Akun Instagram Sandra Dewi, @sandradewi88, telah hilang sejak akhir pekan lalu. Belum ada penjelasan apa sebabnya. Kondisi ini terjadi di tengah kasus yang menjerat suaminya, Harvey Moeis.
Kejaksaan Agung menetapkan Harvey sebagai tersangka dalam perkara dugaan korupsi timah pada 27 Maret lalu. “Tim penyidik memandang telah cukup alat bukti sehingga kami tingkatkan statusnya sebagai tersangka,” kata Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Kuntadi.
Kerugian negara dari kasus tersebut mencatat rekor fantastis, yaitu Rp 271,06 triliun. Perkiraan ini berdasarkan dampak kerusakan lingkungan akibat kegiatan tambang ilegal timah yang diduga diinisiasi Harvey.
Kejagung telah memiliki alat bukti kuat terkait campur tangan Harvey dalam dugaan korupsi di PT Timah Tbk. Keterlibatan ini terjadi pada 2018 sampai 2019. Harvey, selaku perwakilan PT Refined Bangka Tin (RBT), diduga menghubungi direktur utama Timah saat itu, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani.
Harvey meminta Riza mengakomodasi kegiatan penambangan liar di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah. Keduanya kemudian sepakat dengan kerja sama sewa-menyewa peralatan peleburan timah.
Selain itu, Harvey juga diduga memerintahkan para pemilik pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) timah untuk menyisihkan sebagian keuntungan usaha mereka. Laba ini dibagi untuk Harvey dan 15 orang tersangka lainnya, termasuk Riza.
Publik lalu merespon kasus ini dengan mengkritik gaya hidup Sandra dan suaminya. Dari mulai pernikahannya yang memesan seluruh area Tokyo Disneyland sampai hadiah ulang tahun untuk anak sulungnya berupa pesawat jet Bombardier Challenger 605.
Namun, kasus ini sebenarnya menguak masalah lebih besar. Industri dan tata niaga timah belum ada pembenahan. “Rentennya ada di mana-mana. Ada dalam seluruh tahapan produksi sampai distribusi, terutama untuk kepentingan ekspor,” kata Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional Melky Nahar kepada Katadata.co.id, beberapa waktu lalu.
Langkah Kejagung menetapkan 16 tersangka dalam kasus korupsi PT Timah hanyalah puncak gunung es. “Yang menjadi tersangka hanya di level manajemen. Kejagung seharusnya menyasar juga pada aspek korporasinya,” ucap Melky.
Kejahatan Berulang di Tambang Timah
Melky menyebut kejahatan sektor tambang, secara umum, terjadi mulai dari pra-perizinan hingga penegakan hukum. Tak hanya itu, celah korupsi juga terjadi saat penyusunan dan pengesahan rencana tata ruang dan wilayah (RTRW), peraturan daerah, dan lainnya.
“Demikian pula pada proses perizinan pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH), ketika wilayah operasi perusahaan masuk kawasan hutan,” ucapnya.
Ada dua modus yang seringkali dipakai. Pertama, penambang bersekongkol dengan aparat keamanan, kepala desa, pemilik lahan, dan politikus. Kedua, penambang ilegal bersengkongkol dengan perusahaan legal dan aparat keamanan.
Potensi korupsi terbesar dari pola tersebut, menurut Melky, ada pada aspek penegak hukum. Dalam catatan Jatam, banyak kasus ketika aparat menjadikan hukum sebagai alat memeras penambang ilegal.
Dalam beberapa peristiwa, ada upaya penegakkan hukum tapi kasusnya digantung oleh aparat dalam jangka waktu lama. “Karena itu, memutus rantai tindak pidana korupsi di sektor tambang harus dimulai dari membersihkan aparat keamanan,” ucap Melky.
Khusus tambang timah, modusnya lebih rumit. Produk tambang tersebut sebagian besar menjadi barang ekspor. Pembelinya adalah negara dengan teknologi canggih, seperti Cina dan Singapura.
Timah menjadi penting bagi negara-negara tersebut karena digunakan untuk solder produk elektronik. Hasil survei Asosiasi Timah Internasional (ITA) menunjukkan penggunaan timah olahan secara tahunan pada 2022 mencapai 376.900 ton. Separuhnya untuk keperluan solder. Lalu, penggunaan tertinggi berikutnya adalah bahan kimia dan pelat.
Di Bangka Belitung, lokasi cadangan timah terbesar Indonesia, awalnya hanya dua perusahaan yang boleh menambang. Keduanya adalah PT Timah Tbk dan PT Koba Tin. Perusahaan terakhir, asal Malaysia, telah berhenti beroperasi sejak 18 September 2013.
