Indonesia sedang giat mendorong transformasi digital, hilirisasi industri, dan transisi energi. Di tengah berbagai ambisi tersebut, riset dan inovasi seharusnya menjadi fondasi utama. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa iklim riset kita masih jauh dari ideal. Pendanaan yang terbatas, minimnya fasilitas laboratorium, serta rendahnya kolaborasi antarsektor membuat riset sering kali berjalan setengah hati.
Banyak penelitian dilakukan hanya sebagai formalitas akademik, bukan sebagai upaya pencarian jawaban atas persoalan nyata. Di bidang Science, Technology, Engineering, and Mathematics (STEM), kondisi ini kian mengkhawatirkan. Padahal, metode penelitian dalam bidang ini sangat menentukan kualitas, validitas, dan relevansi hasilnya. Namun, pemilihan metode sering kali tidak berdasarkan pertimbangan ilmiah, melainkan karena keterbatasan alat, waktu, atau pemahaman.
Yang lebih memprihatinkan, riset dihargai jika cepat membuahkan hasil, padahal penelitian yang bermakna justru membutuhkan proses panjang, iteratif, dan penuh kehati-hatian. Di sinilah letak masalah struktural yang perlu dibongkar: kita belum memiliki budaya riset yang menghargai proses ilmiah secara utuh.
Iklim Riset dan Budaya Ilmiah yang Belum Sehat
Kondisi riset di Indonesia diperburuk oleh budaya ilmiah yang terlalu menekankan hasil akhir. Riset dianggap berhasil jika menghasilkan produk atau publikasi dalam waktu singkat, padahal banyak riset penting justru membutuhkan waktu panjang. Pengembangan obat kanker, misalnya, bisa memakan waktu antara 10 hingga 15 tahun. Dari riset dasar di laboratorium, pengujian praklinis pada hewan, hingga uji klinis bertahap pada manusia. Proses ini penuh risiko dan membutuhkan kehati-hatian ekstrem demi keselamatan pasien (National Cancer Institute, 2023).
Namun, dalam sistem yang tidak memberi ruang bagi riset jangka panjang, jenis penelitian seperti ini nyaris tidak mendapat tempat. Di sinilah pentingnya menyadari bahwa riset bukan soal cepat atau lambat, tetapi soal akurat atau tidak. Keinginan untuk hasil yang instan bisa menjerumuskan pada praktik ilmiah yang dangkal dan berisiko.
Tanpa fondasi metodologis yang kokoh, hasil riset menjadi mudah dipatahkan, sulit direplikasi, dan tidak cukup kuat untuk dijadikan dasar pengambilan keputusan. Ketika dunia akademik tidak dilibatkan dalam proses kebijakan, muncullah keputusan yang tidak berbasis bukti ilmiah.
Di sisi lain, penilaian terhadap kualitas riset pun sering kali tidak berorientasi pada substansi. Dosen dan peneliti lebih banyak dikejar untuk memenuhi kuota publikasi daripada menghasilkan riset yang relevan secara sosial maupun strategis. Obsesi pada kuantitas mengaburkan pentingnya kedalaman dan ketelitian metodologi.
Tiga Pendekatan Ilmiah yang Saling Menguatkan
Pendekatan dalam riset STEM tidak bersifat tunggal. Ia dapat berbasis teori (solusi analitik), pemodelan digital (metode numerik), atau pengujian langsung (eksperimen). Ketiga pendekatan ini bukan pilihan eksklusif, melainkan sistem yang saling terhubung dan memperkuat.
Eksperimen bisa menghasilkan rumus empiris yang menjadi dasar bagi solusi analitik. Solusi analitik dapat dikembangkan menjadi metode numerik untuk skenario kompleks. Sebaliknya, metode numerik dan analitik juga bisa menjadi dasar dalam merancang eksperimen yang lebih efektif. Eksperimen sendiri dapat dilakukan dari skala laboratorium hingga skala nyata. Di bidang medis, misalnya, eksperimen dilakukan bertahap—mulai dari in vitro, hewan uji, hingga uji klinis pada manusia. Sementara di bidang keinsinyuran, eksperimen bisa dimulai dari model berskala laboratorium, seperti miniatur bendungan (dam) untuk mempelajari aliran fluida, hingga aplikasi skala lapangan dalam pembangkit listrik tenaga air.
