Menelisik Akar Bencana Sumatra

Katadata/ Bintan Insani
Penulis: Deni Aries Kurniawan
26/12/2025, 07.05 WIB

Penghujung 2025, perhatian publik tertuju pada Pulau Sumatra—tepatnya di provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Hujan dengan intensitas tinggi yang turun selama berhari-hari memicu banjir bandang, galodo, dan tanah longsor di ketiga provinsi tersebut. Hingga 12 Desember, BNPB mencatat lebih dari 1.100 orang tewas dan ratusan ribu masing mengungsi. Angka-angka ini bukan sekadar statistik, melainkan nyawa manusia yang menuntut perhatian serius.

Kerusakan infrastruktur seperti jalan, jembatan, dan jaringan internet juga melumpuhkan akses menuju wilayah terdampak. Distribusi logistik menjadi tersendat karena jalur darat terputus, dan koordinasi tim SAR maupun para relawan ikut terganggu. Berbagai hambatan ini memperburuk situasi, terutama bagi korban yang masih menunggu pertolongan di lokasi-lokasi yang sulit dijangkau. Pertanyaannya: mengapa tragedi bencana seperti ini terus berulang?

Risiko yang Diproduksi: Deforestasi dan Ekstraktivisme

Kita perlu untuk melihat ulang akar penyebab bencana yang terjadi di Pulau Sumatra. Apakah semata-mata faktor alam? Atau ada faktor struktural yang lebih dalam? Untuk memahami fenomena ini, kita dapat meminjam konsep masyarakat risiko yang dikemukakan oleh Ulrich Beck (2015). Dia menjelaskan, dalam era modernitas, banyak bencana terjadi bukan karena kejadian alamiah, melainkan risiko yang lahir dari pilihan ekonomi, politik, dan perkembangan teknologi. Risiko tersebut muncul ketika modernitas menghasilkan kerentanan baru yang tidak mampu dikendalikan oleh institusi yang menciptakannya.

Dalam konteks Sumatra, kepentingan ekonomi dan keputusan politik telah meningkatkan kerentanan ekologis. Logika pembangunan yang menekankan pertumbuhan telah mendorong deforestasi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Data WALHI mencatat bahwa dalam satu dekade terakhir, tidak kurang dari 1,4 juta hektare hutan di ketiga provinsi tersebut hilang akibat perluasan konsesi tambang, perkebunan sawit, energi, dan pembangunan PLTA. 

Masifnya deforestasi ini didorong oleh kelonggaran perizinan dari negara. Data Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa selama 2017-2022, pemerintah melepas kawasan hutan untuk survei dan eksplorasi tambang seluas 197.891,69 hektare di Sumatera Utara; 67.026,68 hektare di Aceh; dan 4.720,33 hektare di Sumatera Barat.

Selain pertambangan, hutan di ketiga provinsi itu juga beralih menjadi perkebunan sawit. Sekitar tahun 1990, wilayah tersebut masih ditutupi hutan heterogen seluas 9,5 juta hektare. Namun, dengan laju deforestasi yang masif, lebih dari 1 juta hektare hutan hilang, sementara konsesi kelapa sawit melonjak drastis dari kurang dari 1 juta hektare menjadi lebih dari 3,3 juta hektare. 

Akibatnya, kapasitas ekologis wilayah tersebut menurun. Air hujan berintensitas tinggi yang seharusnya dapat diserap oleh hutan heterogen, tidak lagi dapat berjalan dengan optimal. Akhirnya, hilangnya hutan heterogen merusak stabilitas Daerah Aliran Sungai (DAS), sehingga kehilangan fungsi sebagai penyangga alami yang mengatur aliran air dari hulu ke hilir.

Dengan kata lain, masifnya pengembangan ekonomi ekstraktif di Indonesia telah memproduksi berbagai bentuk risiko—termasuk bencana hidrometeorologi seperti banjir, galodo, dan longsor. Ironisnya, risiko ekologis tersebut justru dialihkan kepada masyarakat bawah yang rentan. Artinya, kelompok yang paling sedikit berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan justru menjadi pihak yang paling banyak menanggung dampaknya. 

Pola ini mencerminkan apa yang disebut Beck (2015) sebagai “unequal distribution of risk”, yakni kondisi ketika risiko modern—yang lahir dari proses pembangunan itu sendiri—didistribusikan secara tidak adil kepada mereka yang memiliki kapasitas minimal untuk menghindarinya.

Menghentikan Produksi Risiko

Bencana yang saat ini terjadi di Sumatra bukan sekadar kejadian alam. Terjadinya banjir bandang, galodo, dan tanah longsor juga merupakan konsekuensi dari cara kita—terutama negara— dalam mengelola hutan, tambang, dan perkebunan yang memicu berbagai risiko. Karena itu, negara memiliki peran penting untuk menghentikan produksi risiko ini. 

Pertama, kebijakan aspek lingkungan dan tata ruang harus diperbaiki. Setiap pembangunan harus diuji risiko jangka panjangnya, bukan sekadar mengejar keuntungan ekonomi. Prinsip independensi dan transparansi harus dikedepankan sebaliknya intervensi kepentingan politik atau korporasi harus dijauhkan.

Kedua, praktik pemindahan risiko kepada masyarakat kecil dan rentan perlu dihentikan lewat political will yang tegas dari negara. Selama ini, keuntungan dari pengelolaan sumber daya alam dominan dinikmati elite, sementara masyarakat sekitar, alih-alih kehidupannya sejahtera, sebaliknya justru berhadapan dengan risiko ekologis—banjir, longsor, kebakaran hutan, hingga pencemaran air. 

Negara harus mengadopsi prinsip keadilan ekologis dengan memastikan bahwa mereka yang menciptakan risiko juga menanggung biaya pemulihannya—sejalan dengan polluter pays principle. Adanya penegakan hukum yang nyata: sanksi finansial, pencabutan izin, dan hukuman pidana bagi korporasi yang melanggar menjadi basis untuk menerapkan political will itu. Sejalan dengan semangat ‘Laudato Si’ Paus Fransiskus bahwa krisis ekologis tidak boleh kembali dibebankan kepada kelompok miskin.

Ketiga, orientasi pembangunan yang selama ini berorientasi pertumbuhan cepat, harus diubah menjadi pembangunan berkelanjutan yang mengedepankan keseimbangan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan ekologis. Sebab, pengabaian daya dukung sosial dan lingkungan oleh pembangunan berdampak pada membesarnya risiko di masa depan. Adopsi terhadap prinsip-prinsip keberlanjutan itu, sekaligus jalan untuk mengurangi bahkan menghentikan risiko pada sumbernya.

Pada akhirnya, dengan berbagai langkah itu, harapannya negara mampu mengurangi bahkan menghentikan risiko di era modernitas—termasuk bencana yang ada di Sumatra atau wilayah lainnya. Lebih jauh, tidak hanya dibutuhkan upaya teknis, melainkan perubahan paradigma: dari pembangunan yang mengejar keuntungan jangka pendek menuju pembangunan yang melindungi kehidupan, ekosistem, dan martabat manusia dalam jangka panjang.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Deni Aries Kurniawan
Dosen Sosiologi Universitas Sriwijaya

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.