- Pandemi Covid-19 meningkatkan kebutuhan masyarakat akan produk farmasi dan mengubah pola belanja ke online.
- Kondisi ini dimanfaatkan para oknum lebih gencar mengedarkan obat dan vitamin palsu.
- Penyedia marketplace menyatakan akan bertindak tegas terhadap para penjual obat palsu di platform-nya.
Pandemi Covid-19 membuat masyarakat lebih peduli terhadap kesehatan. Permintaan terhadap obat-obatan, vitamin dan suplemen pun meningkat sangat besar. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sektor farmasi mampu tumbuh, di antara mayoritas industri lain yang minus di masa pandemi corona. Terutama di kuartal III-2020, industri farmasi tumbuh 14%.
Tingginya permintaan ini yang membuka celah bagi oknum-oknum nakal mengedarkan produk farmasi, seperti obat, suplemen, dan vitamin palsu. Apalagi saluran penjualan mereka semakin mudah dengan kebiasaan belanja masyarakat yang beralih ke online.
"PR (pekerjaan rumah) berlanjut, banyak vitamin dipalsukan. Yang asli berkurang, yang palsu makin banyak," kata dr Andi Khomeini Takdir, SpPD, dalam cuitannya Agustus lalu.
Terjebak membeli produk farmasi palsu dialami oleh Ricky beberapa pekan lalu. Karyawan swasta di Jakarta ini tertipu setelah membeli vitamin D3 merek California Gold Nutrition di salah satu marketplace. Menurutnya, ada kejanggalan pada kemasan dan isi produk. Cetakan kemasannya kurang rapi dan terlihat samar. Sedangkan isinya menempel satu dengan yang lain, dan berbau amis seperti bau ikan.
"Yang aneh, saat di-scan kode QR-nya itu benar, langsung masuk ke situs iHerb yang menunjukkan produk tersebut," ujarnya kepada Katadata.co.id (5/8). Dia pun mengadu ke toko di platform marketplace tersebut, tapi tidak mendapatkan respons.
Dia menceritakan awal mulanya membeli vitamin D3 setelah menonton tayangan video wawancara dr. Henry Suhendra dalam chanel Youtube Dedi Corbuzer, Juli lalu. Dalam video berdurasi 41:16 detik, Dokter Spesialis Orthopaedi dan Traumatologi lulusan Universitas Airlangga ini mengatakan berdasarkan penelitian, vitamin D berpengaruh terhadap angka kesakitan dan kematian pasien Covid-19.
Dr. Henry mengutip tulisan dr. Michael Holick dari Boston University pada September 2020 mengungkapkan vitamin D yang optimal bisa mengurangi kemungkinan infeksi virus corona hingga 54%. Vitamin D dapat melawan macam-macam infeksi bakteri dan virus, termasuk Covid-19.
Makanya, Ricky pun langsung mencari vitamin D3 dengan dosis 5000 IU seperti yang direkomendasikan dokter tersebut. Pilihannya jatuh pada produk vitamin D3 buatan Amerika Serikat, karena penelitian yang diacu dr. Henry juga dari negara tersebut.
Kondisi pandemi dan pembatasan sosial memaksa Ricky membeli produk vitamin tersebut secara online, dengan banyak pilihan toko dan produknya. Tergiur harga murah, dia memilih salah satu toko penjual vitamin D3 merek California Gold Nutrition yang menjanjikan barang asli. Ternyata, Ricky malah mendapatkan barang palsu.
“Sebenarnya tidak murah juga, saya beli harganya Rp 150.000. Cek di situs IHerb itu harganya kalau dirupiahkan tidak sampai Rp 140.000,” ujarnya.
Ricky hanya salah satu dari sekian banyak korban. Di media sosial, banyak konsumen yang curhat pengalamannya terjebak membeli produk farmasi palsu, terutama vitamin di masa pandemi ini. Peredaran produk farmasi palsu pun tidak hanya menyasar konsumen awam yang literasinya masih rendah, dokter dan praktisi kesehatan pun jadi korban.
Dokter yang juga presenter, Lula Kamal, juga mengalami hal yang sama. Dokter ini mengaku sudah empat kali empat kali membeli vitamin D3 palsu lewat marketplace. Dia pun membagikan video review dari produk palsu tersebut lewat akun Instagramnya.
Merk vitamin palsu yang diungkap Lula adalah California Gold Nutrition Vitamin D3, Plant-based Vitamin K2+D3 dari Sports Research, dan Vitamin K2+D3 keluaran Divine Beauty.
Lula menyebut, produk palsu vitamin D3 antara lain dapat dikenali saat barcode dipindai, banyaknya typo atau kesalahan penulisan pada bagian keterangan produk atau cara penggunaan, model dan warna kapsul, serta pengawet (silica gel) yang digunakan.
“Teman-teman, hati-hati membeli vitamin D3 lewat marketplace ya, banyak yang palsu. Toko langganan saya pas habis, begitu beli di tempat lain ternyata zonk," ujarnya, dalam postingan di Instagram, (26/7).
Pada postingan pertama, Lula mengulas produk vitamin D3 yang mirip California Gold Nutrition. Tampilan kemasannya seolah menyerupai, tapi mereknya tertulis California Gold Nutrion dengan ukuran botol yang lebih besar. Jika di produk asli kandungannya 125 mcg, pada produk palsu ini tertulis 123 mcg. Gambar kode QR di produk palsu ini pun terlihat samar dan tidak bisa dipindai (scan).
Pada vitamin merek Plant-based Vitamin K2+3 dari Sports Research, Lula menjelaskan kemasannya sudah bagus dan tulisannya rapi, tapi ternyata palsu. Pada kemasannya tertulis vitamin tersebut buatan Norwegia yang diproduksi di San Pedro. Saat dibuka kemasannya, terlihat pengawet (sillica gel) bermerek IMCO yang dibuat di Tangerang Selatan.
"Asli gemes, tega banget sih menipu orang. Tapi jangan-jangan, penjualnya juga tidak tahu kalau barang yang dijual ternyata palsu," kata Lula.
Selain Lula, dokter kandungan dan ahli seksologi dr. Boyke Dian Nugraha juga mengaku mengalami hal yang sama. Dia sudah dua kali tertipu membeli obat palsu via online. "Mana terpikir sih, orang memalsukan obat yang dibutuhkan untuk melawan Covid," kata dr. Boyke dalam kolom komentar postingan Instagram Lula.
Tindakan Tegas Marketplace Melawan Peredaran Produk Palsu
Menanggapi maraknya peredaran obat dan vitamin palsu, beberapa marketplace menyatakan akan menindak para pelaku yang menjual produk palsu pada platformnya. Seperti JD ID yang sudah berani membuat iklan untuk tidak lagi menjual barang palsu.
Shopee Indonesia akan mengambil langkah tegas dengan menutup toko yang terindikasi kuat menjual produk kesehatan seperti vitamin dan obat-obatan palsu di aplikasi Shopee. Shopee juga bekerjasama dengan kepolisian untuk melakukan investigasi jika terdapat indikasi pemalsuan.
Radynal Nataprawira, Head of Public Affairs, Shopee Indonesia mengatakan biasanya menerima laporan melalui media sosial mengenai toko yang terindikasi mencetak label kemasan obat sendiri. Dari laporan ini, Shopee akan menurunkan produk dari daftar produk yang dijual di platformnya dan secara paralel menginvestigasi.
"Jika terindikasi kuat melakukan pemalsuan, kami akan melanjutkan dengan pemblokiran toko dan bekerjasama dengan pihak berwenang.” ujarnya pertengahan Juli lalu.
Senada dengan Shopee, Tokopedia juga menegaskan bakal menindak tegas para penjual yang memperdagangkan produk palsu. Tidak hanya menutup toko, penjual yang terbukti melanggar bisa dikenakan sanksi hukum. "Kami terus bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk memproses penjual-penjual seperti ini," ujar Vice President (VP) of Legal Tokopedia Trisula Dewantara.
Selain kerja sama dengan kepolisian, Tokopedia juga menggandeng Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam pengawasan terhadap peredaran, pengiriman, promosi, serta iklan penjualan obat dan makanan di platform Tokopedia dengan lebih intensif. Tokopedia dan BPOM sudah sejak lama bersama-sama mengedukasi masyarakat agar lebih cerdas dan teliti dalam bertransaksi. Karena literasi masyarakat adalah benteng terdepan dalam memerangi peredaran obat-obatan ilegal.