Fisikawan teoretis kenamaan Richard Feynman pernah berkata, “Tidak peduli seindah apa pun teorimu, tidak peduli sepintar apa pun dirimu. Jika teori itu tidak sesuai dengan hasil eksperimen, maka teori itu salah.” Kutipan ini menegaskan pentingnya validasi empiris dalam proses ilmiah. Inilah mengapa riset tidak bisa tergesa-gesa—setiap tahap saling bergantung dan memerlukan kehati-hatian.
Ketika kita memahami keterkaitan antarpendekatan ini, kita akan lebih bijak dalam merancang penelitian. Kita tidak lagi terburu-buru ingin melihat hasil, tapi justru menikmati proses mengurai satu demi satu lapisan pengetahuan yang sebelumnya tersembunyi.
Saat Kebijakan Mengabaikan Bukti
Sayangnya, budaya pengambilan keputusan di Indonesia masih sering mengabaikan hasil riset. Proyek food estate yang gagal panen, proyek gasifikasi batubara, hingga relokasi ibu kota tanpa kajian lingkungan yang terbuka, semua menjadi contoh lemahnya peran bukti ilmiah dalam penyusunan kebijakan.
Sebaliknya, negara seperti Korea Selatan menunjukkan bahwa investasi jangka panjang dalam riset mampu mengubah wajah perekonomian nasional. Dengan belanja litbang di atas 4% dari PDB dan sinergi kuat antara kampus, industri, dan pemerintah, negara tersebut kini menjadi pemimpin inovasi teknologi.
Begitu pula Singapura dan Vietnam, dua negara Asia Tenggara yang menunjukkan bagaimana riset dan penghargaan terhadap para ahli dapat menjadi pengungkit kemajuan. Singapura mengalokasikan lebih dari 2% PDB-nya untuk litbang dan melibatkan akademisi dalam perencanaan pembangunan jangka panjang.
Vietnam dalam satu dekade terakhir menata ulang sistem risetnya, menaikkan pendanaan dan memperkuat pendidikan tinggi yang mendukung pertumbuhan sektor teknologi dan manufaktur. Negara-negara ini membuktikan bahwa keberhasilan tidak hanya bergantung pada sumber daya alam, melainkan pada keberanian berinvestasi pada pengetahuan dan manusia. Negara yang menaruh kepercayaan pada para ahli akan memanen kemajuan.
Pesannya sederhana: untuk menjadi negara maju, kita tidak cukup hanya mengandalkan kekayaan alam atau tenaga kerja murah. Kita harus menghargai ilmu, mendengarkan para peneliti, dan memberi ruang bagi pikiran cemerlang untuk tumbuh. Kemajuan tidak datang dari kebetulan, tapi dari konsistensi membangun fondasi pengetahuan.
Kesimpulan
Membangun budaya riset yang kuat bukanlah proses instan. Ia memerlukan fondasi yang kokoh, ekosistem yang mendukung, serta keberanian untuk menghargai proses ilmiah, bukan hanya hasil akhirnya. Kita perlu menata ulang cara pandang terhadap riset—bukan sekadar alat administratif atau formalitas akademik, melainkan sebagai alat perubahan dan pengambilan keputusan yang berbasis bukti.
Melalui investasi serius pada pendidikan, dukungan pada peneliti, dan ruang kebebasan akademik yang sehat, Indonesia dapat mengejar ketertinggalannya. Menjadi negara maju bukan hanya soal infrastruktur fisik, tapi juga infrastruktur pengetahuan. Dan itu dimulai dari menghargai para pemikir, memberi tempat pada metode, serta memberi waktu bagi ilmu untuk bekerja.
Jika kita ingin maju, maka kita harus berani menjadi bangsa yang berpikir.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.