- Anak-anak Depok yang mengokupansi kawasan Dukuh Atas menciptakan skena Citayam Fashion Week yang mengingatkan publik terhadap tren Harajuku Style di Jepang.
- Citayam Fashion Week berpotensi berkembang menjadi tren street style a la Indonesia.
- Pemerintah dan desainer perlu turun tangan untuk menjaga agar Citayam Fashion bukan sekadar fenomena sesaat.
Suhu udara di Jakarta panas menyengat, tetapi Bang Betz kukuh mengenakan sarung tangan hitam miliknya. Di kawasan Dukuh Atas itu, dia berdandan bak model ternama. Celana ketat mengekspos kaki kurusnya. Sementara kaosnya putih gombrong menenggelamkan badannya yang mungil.
Pun begitu, Bang Betz tidak kehilangan kepercayaan diri. Saat seorang wanita memintanya berpose dengan latar gedung-gedung tinggi menjulang, Bang Betz langsung menyanggupi.
Bang Betz tentu bukan nama sebenarnya. Remaja asal Depok itu punya nama asli M Alif Hanzaullah. Selama beberapa bulan terakhir, Bang Betz dan kawan-kawannya mengokupansi kawasan elite Dukuh Atas.
Tidak jarang mereka sampai menginap di jalanan karena ketinggalan kereta terakhir untuk pulang. “Dulu sering menginap. Sekarang enggak boleh lagi,” kata Bang Betz.
Fenomena anak-anak Depok yang menghabiskan waktu di Dukuh Atas sedang jadi buah bibir. Mereka datang dengan gaya eksentrik. Menggunakan pakaian hasil berburu di pasar loak, dandan mereka menabrak pakem fesyen pada umumnya. Media lantas melabeli fenomena itu sebagai Citayam Fashion Week (CFW).
Tidak pernah ada yang menyangka, Citayam yang bagi banyak warga Depok identik dengan kemacetan, akan serasi dengan frasa fashion. Namun, Citayam, Bojonggede, dan kawasan suburban lainnya justru menghasilkan anak-anak muda kreatif yang kemudian menyebut Dukuh Atas sebagai taman bermain untuk mengekspresikan diri mereka.
Ketika akun Twitter @TokyoFashion menyebut fenomena Citayam Fashion Week dalam cuitan mereka, orang-orang langsung membandingkannya dengan Harajuku Style. Akun ini punya ratusan ribu pengikut. Jadi ketika nama Citayam muncul, pamor anak-anak seperti Bang Betz melambung tinggi. Dukuh Atas lantas melahirkan bintang-bintang baru di jagat media dalam sosok Jeje, Bonge, Roy, atau Kurma.
Nama-nama yang sebelumnya banyak menghabiskan waktu di jalanan, kini terkenal dan menjadi influencer.
Berkelanjutan atau Tren Sesaat?
Membandingkan antara Citayam Style dan Harajuku rasanya memang tidak terhindarkan. Keduanya sama-sama lahir secara organik di jalanan dan didorong oleh gairah anak muda mencari jati dirinya. Namun, menurut Pakar Marketing dan Managing Partner Inventure Yuswohady, ada perbedaan mendasar antara kedua fenomena tersebut.
Harajuku Syte yang tumbuh di era 1970-an terbukti bertahan puluhan tahun dan menjadi kiblat street fashion di Jepang. “Di Jepang kekuatannya adalah mode. Sama-sama otentik [Citayam Style] tetapi ada perbedaan mendasar,” kata Yuswohady, kepada Katadata.
Pamor Citayam Fashion, menurut Yuswohady, justru didongkrak oleh cerita orang-orang yang menghidupkan fenomena tersebut. Anak-anak seperti Jeje dan Bonge punya karakter kuat yang menarik ketertarikan publik. Cerita Bonge, remaja putus sekolah yang pernah jadi pengamen hingga manusia silver, membangun ciri khas Citayam fashion.
“Yang menarik cerita sosoknya. Belum sampai pada apa yang ditampilkan,” kata Yuswohady.
Kisah anak-anak seperti Jeje dan Bonge seperti ‘bahan bakar’ yang membuat Citayam Fashion kian berkobar. Namun, menurut Yuswohady, pamor fenomena ini berpotensi meredup saat bahan bakar itu menipis.
Seperti banyak fenomena viral yang mendapat popularitas dalam waktu singkat, publik cenderung abai saat sudah bosan dengan cerita yang muncul. Agar bisa berkembang pesat seperti Distrik Harajuku di Jepang, fenomena Citayam harus bisa melampaui apa yang sudah tercapai saat ini.
Pemilik brand fesyen Danjyo Hyoji, Dana Maulana, mengatakan saat pertama kali muncul tren Harajuku Style juga sulit diterima oleh orang para umumnya. “Dulu awalnya aneh banget juga; rambut merah, stoking jaring-jaring. Banyak ekspresi gaya fesyen tersendiri di Harajuku,” kata Dana, saat berbincang dengan Katadata.
Namun, perlahan tapi pasti masyarakat mulai menerima ekspresi ganjil anak-anak muda di Harajuku. Ia pun menilai hal serupa juga bisa terjadi di Dukuh Atas. Apalagi sebelum ramai CFW, lokasi tersebut sudah menjadi lokasi artwork dengan grafiti dan mini konser.
“[Harajuku] mirip Dukuh Atas memang,” katanya.
Distrik Fashion
Mengenakan topi trilby putih dan blazer cokelat, Ridwan Kamil berjalan di atas zebra cross di jalanan Sudirman pada Rabu (17/7). Zebra cross itu sudah menjadi semacam catwalk bagi anak-anak Depok yang kini sering nongkrong di kawasan itu.
Gubernur Jawa Barat itu ikut meramaikan fenomena fashion setelah berbalas pesan di Twitter dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. "Saya sedang di Dukuh Atas, diundang Bapak Anies untuk meramaikan ruang publik di Jakarta," kata RK, melalui media sosial miliknya.
Ridwan Kamil memang bukan pesohor pertama yang ikut meramaikan Citayam Fashion Week. Sehari sebelumnya, Anies Baswedan juga melenggang di ‘catwalk’ Sudirman. Anies tidak sendirian. Ia bahkan menggandeng Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Piket, dan Vice President the Europe Investment Bank Kris Peeters untuk menemaninya.
Berbeda dengan kebanyakan anak-anak Citayam yang tidak mengusung mode fesyen tertentu, Ridwan Kamil tampil elegan dengan busana rancangan desainer ternama, Samuel Wongso. Pria ini bukan nama sembarangan di skena fesyen nasional. Ia merupakan generasi keempat Wong Hang Tailor. Sosok yang banyak merancang desain jas dan blazer yang bahkan digunakan oleh jajaran Presiden sejak era Soekarno hingga Joko Widodo.
Ini tentu berbanding terbalik dengan tren yang diusung anak-anak nongkrong Dukuh Atas. Sebagian besar dari mereka mengandalkan pakaian dan aksesori hasil thrifting. Harganya pun cuma di kisaran puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah saja.
“Ini sebetulnya yang membuat mereka otentik. Ini juga yang menentukan apakah Citayam Fashion Week bisa bertahan seperti di Harajuku,” kata Yuswohady.
Menurut Yuswohady, kunci pengembangan Citayam Fashion Week saat ini ada di tangan para desainer. Memang sulit membayangkan para desainer ternama akan ikut meramaikan Citayam Fashion Week, atau mengambil inspirasi dari tema tersebut. Pasalnya, sudah jadi rahasia umum jika skena fesyen nasional selama ini datang dari kalangan kelas atas.
“Bagi brand fashion ini pertaruhan. Tentu ada kekhawatiran brand mereka justru akan downgrade jika ikut tren Citayam Fashion Week,” kata Yuswohady.
Kendati demikian, Yuswohady menilai tidak menutup kemungkinan desainer generasi muda yang lebih membumi akan menjadikan Citayam Fashion Week sebagai inspirasi. Para desainer ini bisa saja menciptakan arus mode street style yang cenderung meninggalkan konsep strata sosial.
Bagi para desainer, CFW bisa membuka kesempatan untuk memamerkan karyanya. Pemilik brand Danhyo Hyoji, Dana Maulana, mencontohkan desainer dan pemilik brand lokal bisa membangun tenda fashion week. Jika mereka diberikan kesempatan untuk memamerkan karyanya melalui berbagai event, tidak menutup kemungkinan kawasan Dukuh Atas menjelma menjadi distrik fashion.
Konsep distrik fashion, yang fokus pada ruang outdoor alih-alih ruang eksklusif seperti mal, berpotensi membuat tren ini bisa dinikmati oleh semua orang. Bahkan bagi anak-anak selain Depok yang saat ini mendominasi. Dana menyebut ketika orang bebas berekspresi dan menimbulkan pro dan kontra, itu akan membentuk potensi besar.
“Kalau tidak dimanfaatkan paling gitu-gitu aja. One hit wonder, viral sekali,” kata Dana.
Memang tidak mudah menjaga dan mengembangkan tren Citayam Fashion Week. Pemilik brand ‘Sejauh Mata Memandang’ Chitra Subiyakto menuturkan perlu dukungan pemerintah agar street fashion di Dukuh Atas bisa berkembang seperti di berbagai belahan dunia.
“Harajuku tidak akan selegendaris ini kalau hanya mengandalkan pelaku street fashion saja,” kata Chitra.
Menurut Chitra, mengubah kawasan Dukuh Atas menjadi sentra bisnis fashion sebetulnya cukup sulit. Selain lokasinya yang terbatas, kawasan ini sudah dijejali dengan gedung-gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan kelas atas. Menurutnya, yang potensial berkembang adalah e-commerce yang menjajakan koleksi street fashion.
“Ibukota Jakarta, termasuk SCBD itu milik kita semua, termasuk anak muda Citayam yang ingin berekspresi,” katanya.
Lantas bagaimana Pemerintah bisa bekontribusi? Yuswohady menyarankan, pemerintah bisa mendorong tren ini menjadi ajang reguler fashion week. Misalnya dilakukan setiap Car Free Day untuk mengantisipasi kemacetan di sekitar kawasan bisnis SCBD. Namun, event ini juga tidak boleh dibuat terlalu kaku agar tidak menghilangkan unsur orisinalitasnya.
“Kalau itu berjalan, saya yakin bisa jadi atraksi wisata yang menarik bagi para turis,” katanya.