Tren Kelas Menengah Berburu Tanaman Hias di Masa Pandemi

Ilustrator: Joshua Siringoringo | Katadata
Penulis: Happy Fajrian
Editor: Yuliawati
26/10/2020, 07.00 WIB

Bonsai anggur Brazil yang dikenal dengan nama Kupalandak setinggi 100 cm terpajang di depan pintu gerbang Daun Langit 7 Nursery, Jalan Morotai, Bandarlampung. Pemiliknya, Evi Nuryanti, siap melepaskan bonsai yang berusia puluhan tahun tersebut dengan harga Rp 17 juta.

Yanti, demikian nama panggilannya, telah berbisnis tanaman hias 11 tahun. Di masa pandemi corona ini dia merasakan betul penjualan tanamannya semakin lancar dan keuntungan yang berkali lipat. Beberapa bulan lalu, misalnya dia baru saja menjual tanaman bonsai elemen atau yang ditanam di tanah seharga Rp 35 juta. “Kalau bonsai elemen memang dari dulu bagus, sebagai pohon pelindung sekaligus hiasan,” kata dia ditemui Katadata.co.id, pekan lalu.

Sebelum pandemi corona, Yanti hanya menjual tanaman jenis anthurium. “Saya mulai masuk jualan itu di gelombang cinta (anthurium). Kami pemain terakhir waktu itu makanya koleksinya banyak," kata dia.

Dia pernah memiliki koleksi anthurium jenis black beauty yang kemudian dijual dengan harga Rp 65 juta. Anthurium koleksinya itu memiliki keunikan yakni daunnya yang berwarna kehitaman dan bergelombang.

Sentra penjualan tanaman Kawasan Ragunan, Jakarta Selatan, Kamis (22/10/2020). (Adi Maulana Ibrahim|Katadata)

Seiring permintaan tanaman hias yang melonjak di masa pandemi, Yanti pun berupaya melengkapi koleksinya. Beragam tanaman menghias nursery yang seluas 1.200 meter persegi seperti aglaonema, bonsai elemen, bonsai dalam pot, hingga berbagai jenis kaktus. "(Tanaman) beli dari pemburu, kami hunting juga, beli bahan, besarin sendiri, setelah bagus baru kami jual," katanya.

Yanti mengunjungi berbagai daerah untuk menambah koleksinya seperti Medan, Sumatera Utara untuk mencari aglonema merah Sumatera. Untuk kaktus, dia mengimpor dari Korea Selatan. “Beli kaktus idenya suami, Alhamdulilah tenyata banyak peminatnya," kata dia.

Siasat menambah koleksi tanaman membuat pelanggannya kian bertambah. Dia memberikan gambaran omzet penjualannya melonjak 50-70% di masa pandemi. "Kalau rupiahnya jangan dikasih tahu deh," ujarnya sambil tertawa.

Budidaya kaktus mini di Salatiga. (ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho)
 

Bisnis para penjual tanaman hias merambat naik seiring tren merawat tanaman di kalangan kelas menengah sejak masa pandemi corona melanda. Pembatasan aktivitas di ruang publik membuat sebagian masyarakat memilih menghabiskan waktunya dengan merawat tanaman hias.

Pecinta tanaman pemula seperti Florentina Esti Nilawati ini tak hitung-hitungan dalam menyalurkan kesenangannya. Florentina yang merupakan dosen sebuah kampus di Semarang, Jawa Tengah menghabiskan kocek sekitar Rp 10 juta untuk berburu tanaman hias di masa pandemi. “Biasanya beli tanaman hias di pedagang jual tanaman, kadang lewat online shop. Kalau pas lihat ada yang saya suka, ya langsung beli,” ujarnya kepada Katadata.co.id.

Selama pandemi ini Florentina telah mengumpulkan hingga 84 tanaman mulai dari aglonema, adenium, euphorbia, jemani, katlea, suplir, kuping gajah, soka, sirih belanda hingga sikas Sumatera. Tanaman paling mahal yang pernah dibelinya jenis aglonema red kochin, suksom jaipong. "Itu harganya Rp 500 ribu. Waktu itu harga segitu saya anggap normal untuk red kochin, tapi sekarang sudah jauh lebih mahal,” kata dia.

Faya Suwardi yang rutin merawat tanaman sejak pandemi corona juga punya anggaran khusus untuk belanja tanaman. Faya yang memulai koleksi tanaman sejak Juli 2020 telah menghabiskan dana sekitar Rp 2 juta.

Koleksi tanaman hiasnya mulai dari tanaman kuping gajah, sansivera, puring, monstera deliciosa, aglonema snow white, hingga kaktus. Tanaman termahal sejauh ini monstera borsigiana dengan harga ,Rp 80 ribu. "Kebetulan suka cari tempat yang murah, sering mencari referensi terbaru di IG (Instagram), tapi membelinya ke toko tanaman pinggir jalan,” katanya.

Kegiatan merawat tanaman, kata dia, menjadi jalan keluar dari kepenatan bekerja dari rumah. "Daripada stres tak ada aktivitas baru, akhirnya budget buat trip dipakai buat beli tanaman,” kata dia.

Penjualan tanaman hias philodendron.  (ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/aww.)




