- Sebanyak 63,8% buruh informal Indonesia adalah perempuan. Mereka termasuk buruh gendong di pasar dan pekerja rumah tangga (PRT). Para buruh ini masih tersisih dari sistem keuangan Indonesia.
- Keterbatasan pendapatan, ketidakstabilan pekerjaan, kurangnya literasi keuangan, hingga minimnya pemahaman teknologi membuat kelompok buruh perempuan sektor informal ini masih tersisih dari sistem keuangan Indonesia.
- Perlu kolaborasi lintas pemangku kepentingan dan komitmen keberlanjutan untuk mendorong peningkatan literasi dan inklusi keuangan buruh perempuan sektor informal.
Di pasar-pasar di Yogyakarta, kita akan sering melihat ibu-ibu memanggul barang belanjaan. Mereka tidak menggunakan alat bantu, hanya berbekal keranjang dan selendang; dan tentu saja punggung yang kuat. Mereka adalah buruh-buruh gendong. Sekali mengangkat, berat belanjaan pelanggan pasar yang menyewa jasa mereka bisa mencapai 50 kg, bahkan 100 kg.
Para ibu buruh gendong ini berkelompok dengan nama Paguyuban Sayuk Rukun. Dalam kegiatan berorganisasinya, mereka didampingi Yayasan Annisa Swasti (Yasanti) sejak 1994. Yasanti adalah organisasi sipil yang bertujuan menguatkan peran buruh perempuan yang terdomestikasi, salah satunya buruh gendong. Yayasan yang berdiri sejak 1982 ini memberikan pendampingan hingga pelatihan agar buruh gendong perempuan berdaya atas haknya.
Ada lebih dari 300 buruh gendong yang tergabung dalam Paguyuban Sayuk Rukun. Mereka tersebar di Pasar Beringharjo, Pasar Giwangan, Pasar Gamping, hingga Pasar Kranggan. Pada saat pandemi Covid-19, pendapatan para buruh gendong ini sangat terdampak. Pendapatan harian mereka sangat bergantung pada aktivitas di pasar yang turun signifikan lantaran kebijakan pembatasan aktivitas sosial.
“Jangan dibayangkan mereka dapat Rp50.000 sekali gendong, bahkan masih ada yang diupah Rp2.000 sampai Rp3.000,” kata Ketua Yasanti Nadlrotussariroh atau yang akrab dipanggil Sari kepada Katadata.co.id, Rabu, 24 April.
Ketika itu, salah satu upaya yang dilakukan Yasanti adalah dengan mengadvokasi buruh gendong di Pasar Beringharjo. Mereka meminta pengelola pasar agar para buruh gendong diberi tempat untuk membuat dan berjualan wedang uwuh.
Tak hanya itu, ibu-ibu buruh gendong juga diberikan pelatihan, mulai dari kepemimpinan, membatik, hingga penggunaan media sosial. Paguyuban Sayuk Rukun juga dibimbing untuk memiliki kegiatan simpan pinjam sederhana. Saat ini tabungan simpan pinjam ini sudah mencapai ratusan juta. “Jika inklusi keuangannya bagus, ini bisa diberdayakan,” kata Sari.
Para buruh gendong ini masuk dalam golongan buruh sektor informal yang seringkali terpinggirkan dalam literasi dan akses keuangan. Pendapatan mereka yang tidak besar menjadi alasan mengapa literasi dan inklusi keuangan seringkali luput dalam jangkauan mereka. Apalagi mayoritas para buruh gendong sudah berada di usia senja.
Kelompok buruh lain yang dianggap sebelah mata dalam akses keuangan adalah para perempuan pekerja rumah tangga (PRT). Mereka kebanyakan hanya lulusan sekolah dasar. Selain sering menghadapi masalah pembayaran upah, mereka minim pengetahuan pengelolaan keuangan.
“Keuangan mereka itu bisa dibilang gali lubang tutup lubang. Setelah gajian, langsung habis untuk membayar macam-macam, termasuk tagihan dan utang,” kata Staf Pengembangan Kapasitas dan Monev organisasi Jala PRT Ari Ujianto kepada Katadata.co.id, Senin, 6 Mei.
Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) menghimpun sekitar 13 ribu PRT domestik. Organisasi yang berdiri sejak 2004 ini lahir karena masih maraknya kasus kekerasan terhadap PRT dan fokus pada advokasi pengesahan rancangan undang-undang perlindungan pekerja rumah tangga (RUU PRT).
Jala PRT membawahi serikat-serikat PRT yang tersebar di kota-kota seperti Medan, Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Jogja, Semarang, hingga Makassar. Jala PRT juga rutin mengadakan sekolah dan pelatihan, yang didalamnya termasuk literasi digital dan literasi keuangan.
