Meraup Untung dari Diplomasi Cerdas di Laut Cina Selatan

Budastock/123rf
Ilustrasi konflik Amerika dan Tiongkok di Laut Cina Selatan.
Penulis: Happy Fajrian
16/11/2020, 07.00 WIB

Strategi Cerdas Bebas Aktif Indonesia

Pengamat Hukum Internasional dan Guru Besar Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan bahwa AS memang bermaksud mencari dukungan Indonesia di Laut Cina Selatan dalam beberapa kali lawatannya yang lalu. Bahkan hingga mencabut larangan masuk Menhan Prabowo.

Mengapa Indonesia? Menurutnya itu karena Indonesia bersuara cukup lantang terkait klaim sembilan garis putus Tiongkok walau tidak terlibat pada perang klaim. Sedangkan Vietnam, Hikmahanto menilai AS ingin memberikan peringatan kepada Tiongkok.

“Indonesia tidak mengakui sembilan garis putus walau dianggap punya utang besar ke Tiongkok. Vietnam juga  menentang habis-habisan itu. AS ke Vietnam esensinya ingin memperingatkan Tiongkok, juga mendorong Vietnam agar terus berani melawan Tiongkok,” ujar Hikmahanto kepada Katadata.co.id.

Alasan pendekatan AS ke Indonesia juga karena laporan Pentagon yang menyebutkan Tiongkok tengah mempertimbangkan untuk membangun pangkalan militer di sejumlah negara, salah satunya Indonesia. Menurutnya Tiongkok bisa saja menggunakan pengaruhnya yang kuat untuk memaksa Indonesia agar mengizinkan membangun pangkalan militer.

Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa saat ini Tiongkok memiliki kekuatan militer yang setara dengan  AS, bahkan unggul di beberapa area, seperti jumlah kapal perang dan kapal selam yang lebih banyak, rudal balistik dan misil yang mampu menjangkau sasaran hingga 5.500 kilometer dibandingkan AS yang hanya 300 km, dan sistem pertahanan udara yang canggih.

“AS khawatir negara-negara di kawasan Asia Pasifik akan jatuh dan ‘dimakan’ Tiongkok. Karena dengan kekuatan ekonomi dan militernya AS menilai itulah yang dilakukan Tiongkok saat ini,” kata Hikmahanto.

AS bersama sekutu-sekutunya seperti Australia, Jepang, Filipina, termasuk juga negara-negara Eropa khawatir Tiongkok menguasai Laut Cina Selatan dengan kekuatan militernya tersebut, kemudian menutup jalur komunikasi laut di perairan itu. Ini akan mengganggu kebebasan navigasi (freedom of navigation) dan jalur perdagangan internasional di sana.

Pemerintah Indonesia sendiri membantah laporan Pentagon terkait pangkalan militer asing. Termasuk terkait pendekatan AS. Pasalnya Indonesia menganut politik bebas aktif, tidak bisa memihak ke salah satu kubu, Tiongkok ataupun AS. Hal tersebut berulang kali ditegaskan pada berbagai kesempatan.

“Indonesia dengan segala kemampuannya terus berusaha untuk menjembatani perbedaan dengan tetap menjalankan politik bebas aktif. Indonesia tidak akan menyerahkan teritorinya untuk pangkalan asing negara manapun,” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, berbicara pada sebuah acara webinar awal November lalu.

Tapi Hikmahanto menilai di sinilah kecerdikan Indonesia yang memanfaatkan konflik antara dua negara besar tersebut untuk menjadi keuntungan. Karena ketika AS atau Tiongkok merapat mencari dukungan, Indonesia bisa meminta ‘imbalan’, tentu dengan tetap mempertahankan politik bebas aktifnya.

“Misalnya sama AS kita minta investasi di bidang perikanan, khususnya di Natuna Utara. Prabowo kemarin ke AS juga minta bantuan untuk pengawasan laut di ZEE Indonesia, artinya kapal-kapal TNI AL, Bakamla, dan SDM-nya akan diperkuat. AS dan Tiongkok bilang ini licik, tapi rakyat Indonesia akan menilai ini cerdas, smart diplomacy,” ujarnya.

Ketika Pompeo datang, Indonesia memang menawarkan AS untuk berinvestasi di pulau-pulau terluar Indonesia, utamanya di Natuna. Kehadiran AS di Natuna akan membantu Indonesia menghadapi Tiongkok yang sering menangkap ikan di wilayah Laut Natuna Utara dengan perlindungan dari kapal penjaga pantainya, tanpa harus terlibat langsung. Apalagi AS juga memiliki kepentingan di sana.

