KATADATA - Dalam pertimbangannya, Menteri Energi dan Sumber daya Mineral Sudirman Said menyatakan ada lubang pada Peraturan Menteri Energi Nomor 3 Tahun 2010. Beleid tersebut mengatur Alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri. “Belum mengatur secara komprehensif megenai tata cara penetapan alokasi dan harga gas bumi,” demikian Sudirman mengawali pertimbangan keduannya dalam Peraturan Menteri Energi Nomor 37 Tahun 2015 tentang Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan Serta Harga Gas Bumi.
Beleid yang diundangkan pada 23 Oktober 2015 itu mengubah cukup drastis tata kelola gas selama ini. Misalnya, Pasal 6 menentukan hanya Badan Usaha Milik Negara dan Daerah yang menjadi prioritas penerima alokasi gas. Dari perusahaan pelat merah inilah gas tersebut dialirkan ke konsumen akhir seperti untuk transportasi, rumah tangga, dan pelanggan kecil. Ada pula yang ditujukan bagi industri pupuk, pembangkit listrik, dan industri yang bahan bakarnya gas.
Ketentuan ini tentu memukul pelaku usaha gas swasta. Sebab, berdasarkan aturan yang lama, mereka berhak mengikuti tender penjualan gas yang digelar oleh perusahaan pemegang kontraktor migas. Kontraktor memang wajib menyerahkan 25 persen dari total produksinya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (DMO). (Baca juga: Pemerintah Siapkan Aturan Tata Kelola Gas Buangan).
Keresahan para pedagang gas, misalnya, disuarakan oleh Sabrun Jamil Amperawan. Ketua Indonesian Natural Gas Trader Association (INGTA) ini mengatakan pemerintah tak pernah melibatkan para stake holder, seperti asosiasinya, untuk mendiskusikan peraturan menteri tersebut. Karenanya, dia meminta pemerintah menjelaskan posisi swasta dalam trading gas. “Permen ESDM Nomor 37 Tahun 2015 itu jelas memprioritaskan BUMN dan BUMD,” kata Sabrun di hotel Raffles, Jakarta, Kamis pekan lalu. “Padahal, UU Migas memperbolehkan kami ikut, kok tiba-tiba ditutup prioritas.”
Walau demikian, Sabrun mendukung keinginan pemerintah yang meminta trader membangun infrastruktur gas sebagai sarana menjualnya kembali ke konsumen. Hanya, Asosiasi juga berharap mendapat pasokan gas. Sebab, infrastruktur tersebut akan mubazir jika gagal memperoleh alokasi gas. Selain mengeluarkan biaya besar, untuk mendapatkan lahan jalur pipa gas juga repot, termasuk dalam memperoleh izin dari pemerintah daerah.
Karena itu, Sabrun meminta Peraturan Menteri Energi Nomor 37 yang baru seumur jagung itu direvisi. Di dalamnya diharapkan tertuang kepastian investasi sektor swasta dalam mendapatkan gas. Juga, perlu ditetepkan kesepakatan kontrak berjangka panjang minimal 10 tahun. Jika kontrak hanya 2-3 tahun, “Nanti pembeli jadi tidak firm, jangan-jangan tidak ada gas,” ujarnya. (Baca pula: Pemerintah Bentuk Tim Untuk Formulasikan Penurunan Harga Gas).
Terlepas dari berbagai kritikan tersebut, Sudriman Said menyatakan memang sedang membahas revisi aturan yang dia teken pada akhir bulan lalu tersebut. Dasarnya, sejumlah pihak memberi masukan yang menilai ada bolong dalam beleid itu sehingga perlu segera diperbaiki. “Jangan ditunda-tunda. Kalau ada kekeliruan, ya dikoreksi. Saya tidak ada beban,” kata Sudirman di Gedung Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Jakarta, Jumat pekan lalu.
Menurutnya, dalam aturan yang baru akan diperjelas mengenai posisi dari Badan Usaha swasta yang ingin mendapatkan alokasi gas. Sebab, Permen 37 Tahun 2015 ini tidak menyebutkan secara jelas bagaimana badan usaha swasta bisa mendapatkan alokasi gas. (Baca: Komisi Energi Tolak Swasta Jadi Agregator Gas).