Produk-produk yang ada di platform marketplace biasanya diunggah langsung oleh para penjual. Platform marketplace juga memiliki tim internal yang didedikasikan untuk memantau dan melakukan moderasi produk yang dijual agar sesuai dengan regulasi yang sudah ada.
Meski begitu, masyarakat diimbau agar lebih memperhatikan kemasan obat-obatan dan membaca ulasan produk-produk di aplikasi jual beli. Jika merasa ada kecurigaan produk yang dijual palsu, masyarakat jangan menyelesaikan transaksinya dan melaporkannya melalui fitur yang tersedia di setiap aplikasi.
Peredaran Obat Palsu tak Hanya di Platform Online
Mengutip Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dimaksud dengan obat palsu adalah obat yang dijual menggunakan nama produk yang telah terdaftar dengan tujuan untuk meraup keuntungan besar. Kandungan zat aktif dalam obat palsu tidak sama dengan obat aslinya.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, menduga fenomena pemalsuan obat saat ini masih dilakukan pelaku lama. Menurutnya, peredaran obat palsu sudah marak baik sebelum adanya toko online.
“Sebenarnya fenomena [pemalsuan obat] secara general di Indonesia cukup signifikan baik online maupun offline, jumlahnya sekitar 3-5% (dari total pasar farmasi),” ujarnya kepada Katadata.co.id (3/9).
Meski sudah banyak keluhan dari konsumen melalui curhatan di media sosial, Tulus mengaku hingga kini belum ada laporan keluhan dari konsumen yang masuk ke YLKI.
YLKI tidak merekomendasikan penjualan obat dilakukan pada platform online, karena berisiko pemalsuan. Kecuali di apotek yang resmi terdaftar. Tulus juga mengimbau masyarakat agar lebih berhati-hati dalam membeli produk farmasi. Apalagi susah untuk membedakan obat palsu dengan yang tidak hanya dengan melihat.
“Bahkan, dokter juga tidak bisa kecuali dengan uji laboratorium,” katanya.
Dia meminta pemerintah dalam hal ini BPOM untuk cepat bertindak dan melakukan pengawasan bersama pihak lain seperti Kominfo dan Kepolisian serta berbagai platform digital untuk menutup akun-akun toko obat palsu tersebut.
“Saya kira harus cepat merespon [BPOM], harus melakukan pendekatan hukum serta melakukan pengawasan dengan bekerjasama dengan Kominfo, dengan Kepolisian. Minimal dengan platform digital untuk menutup akun tersebut,” ujarnya.
Lihat postingan ini di InstagramSebuah kiriman dibagikan oleh dr.Lula Kamal official (@lulakamaldr)
Peredaran Obat Palsu di Dunia
Praktik peredaran obat dan vitamin palsu ini tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan seluruh dunia. Data Interpol melaporkan pihak berwenang di 92 negara telah menutup 113.000 situs web dan toko online yang menjual obat dan produk medis palsu, termasuk masker dan alat tes Covid-19 palsu pada Mei 2021.
Sekjen Interpol Jurgen Stock mengatakan pandemi memaksa lebih banyak di rumah. Kegiatan belanja Masyarakat pun beralih ke online. Inilah yang dimanfaatkan para pelaku kejahatan. Mereka dengan cepat menargetkan pelanggan baru melalui pasar online.
Organisasi Kepolisian Dunia ini menyebutkan alat tes Covid palsu ditemukan lebih dari setengah dari seluruh alat kesehatan yang disita sepanjang 18 Mei sampai 25 Mei 2021. Polisi menangkap 227 orang di seluruh dunia dan menemukan produk farmasi palsu senilai US$ 23 juta atau sekitar Rp 327 miliar dalam periode tersebut.
“Sementara beberapa individu secara sadar membeli obat-obatan terlarang, ribuan korban tanpa disadari membahayakan kesehatan dan nyawa mereka,” jelas Jurgen Stock, seperti dikutip Al Arabiya Juni lalu.
Obat-obatan palsu dan terlarang ditemukan disembunyikan dalam kemasan pengiriman pakaian, perhiasan, mainan, dan makanan. Sekitar 9 juta perangkat dan obat-obatan yang disita, menjadi jumlah tertinggi sejak Interpol mulai mengoordinasikan kampanye obat palsu, yang dikenal sebagai operasi Pangea, pada 2008.