Transformasi Sistem Pangan yang Tahan Banting dan Berkelanjutan

Katadata/ Bintan Insani
Penulis: Sayifullah
14/7/2025, 06.05 WIB

FAO memperkirakan harga pangan akan terus meningkat dalam satu dekade ke depan seiring ketidakpastian global. Sebagai negara salah satu negara berpenduduk terbesar, Indonesia menghadapi persoalan untuk menjamin ketersediaan pasokan makanan dengan harga yang terjangkau, serta keberlanjutan sistem pangan nasional tengah situasi global yang tidak pasti.

Sistem pangan tidak hanya menyangkut produksi pertanian, tetapi juga mencakup keseluruhan rantai dari hulu ke hilir: yakni input pertanian, distribusi, penyimpanan, pengolahan, konsumsi, hingga limbah. Dalam konteks ekonomi nasional, sistem pangan memiliki keterkaitan yang luas dan berdampak langsung terhadap inflasi, Produk Domestik Bruto (PDB) dan pertumbuhan ekonomi, serta ketenagakerjaan.

Volatilitas harga pangan seperti beras, minyak goreng, cabai, daging ayam, dan telur merupakan pemicu kenaikan inflasi. Beberapa komoditas tersebut, yang biasanya dikaitkan dengan inflasi pangan volatile (bergejolak), merupakan kontributor inflasi umum. Inflasi pangan volatile juga memberi dampak kepada 40% penduduk menengah ke bawah yang sebagian besar pola alokasi konsumsinya adalah konsumsi pangan.

Menurut BPS, pada 2024 sektor pertanian telah menyumbang pembentukan PDB sebesar 12,6% dan berkontribusi terhadap penyediaan lapangan pekerjaan sebesar 28,2%. Bahkan saat resesi dan krisis ekonomi yang disebabkan pandemi Covid-19, di mana banyak sektor ekonomi mengalami pertumbuhan negatif, sektor pertanian tetap mengalami pertumbuhan yang positif 1,77% pada 2020 dengan nilai kontribusi terhadap pembentukan PDB sebesar 13,7%. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pangan atau sektor pertanian memiliki peran strategis sebagai penyangga ekonomi nasional.

Global Uncertainty dan Tantangan Struktural 

Dalam dua tahun terakhir, dunia mengalami tekanan global, terutama disebabkan oleh meningkatnya konflik Rusia-Ukraina, fenomena El Nino, dan pembatasan ekspor negara penghasil komoditas pangan dunia. Akibatnya, harga komoditas pangan dan energi terus merangkak naik, termasuk harga Saprotan (sarana produksi pertanian) untuk input sektor pertanian.

Ketergantungan Indonesia terhadap impor pangan dan Saprotan dari pasar global juga masih cukup besar. Beberapa jenis impor pangan Indonesia yang cukup besar di antaranya gandum, gula, kedelai, daging, bawang putih, dan beras. Indonesia juga masih harus mengimpor Saprotan, khususnya pupuk kimia. Situasi ini tentunya tidak baik bagi Indonesia manakala terjadi guncangan di pasar global. Indonesia akan sangat rentan mengalami kekurangan pasokan dan kenaikan inflasi di dalam negeri yang disebabkan oleh tekanan eksternal.

Di tengah besarnya ketergantungan impor pangan Indonesia, tantangan struktural sistem pangan nasional (sektor pertanian) masih menjadi hambatan. Akibatnya perkembangan laju pertumbuhan sektor pertanian Indonesia terus menurun sejak 2018 sampai dengan 2024. 

Pada 2018, laju pertumbuhan sektor pertanian tercatat 3,89% hingga akhirnya turun menjadi 0,67% di 2024. Sektor pertanian Indonesia menghadapi ancaman terus turunnya kapasitas produksi disebabkan luas lahan pertanian yang menyusut, fenomena land fatigue penggunaan jangka panjang pupuk kimia, krisis regenerasi petani dan perubahan iklim. Selain itu, perubahan penggunaan teknologi dan inovasi di sektor pertanian Indonesia juga masih terbatas.

