Menanti Dampak Pembebasan Pungutan Ekspor Terhadap Harga Sawit

Arief Kamaludin|Katadata
20/7/2022, 16.28 WIB
  • Kementerian Keuangan memberlakukan pembebasan pungutan ekspor yang berlaku hingga 31 Agustus 2022 untuk meningkatkan ekspor produk kelapa sawit.
  • Fasilitas penyimpanan sawit di Indonesia saat ini hampir penuh sehingga diperkirakan kesulitan menyerap hasil panen petani yang akan mencapai puncaknya di bulan Agustus 2022.
  • Pelaku bisnis menyarankan pemerintah mengevaluasi kebijakan domestic market obligation (DMO) untuk memperlancar arus ekspor. 

Abdi Amna tidak bisa berbuat banyak ketika harga tandan buah segar (TBS) sawit jatuh seperti sekarang. Abdi mengelola sekitar 170 hektar kebun sawit di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Sebanyak 17 hektar miliknya pribadi, sedangkan sisanya punya keluarga besar yang ia kelola sejak beberapa tahun silam. 

Sejak awal tahun, Abdi dan petani sawit lain seperti ketiban pulung. Harga TBS melonjak tajam, bahkan hingga di atas Rp 3.000 per kilogram. Saat harga sedang tinggi-tingginya, Abdi membeli dua unit truk dengan cicilan. Setiap bulan, ia harus mengangsur sekitar Rp 32 juta untuk kedua unit kendaraan operasional tersebut.

Namun, serangkaian kebijakan untuk mengendalikan harga minyak di pasar domestik membuat peruntungan petani sawit seperti Abdi berbalik arah. Pelarangan eskpor crude palm oil (CPO) misalnya, membuat harga TBS di tingkat petani ambrol. Dari sebelumnya di kisaran Rp 3.000 per kilogram, harga sawit bahkan sempat menyentuh level di bawah Rp 1.000 per kilogram (kg) di sejumlah tempat. 

“Cuma dalam waktu tiga minggu [harga sawit] langsung jatuh sampai Rp 1.000-an,” kata Abdi, saat berbincang dengan Katadata

Abdi bercerita, saat ini beberapa pabrik CPO menawarkan harga di kisaran Rp 1.200-Rp 1.400 per kg. Menurutnya, dengan rentang harga itu margin yang diperoleh sangat tipis. Apalagi beban produksi justru kian meroket. Harga pupuk misalnya, sudah naik hampir dua kali lipat sejak beberapa bulan terakhir. 

“Sekarang saya harus bayar cicilan truk Rp 32 juta per bulan. Makin berat lah,” katanya.

Guna menjaga agar harga sawit tetap stabil, Kementerian Keuangan merilis kebijakan untuk membebaskan pungutan ekspor terhadap produk kelapa sawit dan turunannya. Aturan baru ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 115 tahun 2022 yang diterbitkan pada 15 Juli 2022.

Kendati demikian, kebijakan ini tidak berlaku selamanya. "Hingga 31 Agustus 2022, pungutan ekspor diturunkan menjadi 0 dolar kepada seluruh produk yang berhubungan dengan kelapa sawit," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Sri Mulyani menegaskan keringanan tarif tersebut akan dicabut mulai 1 September. Tarif pungutan ekspor akan kembali menjadi progresif saat kebijakan tersebut berakhir. Artinya, jika harga produk kelapa sawitnya rendah, maka besaran tarifnya juga akan rendah. Sri Mulyani tidak merinci berapa pengenaan tarif progresif yang berlaku mulai September mendatang.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan, pemberian fasilitas tarif 0% tersebut untuk mempercepat ekspor. Hal ini mengkompensasi pelarangan ekspor yang diberlakukan hampir sebulan penuh pada Mei demi menekan harga minyak goreng.

"Sebetulnya ekspornya tinggi sekali di Juni kemarin, tapi kita melihat masih perlu lebih cepat lagi," kata Febrio.

Penurunan tarif tentu akan berpengaruh ke penerimaan negara. Namun Febrio masih optimistis dampaknya tidak signifikan ke penerimaan negara. Menurutnya, penerimaan negara sudah aman karena tumbuh 40% secara tahunan. 

HARGA TBS KELAPA SAWIT TURUN (ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/rwa.)
 

Stok Melimpah

Tidak lama setelah kebijakan ini diberlakukan, harga TBS sawit mulai merangkak naik. Data Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menyebut harga TBS dari petani swadaya masih bertengger di harga Rp 916 per kg pada 14 Juli 2022. Adapun di awal pekan ini, harga sudah merangkak naik menjadi Rp 1.084 per 16 Juli 2022. 

Dampak kebijakan ini juga mulai terasa di aktivitas ekspor. Direktur Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Askolani mengatakan selama tiga hari pertama, ekspor CPO naik 50%. Menurut Askolani, sejak pemerintah kembali membuka keran ekspor pada 23 Mei, arus keluar produk sawit sebetulnya sudah mulai naik. Namun, kenaikannya belum sesuai harapan pemerintah. 

Kendati sudah menunjukkan sinyal positif, pengusaha kelapa sawit menilai pemerintah masih harus mencari solusi terhadap penumpukkan stok TBS. Ketua Apkasindo, Gulat Manurung mengatakan kebijakan pungutan ekspor 0% memang dapat mendongkrak harga CPO. 

Namun, pemerintah harus menggenjot percepatan ekspor karena panen TBS sawit dengan volume tinggi diproyeksikan terjadi pada Agustus 2022. Akibatnya, ada potensi hasil panen tersebut tidak bisa diserap karena fasilitas penyimpanan sudah nyaris kelebihan stok. Gulat mendata stok CPO di dalam negeri pada akhir Juli 2022 telah mencapai 10,9 juta ton. Angka tersebut lebih besar tiga kali lipat dari cadangan CPO pada kondisi normal sebanyak 3 juta ton per bulan.

"Terlambat ambil keputusan [ekspor CPO] bisa berakibat fatal secara nasional dan investasi 6,72 juta hektar petani sawit akan berguguran massal," kata Gulat.

Gulat menilai kebijakan penghapusan pungutan ekspor CPO masih belum cukup. Menurut dia, pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan kewajiban pasar domestik (DMO), kewajiban harga domestik (DPO), dan Flush-Out (FO).

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono menyebutkan tangki penyimpanan CPO kini sudah berisi 6,3 juta ton kelapa sawit. Padahal, kapasitasnya secara nasional cuma 7 juta ton saja. 

Eddy menyatakan kebijakan pembebasan pungutan ekspor tidak serta-merta dapat meningkatkan penyerapan TBS yang sudah menumpuk. Ia juga menilai harga saat ini masih jauh dari harga ideal yang menguntungkan petani. 

“Harga pokok produksi petani sekarang ini sekitar Rp 1.800. Jadi kalau ingin memperoleh keuntungan, harus di atas itu,” kata Eddy kepada Katadata.

Anggota Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi)  Bayu Krisnamurthi mengatakan kebijakan pembebasan bea ekspor akan membuka kesempatan bagi para eksporter sawit. Namun menurutnya, bukan perkara mudah untuk menggenjot ekspor dalam waktu singkat. 

Bayu menuturkan sawit adalah bisnis jangka panjang yang membutuhkan perencanaan matang. Selain itu, masih ada hambatan teknis seperti mencari kapal untuk mengangkut barang ekspor yang juga membutuhkan waktu. Kebijakan domestik market obligation (DMO) juga masih membatasi kenaikan ekspor sawit dan produk turunannya. 

“Mudah-mudahan akan ada peningkatan ekspor tetapi tampaknya jumlahnya tidak banyak,” katanya, kepada Katadata. 

Bayu menilai dalam jangka panjang tambahan pasokan ekspor sawit dari Indonesia akan menurunkan harga internasinoal. Selain itu, penghapusan pungutan ekspor yang biasanya berkisar di angka US$ 200, membuat eksporter Indonesia menjual kelapa sawit dengan harga lebih murah.

Evaluasi Kebijakan DMO

Senada dengan Gapki, Plt. Ketua Umum Dewan Sawit Indonesia (DSI) Sahat Sinaga menyebut persoalan utama sawit di Indonesia adalah stok dalam negeri yang sangat melimpah. Ia bahkan menilai kebijakan sawit yang dirilis pemerintah belum komprehensif. 

“Pembebasan pungutan tidak akan memperbaiki alur ekspor. Yang jadi persoalan itu adalah konsep DMO yang dipakai sekarang,” katanya, kepada Katadata.

Sahat mengusulkan beberapa jurus untuk mempercepat penyerapan TBS dan menggenjot ekspor CPO. Pertama, pemerintah harus menghentikan sementara kebijakan DMO, paling tidak selama Agustus-Oktober.  Kedua, perpanjangan kebijakan penghapusan pungutan ekspor hingga Oktober 2022.

Kebijakan DMO menurutnya tidak lagi diperlukan karena harga minyak sawit di Indonesia sudah di bawah Rp 9.550 per kilogram. Dengan demikian, target harga minyak goreng Rp 14.000 seharusnya mudah dicapai. 

Sahat juga mengusulkan agar pemerintah juga menurunkan bea keluar (BK) yang saat ini dinilai terlalu tinggi. Jika pemerintah memangkas BK hingga 25% selama periode Agustus-Oktober 2022, Sahat memprediksi harga TBS di tingkat petani bisa naik hingga Rp 1.600 per kilogram. 

“[Dengan kebijakan ini] kami perkirakan di paruh kedua 2002 volume bisnis akan meningkat baik ekspor maupun domestik,” kata Sahat. 

KEMENDAG LUNCURKAN MINYAK GORENG KEMASAN (ANTARA FOTO/Galih Pradipta/YU)
 

Usul lainnya, Sahat juga meminta agar pemerintah turut bertanggungjawab dalam distribusi minyak goreng. Apalagi Kementerian Perdagangan sudah meluncurkan program Minyakita. Pemerintah misalnya bisa memaksimalkan peran Bulog dan IDFood yang memiliki 17.000 jalur distribusi di seluruh Indonesia. Menurut Sahat, membebankan distribusi minyak goreng kepada perusahaan swasta sulit diterapkan karena pihak swasta tidak memiliki kapabilitas tersebut. .

Dalam kapasitasnya sebagai Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNl), Sahat menyarankan agar harga Minyakita diatur lebih rendah dari Harga Eceran Tertinggi (HET). Harga Minyakita kini dibandrol di angka Rp 14.000 per liter sementara GIMNI menyarankan Minyakita dijual di harga Rp 13.000 per liter. 

Reporter: Amelia Yesidora, Andi M. Arief, Abdul Azis Said