Berbeda dengan pecinta tanaman pemula, mereka yang sudah pernah merasakan tren naik dan turun tanaman memilih berhati-hati membelanjakan uangnya. Salah satunya, Irene Barliansyah Paraya, yang tinggal di Bengkayang, Kalimantan Barat. Ibu rumah tangga ini pernah membeli anthurium seharga Rp 3,5 juta rupiah dari Jakarta sekitar 10 tahun lalu ketika sedang booming tanaman itu.

Irene mencoba mengambil peruntungan dengan menyemai bibit tanaman tersebut untuk diperbanyak hingga menjualnya. Namun uang dari penjualan tanaman tak dapat mengembalikan modal yang dikeluarkannya.

Kapok dengan pengalaman masa lalu, Irene kini tidak ingin terjebak arus tren yang tengah populer seperti monstera dan aglonema. Selama pandemi corona tujuh bulan ini, Irene hanya menghabiskan Rp 2 juta untuk belanja tanaman hias.

Koleksi tanamannya saat ini aglonema, kaktus sukulen, azalea, sampai kembang sepatu dan sansivera. "Saya tidak akan membeli tanaman yang harganya mencapai jutaan, belinya yang murah saja. Enggak mau terlalu ikut arus,” ucapnya.

Hobi Kelas Menengah Gerakkan Perekonomian

Perilaku konsumsi masyarakat di masa pandemi ini memang mengalami pergeseran, khususnya pada kelompok masyarakat kelas menengah ke atas. Ekonom sekaligus Menteri Keuangan periode 2013-2014 Muhammad Chatib Basri mengatakan masyarakat kelas menengah atas cenderung menahan konsumsinya di masa pandemi ini.

“Kelompok menengah atas konsumsinya turun karena mereka tidak banyak turun, tidak travelling (jalan-jalan), mungkin belanja barang bermerek  juga turun,” kata Chatib kepada Katadata.co.id, Selasa (20/2).

Sentra penjualan tanaman Kawasan Ragunan, Jakarta Selatan, Kamis (22/10/2020). (Adi Maulana Ibrahim|Katadata)

Kelompok kelas menengah atas ini memiliki kemewahan untuk memilih barang atau jasa yang akan dikonsumsinya atau tidak karena memiliki tabungan. Berbeda dengan masyarakat kelas menengah bawah yang berjibaku memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga tak mampu menabung.

Di masa pandemi, masyarakat kelas menengah atas ini mengeser pengeluarannya untuk tabungan dan aneka investasi seperti saham, obligasi, atau emas. “Atau mereka mencari barang yang sesuai dengan hobinya. Ini tidak banyak dan memiliki niche market yang unik,” ujarnya.

Lewat hobi baru mengusir kepenatan di masa pandemi, kelompok kelas menengah rela merogoh koceknya. “Saya tidak tahu bagaimana tiba-tiba tanaman mahal sekali harganya. Semua orang sekarang punya hobi tanaman. Seperti sepeda, permintaan barang yang berkaitan dengan hobi naik,” kata dia.

Fenomena ini cukup menggerakkan perekonomian. Apalagi di saat yang sama ekspor tanaman hias pada semester I tahun ini turun menjadi US$ 967,5 ribu dari US$ 1,54 juta pada periode yang sama tahun sebelumnya menurut data Badan Pusat Statistik (BPS).

Sama halnya dengan ekspor bunga dan bibit bunga yang turun dari US$ 4,46 juta menjadi US$ 3,99 juta. Ekspor bunga lima tahun terakhir memang turun signifikan. Dari US$ 18,18 juta pada 2015 menjadi US$ 5,09 juta pada 2019.

Direktur Buah dan Florikultura Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian (Kementan) Liferdi Lukman menjelaskan bahwa produksi tanaman hias sejak 2015 berfluktuasi namun cenderung meningkat setiap tahunnya.

“Ekspor turun karena beberapa negara memang turun permintaannya. Namun beberapa negara permintaannya tetap ada, hanya beberapa bulan terakhir terkendala pengirimannya karena terbatasnya penerbangan,” ujar Liferdi, pekan lalu.

Beberapa tanaman yang paling diminati pasar ekspor menurut Liferdi utamanya tanaman tropis, seperti anggrek, benih krisan, melati, dracaena, daun potong dan tanaman bonsai.

Terkait industri tanaman hias dan bunga dalam negeri, sayangnya data yang tersedia sangat terbatas. BPS hanya memiliki data ekspor, luas lahan produksi, dan total produksi. Meski demikian potensi bisnis tanaman hias di masa pandemi ini sangat besar.

Liferdi menghitung perputaran uang dari data jumlah produksi bunga per tangkai dikali dengan asumsi harga rata-rata per tangkai Rp 1.000. "Belum termasuk tanaman pot dan lanskap yang bayak dibutuhkan untuk ruang terbuka hijau, meskipun harganya sekitar Rp 2.000-an untuk ground cover, misalnya, tetapi permintaannya dalam jumlah besar,” kata dia.

Menurut data terakhir yang dirilis BPS, total produksi tanaman hias pada 2018 mencapai 751,78 juta dalam bentuk potong tangkai bunga, batang pohon, atau kilogram (khusus untuk produksi bunga melati). Jumlah tersebut melonjak 135,34% dari level produksi 2014 sebesar 319,45 juta batang/pohon/kg.

Sementara luas lahan yang dipakai untuk produksi cenderung mengalami penurunan pada periode yang sama yakni dari 37,36 juta meter persegi pada 2014 menjadi 32,57 juta meter persegi pada akhir 2018.

Penyumbang bahan: Agatha Lintang Kinasih (Magang).