“Indonesia menawarkan Natuna kepada investor asing untuk melindungi kepentingan nasional, terutama karena indonesia belum bisa mengeksploitasi sumber dayanya secara memadai dan mengawasi perairan di sana,” kata Hikmahanto.

Sulitnya Penyelesaian Konflik Laut Cina Selatan

Sayangnya konflik di Laut Cina Selatan kemungkinan belum akan terselesaikan dalam waktu dekat menurut pandangan sejumlah analis. “Karena di situ ada overlapping dari beberapa negara,” kata Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Philips Vermonte.

Menurutnya yang bisa dilakukan oleh negara-negara yang bertikai sementara ini adalah memanfaatkan wilayah tersebut secara bersama, serta menahan diri untuk tidak melakukan provokasi. Walaupun selama ini usaha-usaha tersebut belum terlalu efektif.

Mantan Deputi Kedaulatan Maritim Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, yang kini menjabat sebagai Dubes Indonesia untuk Jerman, Arif Havas Oegroseno juga pernah mengatakan bahwa penyelesaian konflik di Laut Cina Selatan tidak memungkinkan karena klaim yang saling tumpang tindih.

“Daripada memaksakan diri untuk menyelesaikan sengketa, lebih baik mengubah strategi menjadi pengelolaan sengketa yang lebih mudah dicapai untuk menghindari konflik antara AS dan Tiongkok yang tengah dalam strategic rivalry,” ujarnya.

Havas juga mengatakan, dengan pengelolaan sengketa, kebijakan pembangunan di Natuna bisa terus dilanjutkan. Indonesia pun tidak perlu memilih kubu dan tetap bisa bekerja sama dengan AS dan Tiongkok dalam perdagangan. Bahkan menurutnya Indonesia bisa menjadi fasilitator antara kedua kubu melalui trilateral strategic dialogue.

Dampak Terpilihnya Biden, Pecah Perang di Laut Cina Selatan?

Terpilihnya Joe Biden sebagai Presiden AS untuk periode 2021-2024 diperkirakan akan mengubah cara AS menghadapi Tiongkok. Namun tidak akan mengubah posisi AS terhadap Tiongkok.

Banyak yang mengatakan bahwa Donald Trump sebenarnya lebih tegas dalam menghadapi Tiongkok yang terus saja memamerkan kekuatannya di dunia, baik di Laut Cina Selatan, maupun di perbatasan dengan India yang beberapa waktu lalu memanas.

Sedangkan pendekatan Biden, dia menyatakan sikap tegas terhadap Tiongkok akan dilakukan dengan perspektif yang lebih luas, dan pendekatan yang lebih halus. “Cara paling efektif adalah membangun kesatuan dengan mitra-mitra AS untuk menghadapi perilaku kasar dan pelanggaran HAM Tiongkok,” kata Biden.

Walaupun di saat yang sama, dia juga akan membangun kerja sama dengan Beijing pada bidang lainnya yang menjadi kepentingan bersama seperti perubahan iklim, nonproliferasi, dan kesehatan global. Berbeda dengan Trump dengan kebijakan ‘America First’-nya.

“Trump dari partai Republik, Biden dari Demokrat. Politisi Republik dan Demokrat musuhan dalam segala hal, kebijakan bertolak belakang. Tapi ada satu hal yang mereka setuju, bahwa Tiongkok adalah ancaman buat AS. Jadi kebijakan AS tidak akan berubah banyak, yang beda hanya gayanya. Biden lebih multilateralis, Trump lebih unilateralis, Biden lebih bisa diajak bicara dibanding Trump,” kata Philips.

Senada, menurut Hikmahanto politisi di AS datang dan pergi. Pergantian presiden dan menteri tidak akan mengubah pandangan AS terhadap Tiongkok. “Kebijakannya tidak akan berubah karena disusun birokrat. Seperti laporan Pentagon soal Tiongkok yang disusun eselon 1 ke bawah yang melihat Tiongkok ini berbahaya,” ujarnya.

Sehingga dia pun meyakini kondisi di Laut Cina Selatan tidak akan banyak berubah, apalagi hingga pecah perang secara terbuka. Kondisinya lebih kurang akan tetap sama seperti saat ini dengan ‘perang’ dinginnya.

Halaman: