Meski masa kampanye sudah berjalan hampir 2 bulan, koalisi partai pendukung calon presiden (capres) Prabowo Subianto dan calon wakil presiden (cawapres) Sandiaga Uno tak kunjung solid. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DKI Jakarta mengancam akan mematikan mesin partainya di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 lantaran sikap Partai Gerindra yang ngotot mengajukan calon untuk mengisi posisi Wakil Gubernur DKI yang ditinggalkan Sandiaga.

Selasa (30/10), Ketua Fraksi PKS di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta Abdurrahman Suhaimi mengungkapkan, ancaman ini datang dari kader PKS di bawah yang merasa kecewa dengan sikap Ketua Gerindra DKI M. Taufik yang masih bersikukuh untuk mencalonkan diri sebagai wakil Anies Baswedan. Kader PKS juga kecewa dengan sikap Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto yang mengizinkan manuver Taufik.

Padahal, sudah ada 'kesepakatan tingkat tinggi' antara Gerindra dan PKS untuk bekerjasama memenangkan Prabowo-Sandi di Pilpres 2019, dengan syarat kursi Wagub DKI diserahkan kepada PKS. "Kalau mau jadi presiden atau pemimpin tingkat nasional harus bisa menunaikan janji yang diberikan," katanya.

Jika ketidakjelasan masalah kursi Wagub DKI ini terus bergulir, Suhaimi menilai, koalisi Gerindra-PKS dari Jakarta hingga pusat dipastikan akan rusak. Konsekuensinya, kerja pemenangan pasangan Prabowo-Sandiaga tidak akan maksimal.

(Baca: Setengah Hati Partai Koalisi Pendukung Jokowi dan Prabowo)

Masalah ini bermula dari kesepakatan antara Gerindra dan PKS untuk berkoalisi di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Barat, pertengahan tahun ini. Ketika itu, PKS sebenarnya sudah berkoalisi dengan Partai Demokrat mengusung Deddy Mizwar sebagai calon gubernur. Gerindra lalu mengajak PKS membuat poros baru dengan mengusung duet Sudrajat-Ahmad Syaikhu.

PKS mengajukan syarat: jika Prabowo hendak maju kembali sebagai capres di Pilpres 2019, maka harus menggandeng kader PKS sebagai cawapres. PKS mengajukan pilihan 9 kadernya. Forum Ijtima Ulama dan Tokoh Nasional, yang digelar akhir Juli lalu, juga merekomendasikan dua nama: Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al Jufri atau dai kondang, Abdul Somad Batubara.

Namun, Prabowo kabarnya tak cocok. Urusan dana menjadi masalah pelik bagi mantan jenderal bintang tiga tersebut. Prabowo pernah berterus-terang, biaya politik yang mahal membuat calon kepala daerah yang didukung Gerindra di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun ini banyak yang gagal.

Awalnya, masalah ini diperkirakan dapat teratasi dengan menggandeng Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat yang juga putra mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, masuknya AHY menuai penolakan dari PKS dan PAN yang berpegang pada rekomendasi Forum Ijtima Ulama.

(Baca: Di Balik Terancam Kandasnya Koalisi Dua Jenderal Menantang Jokowi)

Prabowo lalu mengusulkan Sandiaga sebagai cawapres. PAN dan PKS semula tetap menolak. Sebab, dengan Prabowo-Sandiaga, formasi capres-cawapres menjadi Gerindra-Gerindra. "Itu konyol, masak kami cuma disuruh jadi penggembira?" ujar seorang petinggi partai. PKS akhirnya bersedia mendukung duet tersebut setelah dijanjikan kursi Wakil Gubernur DKI Jakarta yang ditinggalkan Sandiaga.

Namun, menurut Taufik, yang terjadi adalah pemaksaan, bukan kesepakatan. Di ruang tunggu Komisi Pemilihan Umum (KPU) 10 Agustus lalu, hanya beberapa menit menjelang pendaftaran Prabowo-Sandiaga sebagai pasangan capres-cawapres, PKS memaksanya untuk menandatangani surat kesepakatan kursi wakil gubernur DKI akan diisi kader PKS.

Belakangan, Taufik balik badan dengan menyatakan, surat tersebut tidak sah karena tidak ikut ditandatangani Sekretaris DPD Gerindra Jakarta. Selain itu, surat juga menyalahi prosedur penggantian wakil gubernur yang harus melewati DPRD. Taufik pun bermanuver dengan mengajukan namanya sebagai cawagub ke DPRD DKI. Sebab, proses pemilihan wagub pengganti harus mendapat persetujuan dewan.

Menurut pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) Hendri Satrio, ancaman PKS tak bisa dianggap remeh. Ia menilai, Prabowo seharusnya menjaga kekuatan internal koalisi. Kalau ternyata Gerindra memaksakan keinginan untuk mendapatkan posisi Wagub DKI, ini bisa memberi kesan Prabowo memang tidak berniat menang di Pilpres 2019, tetapi haanya berusaha membesarkan Gerindra saja.

(Baca: Jokowi vs Prabowo jilid II Memilih Wakil dengan Banyak Faktor)

Realitasnya, majunya Prabowo didampingi Sandiaga memang sangat menguntungkan Gerindra. Ini yang disebut coattail effect. Lantaran Pemilu legislatif dan Pilpres 2019 akan digelar secara serentak, figur capres yang diusung akan mendorong perolehan suara partai yang diasosiasikan dekat dengan capres.

Riset beberapa lembaga survei politik serta simulasi internal PKS dan PAN, Gerindra akan menggeser Golkar sebagai partai terbesar kedua setelah PDIP, sebagai akibat dari coattail effect. Artinya, Prabowo menang atau kalah di Pilpres tahun depan, Gerindra sudah menuai hasil dengan meraup suara yang berlimpah.

Masalahnya, efek ini belum tentu berlaku untuk PKS dan PAN. Selain karena tidak memperoleh coattail effect, perolehan suara kedua partai sangat mungkin terpangkas metode perhitungan suara Sainte Lague murni yang mulai diterapkan di Pemilu tahun depan. Metode perhitungan suara ini dipercaya lebih menguntungkan partai besar dengan perolehan suara yang banyak.

Karena itu, fokus kedua partai saat ini adalah mengamankan suara mereka lewat kampanye dari calon anggota legislatif masing-masing partai. Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN) sebelumnya mengakui partainya lebih fokus ke upaya pemenangan Pemilu legislatif ketimbang upaya memenangkan Prabowo-Sandi di Pilpres 2019.

(Baca: Motif Berbeda di Balik Laga Prabowo vs Jokowi Jilid II)

Suara pemilih yang tidak puas dengan Jokowi, yang kebanyakan akan menyalurkan pilihan legislatifnya ke Gerindra, sekarang menjadi incaran PKS dan PAN. Daerah pemilihan (Dapil) Jawa Barat misalnya, kabarnya sudah menjadi medan persaingan sengit antara ketiga partai memperebutkan suara pemilih anti-Jokowi.

Terbukti, alih-alih mengiklankan Prabowo-Sandi, strategi kampanye PKS lebih fokus pada upaya menggali ketidakpuasan terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo lewat gerakan "2019 Ganti Presiden". Tanpa kepastian memperoleh kursi Wagub DKI, Prabowo-Sandi dipastikan hanya akan mendapat dorongan minimal dari mesin politik PKS yang militan.

Konsekuensinya, Joko Widodo sebagai petahana, semakin berpeluang keluar sebagai pemenang di Pilpres 2019.