Salah satu kegiatan adalah koperasi simpan pinjam. Koperasi ini memungkinkan anggota dan keluarga anggota Jala PRT bisa meminjam secara bertahap terutama sebagai modal usaha kecil. Dengan bergabung ke koperasi, PRT diharapkan terhindar dari jeratan rentenir. Secara tidak langsung, anggota koperasi perlahan-lahan diinklusikan untuk memiliki rekening bank.
“PRT sering kesusahan menabung. Apalagi gaji mereka kecil,” kata Ari Ujianto.
Selain PRT domestik, perempuan PRT migran juga masih tersisihkan dalam inklusi keuangan. Padahal, PRT ini adalah salah satu penyokong perekonomian nasional dan global.
Data International Labour Organization menunjukkan jumlah PRT Indonesia diperkirakan mencapai 4,2 juta orang. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut 60% hingga 70% dari sembilan juta pekerja migran Indonesia adalah perempuan yang bekerja sebagai PRT di luar negeri.
Mengapa Masih Tersisihkan?
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 63,8% buruh informal adalah perempuan. Mereka adalah salah satu kelompok perempuan Indonesia yang masih tersisihkan di sistem keuangan Indonesia, terutama yang bekerja di sektor agrikultur seperti pertanian, peternakan, dan perikanan.
Padahal, Research Lead Women’s World Banking (WWB) untuk Asia Tenggara Agnes Salyanty menyebut kontribusi mereka dalam perekonomian sangatlah penting. Tapi seringkali mereka tidak memiliki akses yang memadai ke layanan keuangan formal seperti kredit, asuransi, atau tabungan.
“Keterbatasan akses ini dapat menghambat kemampuan mereka untuk mengembangkan usaha atau mengatasi risiko finansial yang tidak terduga,” kata Agnes Salyanty kepada Katadata.co.id, Jumat, 26 April.
Menurut Agnes, mereka sulit mengakses sistem keuangan formal seperti kredit atau asuransi lantaran keterbatasan pendapatan dan ketidakstabilan pekerjaan. Para buruh sektor informal juga akan menggeser kepentingan tabungan jangka panjang demi mengutamakan kebutuhan sehari-hari.
“Kondisi ini membuat mereka cenderung mengutamakan kebutuhan sehari-hari seperti makanan, perumahan, dan pendidikan anak-anak, daripada mengalokasikan sumber daya untuk layanan keuangan atau tabungan jangka panjang,” kata Agnes.
Selain itu para perempuan buruh sektor informal ini juga memiliki pengetahuan yang terbatas. Apalagi mereka minim memperoleh pelatihan dalam pengelolaan keuangan.
Hal senada disampaikan Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Friderica Widyasari Dewi. Dia mengatakan, kurangnya literasi keuangan dan pemahaman teknologi buruh perempuan sektor informal terutama di daerah pedesaan menjadi salah satu penyebab masih tersisihnya buruh perempuan informal di sistem keuangan Indonesia.
“Beberapa tantangan yang dihadapi juga karena kurangnya dokumen formal, misalnya bukti penghasilan tetap, yang sering kali diperlukan oleh lembaga keuangan untuk mengatur akun atau menyetujui pinjaman,” kata Frederica kepada Katadata.co.id, Jumat, 26 April.
Berdasarkan Rakor Dewan Nasional Keuangan Inklusif 2024, sebanyak 25,7% perempuan belum mendapat layanan keuangan formal. Masih terdapat kesenjangan kepemilikan rekening pula antara laki-laki 78,3% dengan perempuan 74,3%.
OJK menargetkan angka literasi dan inklusi keuangan di Indonesia terus meningkat. Pada 2027 OJK menargetkan tingkat literasi keuangan mencapai 65% dan inklusi keuangan mencapai 93%. Per 2022, angka literasi keuangan di Indonesia sudah mencapai 49,7% dan angka inklusi keuangan sudah mencapai 85,1%. Pada 2024 ini, pemerintah menargetkan 90% untuk inklusi keuangan.
Jika dibedah per gender, per 2019 indeks literasi keuangan perempuan masih di bawah laki-laki yaitu perempuan 36,13% sedangkan laki-laki 39,94%. Namun pada 2022, indeks literasi perempuan meningkat menjadi 50,33%, melebihi indeks literasi keuangan laki-laki sebesar 49,05%.
Lebih tingginya tingkat literasi perempuan disebabkan OJK menjadikan perempuan sebagai sasaran prioritas dalam arah strategis literasi keuangan sepanjang 2020-2022.
Inklusi keuangan perempuan pun juga meningkat dari 75,15% pada 2019 menjadi 83,88% pada 2022. Meskipun angka ini masih di bawah indeks inklusi keuangan laki-laki yang pada 2019 mencapai 77,24% dan 86,28% pada 2022. Ketimpangan inklusi antara perempuan dan laki-laki ini masih menjadi pekerjaan rumah bersama.
Kolaborasi Para Pemangku Kepentingan
OJK menyebut pentingnya strategi melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga keuangan, dan organisasi non-pemerintah dalam meningkatkan akses masyarakat terhadap jasa keuangan, termasuk perempuan sektor informal.
“Peningkatan jumlah perempuan pengguna produk keuangan yang memiliki akses keuangan, berkontribusi positif pada pengentasan kemiskinan. Beberapa contoh produk keuangan yang bisa digunakan diantaranya adalah tabungan, asuransi mikro, tabungan emas, pegadaian, KUR dan fintech,” kata Frederica.
Beberapa program sektor perbankan yang berupaya menggaet para perempuan buruh sektor informal ini seperti lewat PNM Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera (PNM Mekaar). PNM adalah lembaga keuangan mikro yang tergabung dalam holding ultra mikro Bank BRI bersama dengan Pegadaian, yang mana fokusnya juga memberdayakan ekonomi masyarakat, termasuk buruh perempuan sektor informal. Program Mekaar sendiri memberi pinjaman mikro kepada pedagang kecil, penjahit, hingga pengrajin.
BRI sebagai holding ultra mikro juga mempercepat produk dan layanan keuangan yang tidak hanya untuk pembiayaan, tetapi juga tabungan ke segmen ultra mikro yang banyak bergerak di sektor ekonomi informal.
Yasanti misalnya, juga bekerja sama dengan perbankan seperti BRI dan Bank BPD DIY untuk inklusi buruh perempuan informal binaannya dalam mengakses sistem keuangan. Ini terutama melalui pembuatan rekening dan kegiatan menabung.
Selain itu, Yasanti juga tergabung dalam Koalisi Inklusi Keuangan Digital Perempuan Indonesia (IKDP) yang bekerja sama dengan Women’s World Banking (WWB) untuk berbagai pendidikan dan pelatihan penggunaan sistem keuangan hingga pelatihan manajemen keuangan keluarga.
Di sisi lain, fintech dompet digital DANA memiliki program untuk memudahkan pengiriman uang bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI) dari berbagai negara ke Indonesia dengan dengan lebih mudah dan aman.
WWB bekerja sama dengan DANA juga memberikan serangkaian pelatihan intensif keuangan digital kepada lebih dari 12 ribu anggota Jala PRT untuk bisa mengelola keuangan mereka sehari-hari.
Salah satu contoh pelatihan tersebut seperti cara melakukan transaksi keuangan bagi pekerja domestik dan migran. Kemudian transaksi mengirim uang antara PRT dengan pemberi kerja.
OJK juga memiliki aliansi strategis dengan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) dan Kementerian Luar Negeri dalam hal literasi keuangan. Khususnya, bagi calon PMI atau PMI perempuan, baik di daerah sumber asal PMI maupun negara tujuan.
Saat ini sedang ada upaya BPJS untuk menjangkau para pekerja bukan penerima upah (BPU), seperti buruh tani, nelayan. Mereka nantinya bisa mendapatkan akses perlindungan asuransi BPJS Ketenagakerjaan BPU. Lewat layanan ini, pekerja informal akan memiliki akses yang sama dan setara terhadap jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan pensiun.
Awalnya PRT harus membayar iuran BPJS karena tidak masuk dalam penerima jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan dari pemerintah. Sekitar 2019, Jala PRT bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan berhasil memasukkan 1.500 anggota atau 11,5% anggota Jala PRT ke dalam skema perlindungan sosial pemerintah.
“Jadi yang melakukan iuran tidak hanya PRT-nya saja, tapi nanti menjadi tugas bersama pemberi pekerjaan dan PRT. Tapi ini masih sedikit yang ter-cover. PRT masih ada yang ketakutan tentang iuran dan sebagainya,” kata Staf Pengembangan Kapasitas dan Monev organisasi Jala PRT Ari Ujianto.
“Hal yang tidak kalah penting adalah perlu komitmen yang berkelanjutan dari semua pihak terlibat untuk memperbaiki dan meningkatkan program berdasarkan temuan monitoring dan evaluasi program-program ini dengan melibatkan perempuan prasejahtera itu sendiri,” kata Research Lead WWB untuk Asia Tenggara Agnes Salyanty.
Dalam rangka meningkatkan kesadaran publik, Katadata.co.id bersama Koalisi Inklusi Keuangan Digital Perempuan (IKDP), yang digagas oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Women's World Banking, menyajikan edisi khusus Inklusi Keuangan Perempuan. Setiap bulan, tulisan terkait isu tersebut kami sajikan dalam bentuk artikel panjang dan mendalam.