Perubahan pada bisnis tambang terjadi sejak berlaku Undang-Undang Otonomi Daerah. Turunan dari aturan ini adalah Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 146 Tahun 1999 yang menyebut timah sebagai barang bebas. Lalu, Pemda Bangka Belitung menerbitkan aturan terkait pengelolaan pertambangan umum.
Langkah tersebut melegitimasi pembukaan tambang inkonvensional. Di sisi lain, pemerintah meyakini aturan itu dapat mendorong pemasukan pendapatan daerah secara mandiri.
Namun, tanpa pengawasan yang tertib, aturan itu justru melanggengkan banyaknya tambang timah ilegal. Puncaknya terjadi pada 2004 sampai 2006. Data Asosiasi Tambang Timah Rakya (Astira) menunjukkan jumlah tambang inkonvensional (TI) pada 2006 mencapai lebih 13 ribu unit. Apabila ditambah yang tidak terdaftar angkanya mencapai 18 ribu unit.
Banyak pula smelter baru bermunculan dan izin tambang baru. Data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bangka Belitung menyebutkan, pada 2004 hingga 2013 terdapat 81 ribu tambang inkonvensional, 54 smelter swasta, dan lebih 100 izin usaha pertambangan timah.
Para penambang ilegal bahkan menambang di luar wilayah izin usaha pertambangan. Mereka juga menjual hasil tambang ke pihak lain, selain pemilik IUP. “Seharusnya seluruh hasil produksi timah disetor ke PT Timah, baru diekspor ke luar negeri,” ucap Melky.
Dalam praktiknya, banyak timah ilegal berhasil lolos ekspor ke negara lain, khususnya Cina. Katadata.co.id membandingkan data statistik Cina dan Indonesia terkait hal ini dan memang ada perbedaan angka.
“Nah, pertanyaan terpentingnya adalah bagaimana hasil tambang ilegal ini justru sampai ke negara tujuan ekspor,” kata Melky. Artinya, ada kongkalikong pula pada jalur distribusi. “Penting untuk ditelusuri juga bagaimana peran syahbandar di lapangan,” ucapnya.
Untuk membereskan masalah ini, Kejagung perlu membongkar seluruh praktik ilegal hingga ke akarnya. “Tapi memang bukan pekerjaan mudah karena yang disasar orang-orang yang punya kekuasaan politik besar,” kata Melky.
Kerugian ekologi penambangan ilegal tak kalah besar dari potensi kehilangan pendapatan negara. Penjabat Gubernur Bangka Belitung Safrizal ZA pada 18 Januari lalu mengatakan lahan kritis akibat penambangan bijih timah ilegal di Kepulauan Babel mencapai 167 ribu hektare. Angka ini hampir tiga kali lipat luas daratan Jakarta.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli menyebut penambangan timah ilegal mulai terjadi ketika pemerintah membuka keran swasta untuk memiliki IUP. “Kemudian pemerintah juga membuka keran ekspor konsentrat timah oleh swasta sehingga marak penambangan tanpa izin (PETI),” ucapnya kepada Katadata.co.id.
Para trader kemudian menampung timah dari tambang inkonvensional tersebut dan mengekspornya ke Singapura. Kondisi ini semakin parah ketika terjadi perbedaan harga konsentrat antara trader dan PT Timah. Penambang lebih memilih menjual ke pihak swasta karena harganya lebih mahal.
Lalu, pemerintah menutup keran ekspor konsentrat tersebut untuk trader swasta. Penambang kini harus menjual ke PT Timah. Banyak penambang inkonvensional akhirnya gulung tikar karena harga jual lebih rendah dari biaya operasi. Beberapa akhirnya mendirikan smelter di Bangka untuk mengolah konsentrat timah menjadi ingot (timah yang dilebur), kemudian diekspor.
Namun, masalah muncul lagi. Kemunculan pabrik-pabrik pengolahan itu membuat pasokan bahan baku berkurang. “Sehingga terjadilah penambangan dengan berbagai cara, termasuk kerja sama antara pemilik IUP untuk memasok smelter,” kata Rizal.
Banyak izin usaha tambang tersebut memiliki wilayah dan cadangan kecil. Dari sini muncul kembali penambangan tanpa izin. “Kegiatan PETI sebenarnya kasat mata terlihat tapi penegakkan hukumnya jalan di tempat,” ucapnya.
Beberapa pihak menduga adanya permainan aparat dan pejabat, baik pusat maupun daerah, sehingga kegiatan tambang ilegal sulit diberantas. “Hampir di seluruh negeri terjadi hal seperti ini dan sepertinya pemerintah kesulitan membongkar kasusnya,” katanya.
Dampak Kasus Harvey Moeis
Praktik tambang ilegal telah memukul kinerja PT Timah Tbk. Dalam tiga tahun terakhir produksinya terus menurun. Laba perusahaan pun anjlok pada tahun lalu.
