Di banyak keluarga Indonesia, ada pemandangan yang terasa semakin biasa: seorang ayah pulang larut, melepas sepatu, lalu duduk diam sambil menatap layar ponsel. Sapaan anak dijawab singkat. Obrolan di meja makan sekadar formalitas. Ayah memang ada, tetapi seperti tidak benar-benar hadir. Perlahan-lahan, tanpa disadari, ayah berubah peran bukan lagi sebagai pendidik pertama dan teladan utama, melainkan seperti tamu di rumahnya sendiri.
Fenomena ini bukan sekadar cerita. Tuntutan ekonomi, tekanan pekerjaan, budaya patriarki yang menempatkan “ranah domestik” sepenuhnya pada ibu. Derasnya arus digital membuat banyak ayah semakin jauh dari ruang pengasuhan. Mereka bekerja keras demi keluarga sebuah niat yang mulia tetapi sering lupa bahwa anak tidak hanya butuh nafkah finansial, melainkan juga nafkah emosional.
Penelitian psikologi keluarga dalam sepuluh tahun terakhir menunjukkan kehadiran ayah berpengaruh besar terhadap perkembangan anak. Anak yang memiliki hubungan hangat dengan ayah cenderung memiliki rasa percaya diri lebih baik, kemampuan sosial lebih matang, serta regulasi emosi yang lebih stabil. Beberapa studi bahkan menunjukkan bahwa keterlibatan ayah secara positif berkorelasi dengan rendahnya perilaku berisiko saat anak beranjak remaja. Kehadiran seorang ayah bukan sekadar figur otoritas; ia adalah jangkar rasa aman.
Namun kenyataan di lapangan sering jauh berbeda. Saya pernah berdialog dengan seorang anak SMP yang berkata lirih, “Ayah itu baik, tapi kami jarang bicara. Kalau bicara, biasanya karena ada masalah.” Kalimat pendek itu seperti cermin retak kita melihat diri kita, tetapi bentuknya sudah tidak utuh lagi.
Budaya yang Menjauhkan Ayah dari Rumah
Kita dibesarkan dalam budaya yang lama menempatkan ayah sebagai pencari nafkah utama. Paradigma ini tanpa sadar menciptakan jarak. Ayah merasa tugasnya selesai ketika gaji sudah sampai di meja. Sementara itu, ibu menjadi pusat hampir seluruh urusan anak: belajar, menangis, bercerita, hingga menenangkan saat gagal.
Hubungan anak-ayah pun menjadi formal dan kaku. Ayah hadir terutama saat ada keputusan penting atau saat anak melakukan kesalahan. Kehangatan sering baru muncul ketika anak sudah dewasa atau bahkan ketika jarak sudah terlalu jauh untuk dijembatani.
Kehadiran teknologi memperlebar jarak itu. Anak larut dalam gawainya, ayah pun demikian. Rumah menjadi sunyi bukan karena tak ada suara, tetapi karena tak ada percakapan.
Saat Anak Kehilangan Ayah yang Hadir
Anak belajar bukan hanya dari apa yang kita katakan, tetapi dari hadir atau tidaknya kita dalam hidup mereka. Ketika ayah jarang berinteraksi, anak laki-laki bisa kehilangan figur identifikasi dan role model yang sehat. Anak perempuan kehilangan gambaran tentang relasi aman dengan laki-laki. Secara umum, anak lebih rentan mengalami hambatan dalam membangun rasa percaya diri dan keamanan emosional.
Sebaliknya, ketika ayah hadir secara genuin, anak tumbuh lebih berani mencoba hal baru, lebih siap menerima kegagalan, dan memiliki memori masa kecil yang hangat. Yang paling mahal dari seorang ayah bukan jabatannya, bukan gajinya, tetapi waktu dan perhatian yang tulus.
Sebuah penelitian keluarga di Asia Tenggara tahun-tahun terakhir menemukan bahwa anak yang memiliki rutinitas sederhana bersama ayah seperti sarapan bersama, membaca buku malam hari, atau sekadar berbincang sebelum tidur memiliki kesejahteraan psikologis lebih baik dibandingkan anak yang jarang berinteraksi, meski ayah tinggal serumah. Ini menegaskan bahwa kebersamaan kecil jauh lebih berarti daripada hadiah mahal atau liburan sesekali.
