuk murah.
Daya Saing Industri dan Keuangan Negara
Berdasarkan sejumlah studi ditemukan bahwa daya saing sektor industri Indonesia justru lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor lain di luar harga gas. Harga gas pada dasarnya hanya salah satu komponen untuk menurunkan biaya input produksi atau yang umumnya disebut sebagai cost competitiveness. Dalam hal ini cost competitiveness hanya salah satu dari sejumlah faktor yang mempengaruhi daya saing.
Merujuk Porter Diamond Model, daya saing industri paling tidak ditentukan oleh empat faktor utama yaitu resource element, market demand, industrial strategy, dan support industry. Harga gas khusus hanya merupakan salah satu komponen dari variabel support industry yang akan mempengaruhi biaya input produksi secara relatif. Untuk kondisi Indonesia juga relatif sama bahwa biaya penyediaan gas bumi hanya merupakan salah satu komponen dari biaya input dalam kegiatan produksi sektor industri.
Publikasi Prasetyawati (2022) dan Setiawan (2019) menyebutkan bahwa perlambatan pertumbuhan sektor industri dalam beberapa tahun terakhir disebabkan antara lain oleh permasalahan bahan baku yang masih didominasi impor, infrastruktur yang tidak memadai, kurangnya tenaga ahli terampil, regulasi ketenagakerjaan, tekanan produk impor, dan permasalahan biaya produksi di mana harga gas menjadi salah satu komponen di dalamnya.
Adapun data Kementerian Koordinator Perekonomian menyebutkan bahwa porsi gas bumi di dalam struktur biaya input untuk produksi di sektor industri bervariasi. Untuk industri pupuk dan petrokimia, komponen biaya gas memiliki porsi hingga 70% dalam struktur biaya produksinya. Untuk industri lainnya, komponen gas hanya berkontribusi tiga hingga 26% dari struktur biaya produksi di industri tersebut.
Meskipun berpotensi dapat memberikan sejumlah manfaat, implementasi kebijakan HGBT juga menimbulkan sejumlah konsekuensi terkait aspek fiskal, moneter, dan iklim investasi pada kegiatan usaha hulu dan hilir gas bumi. Dari aspek fiskal, implementasi kebijakan HGBT berdampak langsung terhadap berkurangnya penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor hulu migas.
Penurunan pendapatan negara akibat kebijakan HGBT selama 2021-2023 telah mencapai sekitar Rp 51 triliun. Sementara peningkatan penerimaan pajak dari industri penerima HGBT pada periode yang sama dilaporkan sebesar Rp 27,81 triliun.
Bagi industri migas, kebijakan HGBT dinilai lebih banyak memberikan sinyal negatif terhadap iklim investasi di sektor hulu dan hilir gas secara keseluruhan. Implementasi kebijakan HGBT juga diinformasikan telah memberikan dampak langsung terhadap kegiatan usaha di sektor midstream. Pelaku usaha di sektor midstream diharuskan menyesuaikan tarif, biaya, dan mengendalikan margin usaha mereka sebagai respons terhadap kebijakan tersebut.
Secara konseptual, penurunan PNBP akibat kebijakan HGBT diharapkan terkompensasi oleh meningkatnya penerimaan pajak dari sektor industri penerima harga gas khusus. Akan tetapi berdasarkan data yang ada, manfaat dari implementasi kebijakan HGBT relatif belum sesuai dengan perkiraan awal. Penerimaan pajak dari sektor industri penerima HGBT selama periode 2021-2023 lebih rendah dibandingkan dengan berkurangnya PNBP akibat kebijakan tersebut.
Perlu Kebijakan Harga Gas yang Proporsional
Mencermati data, informasi, dan fakta yang ada, pengambil kebijakan kiranya perlu meninjau kembali kebijakan HGBT yang dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing industri nasional. Sebagai penentu dan pengambil kebijakan utama terkait harga gas bumi nasional, pemerintah perlu memastikan bahwa harga gas yang ditetapkan mampu menjaga keberlanjutan bisnis seluruh mata rantai bisnis gas, dari sisi hulu, midstream, downstream, maupun konsumen akhir pengguna gas di hilir. Harga pada seluruh segmen mata rantai penyediaan gas perlu diatur sesuai nilai keekonomiannya untuk memberikan sinyal positif adanya jaminan pengembalian investasi yang wajar.
Intervensi secara proporsional dari pemerintah menjadi instrumen kebijakan lanjutan yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah untuk mengatasi potensi terjadinya kegagalan pasar yang disebabkan oleh kebijakan harga yang didasarkan pada prinsip usaha yang wajar. Bentuk intervensi secara proporsional yang dapat dilakukan di antaranya melalui pemberian insentif fiskal secara langsung kepada industri pengguna gas; dan/atau pemberian jaminan fiskal kepada badan usaha yang mendapat penugasan di dalam melakukan kegiatan jual-beli gas bumi.
Dengan mekanisme subsidi langsung, tujuan untuk mencapai daya saing industri nasional tetap dapat dicapai dengan meminimalkan dampak negatif yang timbul, baik di sisi penerimaan negara maupun di sisi kondusifitas iklim usaha di sektor hulu dan midstream gas nasional.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.