Langkah Strategis Transformasi Sistem Pangan

Melihat keterkaitan sistem pangan dengan ekonomi nasional dan keterhubungannya dengan pasar global di tengah ketidakpastian global, diperlukan transformasi sistem pangan yang resilient dan berkelanjutan yang sekaligus memberi dampak positif bagi ekonomi. Transformasi sistem pangan menjadi keharusan mengingat besarnya kebutuhan akan pangan Indonesia, selain keterkaitannya yang luas dengan struktur ekonomi nasional. 

Langkah strategis yang perlu dilakukan dalam rangka transformasi sistem pangan nasional ke depan. Pertama, peningkatan produktivitas pangan melalui penggunaan teknologi dan inovasi. Dengan demikian, persoalan atau hambatan dalam keterbatasan lahan, fenomena land fatigue, dan juga penggunaan input produksi pertanian (Saprotan) bisa diatasi. Peningkatan produktivitas melalui teknologi dan inovasi akan memberikan hasil panen atau produksi yang optimal serta memadai bagi kebutuhan nasional.

Kedua, diversifikasi dan ketahanan pangan lokal. Ketergantungan terhadap konsumsi sumber pangan tertentu perlu dikurangi, misalnya ketergantungan terhadap beras, dengan pengembangan pangan lokal sebagai alternatif sumber pangan untuk konsumsi. Program MBG di sekolah dapat diintegrasikan dengan penggunaan pangan lokal, sehingga ada permintaan pangan lokal dari perubahan pola konsumsi yang memberikan pengaruh positif untuk peningkatan skala ekonomi dan produksi pangan lokal yang lain. Diversifikasi dan ketahanan pangan lokal juga bisa mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor pangan dari luar negeri.

Ketiga, hilirisasi dan penguatan industri pangan nasional. Nilai tambah yang dihasilkan oleh sektor pertanian Indonesia masih rendah. Hilirisasi produk pertanian melalui pengolahan makanan, pengemasan dan distribusinya, dapat meningkatkan nilai tambah sektor pertanian. Selain itu juga dapat membuka lapangan kerja yang lebih luas, meningkatkan pendapatan petani serta mengembangkan UMKM pangan.

Keempat, mengembangkan sistem logistik dan cadangan pangan yang efisien. Ketersediaan gudang, sistem distribusi berpendingin, dan pelabuhan pangan sangat penting untuk memperpendek rantai distribusi dan menekan disparitas harga. Pemerintah perlu mendorong investasi swasta di sektor logistik pangan melalui insentif fiskal dan kemitraan publik swasta. Sistem logistik dan cadangan yang efisien bisa meredam inflasi pangan bergejolak dan menjamin ketersediaan dan keterjangkauan akan pangan.

Kelima, percepatan regenerasi petani. Saat ini Indonesia tengah mengalami penuaan petani. Berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2023 yang dilaksanakan BPS, proporsi petani dengan kelompok umur di atas 45 tahun kini mencapai 66,44% dari total petani di Indonesia. Bila tren ini terus lanjut, penuaan petani bisa berdampak besar terhadap penurunan produktivitas pertanian dan keberlanjutan sistem pangan nasional. Perlu percepatan regenerasi petani dengan menjadikan sektor pertanian sebagai lapangan usaha modern yang memanfaatkan teknologi dan inovasi serta menarik minat generasi muda untuk terjun ke sektor ini. Pemerintah bisa berkolaborasi dengan komunitas-komunitas petani dan melibatkan generasi mudanya guna mengembangkan pertanian yang modern.

Beberapa langkah strategis tersebut dibutuhkan konsistensi dalam pelaksanaannya. Transformasi sistem pangan yang resilient dan berkelanjutan bukanlah hanya urusan petani. Tetapi harus menjadi agenda nasional yang melibatkan semua pemangku kepentingan, seperti pemerintah pusat dan daerah, dunia usaha, akademisi, generasi muda, dan tentunya para petani itu sendiri. Sistem pangan nasional yang resilient dan berkelanjutan merupakan landasan untuk membangun ekonomi yang kuat, tangguh, inklusif, dan berdaulat. Sebab bangsa yang merdeka dan berdaulat ekonomi-nya, adalah bangsa yang berdaulat dan berketahanan dalam pangan-nya. Semoga.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Sayifullah
Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.