Jurus Ekspor Kain Batik yang Membawa Berkah di Masa Pandemi

Ilustrator: Joshua Siringoringo | Katadata
Ilustrasi bisnis ekspor batik di masa pandemi corona.
Penulis: Happy Fajrian
Editor: Yuliawati
19/10/2020, 07.00 WIB

Berbeda dengan Tembaga Batik dan Batik Tampan, Al Warits ini tak memiliki distributor tetap yang memasarkan produk ke luar negeri. Waris berusaha  menembus pasar luar negeri dengan mengikuti pameran virtual yang hasilnya nihil.

Menurut Waris gagalnya pameran virtual lantaran konsumen tidak bisa melihat dan menyentuh langsung produknya. Apalagi produk Batik Al Warits berbeda dengan produk batik lainnya karena memiliki aromaterapi khas rempah-rempah yang menjadi ciri khasnya.

“Namanya kain, kalau tidak disentuh, dilihat, kan beda. Produk kami kainnya wangi, dan motifnya ada yang harus dilihat detail dan warnanya,” ujar Waris.

Permintaan Ekspor Terkendala Logistik dan Bahan Baku

Permintaan ekspor batik yang berpotensi menambah devisa negara terkendala suplai bahan baku kain untuk membuat batik.

Penyebabnya, banyak pabrik yang mengurangi jam kerja. Produsen kain putih ini pun kesulitan memperoleh material bahan baku seperti benang yang diimpor dari Tiongkok. Saat ini suplai dari Tiongkok masih terlambat dengan waktu pengiriman hingga empat bulan, padahal biasanya dapat dikirim dalam waktu tiga bulan.

Kesulitan bertambah dengan persaingan sesama pengusaha batik lainnya yang juga berburu baku kain putih. Selama ini Hasan mengunakan kain putih dari tiga pabrik yakni PT Primatexco, PT Primissima dan dari PT Sri Wedari.

"Mayoritas perajin menggunakan kain buatan tiga pabrik ini karena bagus kualitasnya. Pembeli dari luar juga memastikan harus pakai kain dari pabrik ini,” kata Hasan.

Sementara itu Andri menghadapi kendala terkait logistik. Biasanya dia menggunakan jasa logistik AS Federal Express atau FedEx untuk mengirim barangnya. Namun karena pandemi, jadwal penerbangan berubah, termasuk harganya yang lebih mahal karena tidak ada jadwal penerbangan reguler.

Untuk bahan baku kain putih, Andri masih memiliki stok yang cukup. “Bahan baku tidak ada hambatan karena banyak yang berhenti (produksi) sehingga malah berlebih karena produksi berkurang.,” kata Andri.

Lesunya Perdagangan Batik Lokal

Data Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI) menunjukkan hanya sekitar 5% perajin dan pengusaha yang ekspor bergabung dalam asosiasi. APBI mencatat anggotanya yang  mengandalkan pasar domestik mengalami penurunan omzet hingga 90% di masa pandemi.

Lesunya bisnis batik dalam negeri bisa terlihat di Thamrin City yang terkenal sebagai salah satu pusat belanja batik di Jakarta. Sejak pandemi, pengunjung di pusat batik Thamrin City menurun drastis.

Suasana pertokoan yang tutup di pusat perbelanjaan Thamrin City, Jakarta, Sabtu (30/5/2020). (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/wsj.)

Pada Selasa (13/10) siang ketika Katadata mengunjungi kawasan itu, nyaris tidak ada pengunjung yang datang. Banyak toko yang tutup dan mereka menempel selembar kertas pemberitahuan informasi bertuliskan informasi lapak itu untuk dikontrakkan atau dijual.

Sebagian lapak disegel oleh pengelola Thamrin City. “Belum bayar sewa, mas, jadi disegel,” kata seorang penjaga toko batik.

Indra, salah seorang penjaga toko batik yang bernama “Boutique Eyang Putri” mengatakan tokonya mengalami penurunan omzet sejak penerapan PSBB pertama kali pada awal April lalu. Sebelum pandemi toko ini mampu meraup omzet Rp 100 juta per bulan. “Pada masa awal PSBB omzet turun sekitar 75%, sekarang drop sampai 95%," kata dia.

Pemilik toko Eyang Putri sudah menutup satu tokonya karena tak mampu membayar uang sewa. Padahal pengelola sudah memberikan keringanan dengan pembayaran cicilan. “Sudah sempat bagus di bulan Juni – Juli, penjualan sudah lumayan merangkak naik dan ketika PSBB jilid dua anjlok kembali,” kata Indra.

Halaman: