Tren PHK Karyawan dan Prospek Startup di Tengah Krisis Likuiditas

123RF.com/Elnur Amikishiyev
30/5/2022, 22.59 WIB

“Kami sebagai investor justru mengapresiasi founder yang berani mengambil keputusan efisiensi,” katanya kepada Katadata.

Menurut Eddi, investor saat ini akan sangat selektif. Pemodal misalnya, tidak akan mentolerir startup yang terlalu jor-joran menghamburkan uang. Investor akan lebih melirik perusahaan rintisan yang stabil dan tidak terlalu bergantung pada strategi ‘bakar duit’ seperti yang selama ini acap diterapkan.

Kendati demikian, Eddi menuturkan bukan berarti investor akan berhenti menggelontorkan dana kepada startup di Tanah Air. Namun, investor akan lebih berhati-hati dalam mengoleksi portofolio. Perusahaan-perusahaan yang masih di tahap early stage akan cenderung diabaikan. Sementara startup yang sudah stabil dan mulai bertumbuh akan tetap dilirik.

Kondisi ini menurut Eddi, akan berlangsung selama satu hingga dua tahun ke depan. “Ini bukan sesuatu yang sepenuhnya negatif. Ke depan, startup akan tumbuh secara organik,” kata Eddi.

Zombie Unicorn

Nun jauh di seberang samudera, sejumlah raksasa teknologi megap-megap di Silicon Valley. Kapitalisasi pasar Netflix misalnya, telah anjlok 70% sejak Desember 2021. Aplikasi video on demand ini juga telah merumahkan 150 orang pegawainya.

Produsen alat fitnes dan layanan instruktur digital, Peloton, bahkan mengalami kondisi yang lebih mengenaskan. Kapitalisasinya memang ‘cuma’ turun 44% sejak akhir tahun lalu. Namun, pada Februari 2022, perusahaan telah memecat 2.800 pegawainya. 

Kondisi ini memunculkan istilah ‘Zombie Unicorn’ di dunia startup. Terminologi ini mengacu pada startup yang punya valuasi tinggi tetapi kondisinya sedang goyah. Perusahaan semacam ini membutuhkan uluran dana investor baru jika ingin bertahan. 

Co-Founder sekaligus Managing Partner di Ideosource dan Gayo Capital Edward Ismawan mengatakan, perusahaan teknologi di Silicon Valley mengalami masa terburuk karena sejumlah faktor. Salah satunya, perusahaan tidak bisa tumbuh atau bertahan di tengah pandemi Covid-19 yang masih melanda.

Selain itu, kebijakan Bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed) yang menaikkan suku bunga acuan juga membuat likuditas menjadi sangat terbatas. Kondisi ini masih diperparah oleh kondisi geopolitik seperti konflik Rusia dan Ukraina yang meningkatkan kekhawatiran investor.

Menurutnya, faktor-faktor negatif tersebut bisa saja menimpa startup di Indonesia. "Sentimen bisa berpengaruh ke startup Indonesia, namun itu mungkin sesaat dan tergantung situasi," kata Edward kepada Katadata.

Sementara itu, Ekonom CORE Pieter Abdullah mengatakan pengetatan likuditas sejatinya hal yang lumrah dilakukan oleh bank sentral. Tidak hanya The Fed, kebijakan ini biasa dilakukan oleh banyak bank sentral di setiap negara untuk menekan inflasi yang terlalu tinggi.

“Kalau ditanya akan berlangsung berapa lama, ya sepanjang yang dibutuhkan. Tapi harus diingat, The Fed pernah menerapkan quantative easing [meningkatkan jumlah uang beredar] secara gradual. Jadi ini [pengetatan likuditas] tidak dilakukan secara drastis,” kata Pieter.

Infografik_Fenomena zombie unicorn melanda bisnis digital_rev (Katadata/ Artamatalo) 

Pengetatan likuiditas inilah yang akhirnya membuat uang yang beredar menjadi terbatas. Minat investor terhadap investasi startup pun akhirnya menukik. “Euforia startup sedang turun. Investor akhirnya menyadari bisnis digital tidak seperti yang dibayangkan,” kata Pieter, saat dihubungi Katadata.

Menurut Pieter, investor akan lebih berhati-hari menggelontorkan uangnya. Di sisi lain, startup juga harus mulai berhenti melakukan strategi ‘bakar uang’ untuk mengakuisi pelanggan. Ke depan, hanya perusahaan yang efisien dan berorientasi pada keberlanjutan saja yang bisa bertahan.

“Kalau prospek sebetulnya masih sangat bagus. Bisnis digital adalah masa depan. Jadi startup akan tetap menarik,” ujar Pieter. 

Halaman:
Reporter: Rezza Aji Pratama