Nantinya, ada perlakuan berbeda antara badan usaha swasta yang memiliki infrastruktur dan yang tidak. Yang memiliki infrastruktur akan diprioritaskan untuk medapatkan alokasi gas. “Di permen yang sudah keluar tidak cukup eksplisit maka nanti akan dibuat lebih jelas,” ujarnya. “Pada akhirnya, harapannya mereka lebih terdorong untuk bangun infrastuktur.”
Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM I.G.N Wiratmaja Puja juga mewartakan revisi akan dilakukan setelah mendapat masukan dari stakeholder seperti Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat tentang tiga filosofi pentingnya beleid ini. Pertama, penentuan prioritas tambahan bagi penerima gas, lalu trader gas harus memiliki fasilitas, dan ketiga pemanfaatan flare gas atau gas suar.
Rencananya, dalam revisi Peraturan Menteri juga mengatur tender gas. Swasta diperbolehkan mengikuti tender dengan catatan trader harus memiliki fasilitas infrastruktur gas. “Kami mendorong trader bisa memiliki fasilitas,” ucap Wiratmaja. Dengan demikian, beleid ini akan memicu infrastruktur gas semakin berkembang massif.
Isu persyaratan ini sempat bikin gerah kalangan trader, jauh hari sebelum peraturan menteri tersebut keluar. Mereka merasa terancama tak bisa lagi menikmati kue penjualan gas yang trennya terus meningkat. Dalam dokumen yang dimiliki Katadata, hingga pertengahan tahun ini setidaknya ada 15 perusahaan trader yang tak memiliki fasiltas infrastruktur seperti tempat penyimpanan. Bahkan sumber di Badan Pengatur Hilir Kegiatan Usaha Minyak dan Gas (BPH Migas), menyebutkan jumlah tersebut sudah membengkak menjadi 32 perusahaan.
Sementara itu, Sekretaris Dirjen ESDM Susyanto mengatakan pembangunan infrastruktur perlu agar ada kepastian penyerapan gas dari hulu. Sebab, pemerintah telah melonggarkan batasan alokasi gas bumi untuk dalam negeri. Kontraktor migas tidak lagi diwajibkan mengalokasikan hasil produksi gas bagiannya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Namun, ada tiga ketentuan yang harus dipenuhi Kontraktor agar dapat mengekspor gas. Pertama, kebutuhan gas konsumen dalam negeri telah tercapai. Kedua, belum tersedianya infrastruktur gas di dalam negeri yang memadai. Ketiga, daya beli konsumen domestik lebih rendah sehingga tidak sesuai dengan harga keekonomian di pasar. Selama ini, perusahaan trader banyak menentukan harga gas ke pengguna akhir dengan margin variatif. Dampaknya, tidak ada acuan dalam membuat harga lebih kompetitif.
Sementara itu, anggota Indonesian Petroleum Association (IPA) Taufik Ahmad mengatakan ada dua hal yang harus mendapat perhatian pemerintah dalam me-review Peraturan Menteri Energi Nomor 37 Tahun 2015. Pertama, tidak ada satu pun pasal yang berbenturan dengan ketentuan production sharing contract (PSC) dan aturan lain. Kedua, pasal-pasal peraturan mengatur yang benar-benar prioritas. Sebab, kalau terlalu rinci, implementasinya akan sulit. (Lihat: Merger PGN-Pertagas Bisa Turunkan Harga Gas 30 Persen).
Di sisi lain, Taufik meilhat ada potensi tumpang tindih antara Peraturan Prsiden tentang Tata Kelola Gas, yang kabarnya segera keluar, dan Peraturan Menteri tersebut, yakni terkait konsep alokasi gas. Dia menyayangkan sikap pemerintah yang tidak menyebutkan fungsi agregator dengan rinci dalam perpres, namun substansi agregator telah muncul dalam peraturan menteri.
Contoh lain, dalam PSC dan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi menetapkan alokasi gas untuk dalam negeri sebesar 25 persen dari produksi Kontrator. Namun hal ini tak tercantum lagi dalam peraturan menteri.