Kisah yang Terlalu Sering Terjadi
Sebut saja namanya Raka (nama samaran), siswa kelas lima SD. Gurunya bercerita bahwa setiap kali ada sesi menulis bebas, Raka selalu menulis tentang ibunya. Tentang masakan ibu, tentang pelukan ibu, tentang cerita sebelum tidur. Ketika ditanya mengapa tidak pernah menulis tentang ayah, ia menjawab polos, “Ayah selalu sibuk. Aku tidak tahu harus menulis apa.”
Ayah Raka bukan sosok yang jahat. Ia bekerja keras, menyayangi keluarga, dan selalu ingin memberi yang terbaik. Tetapi dalam diam, jarak emosional terbentuk. Bagi Raka, ayah adalah sosok yang ada namun tidak dekat. Berapa banyak anak seperti Raka di sekitar kita?
Ayah Juga Manusia: Lelah Itu Nyata
Di sisi lain, kita juga perlu jujur dan adil. Banyak ayah sebenarnya ingin terlibat, namun mereka kelelahan, tidak percaya diri, atau tidak punya “bahasa emosi” untuk berkomunikasi. Sebagian dibesarkan dalam lingkungan yang kaku, sehingga mereka tidak memiliki contoh bagaimana menjadi ayah yang hangat. Karena itu, ajakan untuk lebih hadir bukanlah tuduhan atau penghakiman. Ini adalah undangan untuk pulang bukan hanya ke rumah, tetapi ke hati anak-anak kita.
Mengembalikan Ayah ke Ruang Pengasuhan
Perubahan tidak selalu dimulai dari langkah besar. Kehadiran emosional sering lahir dari hal-hal sederhana. Misalnya, menyediakan waktu khusus setiap hari untuk benar-benar mendengarkan anak tanpa distraksi gawai. Mengajak anak berbincang tentang apa yang mereka alami hari itu apa yang menyenangkan, apa yang berat, dan apa yang sedang mereka rasakan. Keterlibatan juga bisa diwujudkan melalui rutinitas kecil: menemani belajar, bermain bersama, mengantar sekolah, atau sekadar menyiapkan sarapan sederhana.
Yang tak kalah penting adalah belajar mengelola emosi. Anak lebih peka terhadap nada suara daripada isi kata-kata. Ayah yang tenang memberi rasa aman bagi seluruh rumah. Dan yang perlu disadari, pengasuhan bukan peran satu orang tua saja. Kolaborasi ayah dan ibu membuat anak tumbuh lebih seimbang karena mereka belajar dari dua figur berbeda yang sama-sama mencintai.
Solusi yang Nyata, Bukan Sekadar Wacana
Jika kita ingin mencegah semakin banyak ayah menjadi tamu di rumah sendiri, maka ada beberapa langkah realistis yang bisa dimulai. Sistem kerja yang lebih ramah keluarga perlu terus diperjuangkan, termasuk budaya organisasi yang tidak memuliakan lembur tanpa batas. Pendidikan orang tua baik formal maupun informal perlu memberi ruang pembelajaran tentang peran ayah, bukan hanya ibu. Sekolah dan komunitas juga bisa mendorong program keterlibatan ayah dalam kegiatan anak.
Namun yang paling utama adalah kesadaran pribadi. Setiap ayah perlu bertanya pada dirinya: sudahkah saya hadir, bukan sekadar ada? Sudahkah anak saya mengenal suara hati saya, bukan hanya suara perintah saya?
Pada akhirnya, rumah bukan sekadar bangunan tempat kita pulang. Rumah adalah ruang di mana anak belajar menjadi manusia. Jika ayah hanya menjadi tamu, maka sebagian ruang itu kosong. Mari kita bayangkan suatu hari nanti, ketika anak kita dewasa dan seseorang bertanya, “Siapa orang yang paling kamu percaya di dunia ini?” Alangkah indahnya jika salah satu jawabannya adalah: Ayah.
Karena menjadi ayah bukan hanya soal memberi nafkah tetapi memberi arah, teladan, dan kehangatan. Dan tidak ada kata terlambat untuk benar-benar pulang.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.