Direktur PT Timah Tbk Ahmad Dani Virsal mengatakan produksi pada tahun ini akan lebih baik. Angkanya sekitar 30 ribuan ton. “Kami lagi berupaya memperbaiki tata kelola internal,” ucapnya pada 2 April 2024.
Penurunan produksi tak semata karena masifnya tambang ilegal. Virsal menyebut ada pula masalah sosial dan teknis penambangan. Yang utama adalah tata kelola perusahaan yang masih banyak kekurangan.
Karena itu, perusahaan sedang melakukan investigasi terkait apa yang terjadi selama lima tahun terakhir. “Kami lagi dalami baik dari internal maupun dari kontrak-kontrak dan kerja sama yang sudah ada,” kata Virsal.
Terkait kasus Harvey Moeis, ia menyebut sebagian timah ilegal memang berasal dari area PT Timah. Sebagian lainnya berasal dari kawasan hutan yang dilarang untuk ditambang. Pihak-pihak yang terlibat dalam kasus tersebut, Virsal mengatakan, tidak ada lagi yang bekerja sama dengan perusahaan.
Dampak lainnya dari kasus Harvey Moeis, Kementerian ESDM akan mengevaluasi kembali rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) perusahaan timah. Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara (Minerba) Irwandy Arif mengatakan, selama ini banyak perusahaan yang belum memenuhi persyaratan
“Kalau ada kasus (korupsi) seperti sekarang, tentu kami harus evaluasi lagi,” ucapnya. “Semua ada parameternya, itu harus dilengkapi semua.”
Per 26 Maret 2024, Kementerian baru menyetujui 15 RKAB perusahaan tambang timah. Kapasitas produksinya mencapai 46.444 ton. Angka ini sekitar 65% dari produksi timah 2023, yang mencapai 74 ribu ton bijih timah.
Kehati-hatian pemerintah dalam menyetujui RKAB sejak awal tahun telah berimbas pada penurunan ekspor. Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bangka Belitung mencatat kinerja ekspor provinsi tersebut anjlok 82,55% pada Januari 2024 dibandingkan Desember 2023 menjadi US$ 29,79 juta. Penurunan tersebut terjadi karena tidak adanya ekspor timah yang menjadi komoditas andalannya.
Ketua Harian Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI) Eka Mulya Putra membenarkan hal tersebut. “Benar, dari Januari sampai Maret 2024 belum ada sama sekali ekspor timah,” ujarnya. Penyebab utama kondisi ini adalah lambatnya persetujuan RKAB dan hebohnya kasus timah di Kejagung.
Dalam berbagai pemberitaan salah satu perusahaan yang telah mendapatkan persetujuan RKAB dan izin ekspor timah sejak awal tahun ini adalah PT Mitra Stania Prima. Melansir data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, sebanyak 75% saham perusahaan ini dimiliki PT Arsari Tambang.
Arsari Group merupakan perusahaan milik Hashim Djojohadikusumo, adik Menteri Pertahanan dan presiden terpilih 2024-2029 Prabowo Subianto. Dalam data KemenkumHAM, direktur utama Mitra Stania Prima adalah Aryo Djojohadikusumo, anak Hashim.
Katadata.co.id sudah mencoba mengonfirmasi informasi ini melalui pesan singkat kepada Aryo. Namun, ia tidak memberi jawaban hingga berita ini tayang.
Pada 21 Februari lalu, Reuters menulis ekspor timah olahan Indonesia pada Januari 2024 hanya 400 metrik ton. Semua dalam bentuk solder, tidak ada ingot. Angka tersebut merupakan volume bulanan terendah sejak Agustus 2015.
Ekspor timah dari negara ini memang sudah turun sejak tahun lalu. Penurunannya mencapai 12% dibandingkan 2022 menjadi 75 ribu ton. Jumlah tersebut setara seperlima permintaan global sehingga Indonesia masih menjadi salah satu negara pengekspor timah terbesar dunia.
Yang paling terpukul adalah Negeri Panda, pusat manufaktur dunia. Sektor timah Cina kini menghadapi ancaman penurunan stok karena melemahnya ekspor dari Indonesia. Para pelakunya kini sibuk menimbun logam tersebut. Angka cadangannya pada Bursa Berjangka Shanghai berjumlah 9.033 ton, tertinggi sejak Agustus 2023.
Namun, pembelian tersebut mengurangi pasokan untuk negara Barat. Persedian timah di bursa logam London (LME) turun 23% pada Januari 2024 menjadi 5.945 ton, level terendah sejak Agustus lalu.
Meskipun belum ada kepanikan, namun pelaku pasar mulai merasakan ketersediaan timah akan semakin terbatas dengan menurunnya ekspor dari Tanah Air. Harga timah terus menunjukkan tren kenaikan sejak awal tahun. Lonjakannya lebih 26% ke level US$ 32.185 per ton per 17 April lalu.