Masa Depan Walini Setelah Ditinggalkan Proyek Kereta Cepat

123RF.com/Pakpong Pongatichat
3/2/2022, 17.28 WIB
  • PT Kereta Cepat Indonesia China mengalihkan titik pemberhentian kereta cepat dari Walini ke Padalarang sekaligus menolak 1.000 hektare lahan di Walini dari PTPN VIII sebagai setoran modal.
  • Produktivitas di perkebunan teh Walini yang kian merosot membuat PTPN VIII berencana mengembangkan kawasan wisata dengan menggandeng mitra strategis.  
  • Pemprov Jawa Barat tetap berencana mengembangkan Kota Raya Walini tanpa melibatkan KCIC

Mengenakan batik lengan panjang dibalut rompi hijau terang, Presiden Joko Widodo berjalan di atas tanah becek di perkebunan teh Walini, Kabupaten Bandung Barat enam tahun silam. Hujan deras mengguyur kawasan itu sebelum kedatangan Presiden, membuat akses ke lokasi dipenuhi lumpur. 

Hari itu, 21 Januari 2016, jadi tonggak bersejarah dalam proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Presiden turun langsung melakukan peletakan batu pertama (groundbreaking) di perkebunan teh Walini. Sejumlah pejabat teras hadir dalam acara itu. Mulai dari Menteri BUMN Rini Soemarno, Kepala Bappenas Sofyan Djalil, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, sampai Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. 

Namun, ada satu sosok yang absen. Dia adalah Menteri Perhubungan Ignasius Jonan. Kala wartawan bertanya kepada Presiden perihal ketidakhadiran Jonan, Jokowi mengaku tidak tahu menahu.

Jonan, dalam posisi strategisnya sebagai Menhub, jadi salah satu pejabat yang giat menentang proyek kereta cepat. Secara garis besar ia menilai proyek ini tidak menguntungkan karena rutenya terlalu pendek. Alhasil, Jonan tidak banyak dilibatkan dalam proyek ini. 

Sejak awal diumumkan, KCJB sudah menuai kontroversi. Mulai dari penunjukkan Cina menggantikan Jepang hingga rute Jakarta-Bandung yang dinilai tidak ekonomis. Kendati demikian, Presiden pantang mundur dan melanjutkan groundbreaking di Walini. 

Sebelum momen itu, kawasan Walini relatif tidak dikenal. Pemilik perkebunan, PTPN VIII menggunakan Walini sebagai merek teh hasil produksinya. Kedatangan Presiden ke kebun terpencil ini membuat nama Walini mulai dikenal secara luas.

Kawasan Walini membentang seluas 2.250 hektar di Cikalong Wetan, Kabupaten Bandung Barat. Secara administratif, Walini menjadi bagian dari hamparan 3.000 hektare Perkebunan Panglejar yang dikelola PTPN VIII. Ketika dilibatkan dalam konsorsium PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) sebagai pemegang saham PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), PTPN VIII menyetorkan Rp 500 miliar plus 1.025 hektare lahan di Walini sebagai modal awal.

Tunnel Walini Tembus Bukit (ANTARA FOTO/AGUNG RAJASA)
 

Namun, dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) KCIC pada 16 Maret 2021, konsorsium meminta PTPN VIII menyetorkan uang tunai alih-alih ribuan hektare lahan sebagai ekuitas dasar. PTPN VIII tidak bisa menyanggupinya. Pemerintah pun akhirnya merogoh uang APBN sebesar RP 4,3 triliun untuk diberikan kepada PT Kereta Api Indonesia, di mana sebagian di antaranya dipakai untuk menalangi kewajiban setoran PTPN VIII.  

“Kami sekarang lebih butuh uang cash untuk membiaya proyek konstruksi,” kata Dirut KCIC Dwiyana Slamet Riyadi.

KCIC juga merombak desain rute kereta cepat. Pembangunan stasiun di Walini ditunda dan dialihkan ke Padalarang. Ketika Katadata berkunjung ke Walini pada 12 Januari 2022 silam, para pekerja proyek kereta cepat sedang sibuk membangun trase dan jembatan. Tiang-tiang pancang dan pondasi stasiun sudah tegak berdiri. Hamparan hijau perkebunan teh masih mengepung trase di lokasi itu. Rencana pengembangan 1.000 hektare Walini sebagai kawasan terintegrasi tidak tampak terlihat.

Infografik_3 Proyek Kawasan Terpadu Kereta Cepat (Katadata/ Pretty Juliasari)
 

Ambisi Pemprov Jawa Barat

Pemerintah Provinsi Jawa Barat punya mimpi besar mengembangkan Kota Walini Raya. Pada 2015, Ahmad Heryawan, Gubernur Jabar kala itu sesumbar akan menyulap Walini jadi kota mandiri seluas 10.000 hektare. Selain akan jadi pusat pertumbuhan baru di Jawa Barat, Walini juga diproyeksikan jadi ibukota provinsi menggantikan Bandung di masa mendatang.

Tujuh tahun kemudian, nasib Walini justru kian terkatung-katung. Dirut KCIC Dwiyana Slamet Riyadi mengatakan pihaknya terpaksa menunda pengembangan Walini karena masalah pendanaan. 

Pemilik lahan di Walini, PTPN VIII cuma bisa pasrah. Walini sedianya jadi alasan utama PTPN VIII ikut terlibat di garapan proyek kereta cepat.  Project Manager Walini PTPN VIII Fahrial mengatakan setelah tidak lagi masuk rencana pengembangan kereta cepat dalam waktu dekat, perusahaan berencana mengembangkan sendiri kawasan Walini.

Pengembangan Walini, menurut Fahrial, merupakan salah satu upaya diversifikasi bisnis PTPN VIII. Pasalnya, lini bisnis kebun teh milik PTPN VIII sudah tertekan selama hampir 20 tahun terakhir. Fahrial menuturkan harga teh tidak banyak mengalami perubahan yakni di kisaran Rp 15.000-Rp30.000 per kilogram. Di sisi lain, produktivitas hasil kebun justru kian merosot.

“Produktivitas Panglejar itu cuma sekitar 700 kilogram per hektare. Bandingkan dengan Pangalengan misalnya yang bisa sampai 2.000 kilogram per hektare.” kata Fahrial.

Inilah salah satu alasan utama mengapa PTPN VIII ngotot mengembangkan Walini meskipun KCIC menyatakan mundur dari kawasan itu. Apalagi PTPN VIII juga sudah mengubah status 2.000-an hektar lahan di Walini dari Hak Guna Usaha (HGU) menjadi Hak Penggunaan Lain (HPL) untuk mendukung proyek kereta cepat.

Jadi Kawasan Wisata

Rencana pengembangan Walini versi PTPN VIII agak berbeda dengan visi KCIC. Alih-alih mengembangkan kawasan TOD hingga 1.000 hektar, PTPN VIII akan membangun kawasan wisata tematik (theme park). Luasnya pun cuma sekitar 100-200 hektare saja. 

“Secara bisnis, pariwisata memang lebih menarik ketimbang perkebunan teh,” kata Fahrial.

Namun, PTPN VIII tidak punya uang untuk membangun theme park itu sendirian. Perusahaan pun menggandeng mitra untuk mewujudkan hal tersebut. Sistem bisnis berupa kerja sama operasi di mana PTPN VIII hanya menyediakan lahan, sementara mitra yang mendanai investasinya. Sejauh ini, menurut Fahrial sudah ada dua perusahaan yang tertarik. 

Langkah PTPN VIII ini mendapatkan dukungan penuh dari Pemprov Jawa Barat. Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengatakan visi menjadikan Kota Walini Raya sebagai pusat pertumbuhan baru tetap dilanjutkan, meskipun tanpa keterlibatan KCIC.

“Jawa Barat itu sangat luas wilayahnya, sementara Kota Bandung sudah macet,” katanya saat berbincang dengan Katadata, awal Januari silam.

Namun, sebelum melangkah lebih jauh, Pemprov Jabar menyadari ada satu persoalan yang harus diselesaikan. Itu terkait dengan akses ke lokasi. Bukan perkara mudah menyambangi perkebunan teh Walini. Lokasinya memang tepat di tepi jalan tol Purbaleunyi, tetapi akses pintu tol terdekat berada 13 kilometer jauhnya di gerbang Cikamuning. Dari situ, pengunjung harus berbalik ke Utara menelusuri Jalan Raya Purwakarta yang berkelok-kelok.

Jika ingin menuju titik calon stasiun kereta cepat, aksesnya lebih rumit lagi. Dari Jalan Raya Purwakarta, pengunjung harus berbelok ke Jalan Bojong Mekar yang berbatu dengan banyak tanjakan dan turunan tajam. Sulit membayangkan Walini akan berkembang jika kereta cepat tidak lagi berhenti di kawasan ini.

Menyiasati kondisi itu, Ridwan Kamil mengusulkan untuk membuka akses pintu tol di kilometer 106 tidak jauh dari lokasi perkebunan. “Jadi nanti alasan Walini hidup bukan karena stasiun kereta api yang belum ada, tetapi kota baru Walini hidup karena ada akses tol” katanya.

Progres Proyeksi Kereta Cepat Jakarta - Bandung (Muhammad Zaenuddin|Katadata)
 

Ridwan Kamil juga berjanji akan membantu PTPN VIII mencari investor potensial. Gubernur mengusulkan untuk membagi Walini menjadi empat koridor investasi. Menurutnya, pengembangan kawasan yang terlalu luas berpotensi macet jika hanya mengandalkan satu investor. 

Upaya Pemprov Jabar tidak berhenti di Walini saja. Ridwan Kamil mengaku sedang merayu PT Kereta Api Indonesia untuk mengembangkan kawasan TOD di Stasiun Bandung. Ini menurutnya sangat potensial karena ada potensi ribuan penumpang kereta cepat yang akan berhenti di Stasiun Bandung. Selain itu, tanah di sekitar stasiun juga sudah dimiliki oleh KAI tetapi tidak dikembangkan secara ekonomis. 

“Bulan Mei [2022] saya akan mengajak KAI dan PTPN VIII untuk ke luar negeri mencari investor strategis,” kata pria yang akrab disapa Kang Emil ini.







Reporter: Rezza Aji Pratama