Waspada Efek Domino Kolapsnya Tiga Bank di AS

123RF.com/Bakhtiar Zein
Ilustrasi, krisis perbankan.
Penulis: Amelia Yesidora
Editor: Sorta Tobing
3/4/2023, 16.17 WIB
  • Indonesia menerima peringatan dari IMF terkait fenomena bangkrutnya bank-bank di AS.
  • Para pengamat menyebut kondisi perbankan Indonesia masih kuat.
  • Dampak jatuhnya bank-bank AS sudah menjalar ke beberapa negara.

Sekali berarti, sudah itu mati. Ungkapan Chairil Anwar ini mungkin bisa menjelaskan bagaimana keadaan terbaru Silicon Valley Bank alias SVB. Berdiri sejak 1893 dan dikenal sebagai penyuntik dana ke perusahaan perintis alias startup, per 8 Maret bank justru bangkrut.

Bukan hanya SVB yang mati, namun juga Silvergate bank dan Signature Bank. Jarak kolapsnya bank ini pun berdekatan, tidak sampai satu pekan ketiganya tumbang.

Ada satu benang merah yang menghubungkan ketiga bank tersebut. Ketiganya sama-sama melayani nasabah sektor digital.

Silvergate Bank dan Signature Bank adalah dua pentolan mata uang kripto di Amerika Serikat. Bank ini melayani penyimpanan dan penarikan mata uang kripto. Sayangnya, nilai mata uang ini kian turun hingga bank akhirnya bangkrut.

Indonesia sudah menerima peringatan dari Dana Moneter Internasional terkait fenomena ini. IMF menyarankan pengetatan perbankan kepemilikan surat utang pemerintah yang makin besar.

Sistem keuangan Indonesia memang tangguh. Namun, IMF berpendapat tetap harus waspada terhadap ancaman, seperti dampak suku bunga yang lebih tinggi terhadap perbankan dan sektor korporasi. 

“Dengan tingkat utang pemerintah yang lebih tinggi pada neraca bank, kehati-hatian fiskal yang berkelanjutan dan pengawasan bank yang ketat diperlukan untuk mengurangi risiko yang berasal dari perhubungan bank-negara,” kata tim IMF, Cheng Hoon Lim, dalam dokumen Article IV.

Bahaya Kebangkrutan Silicon Valley Bank (Katadata)

Kenapa Dampaknya Belum Terasa di Tanah Air?

Pengamat sepakat bahwa fenomena ini tidak memiliki dampak terlalu besar bagi Indonesia, setidaknya hingga akhir Maret ini. Direktur Eksekutif Institut of Economic and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan ada dua faktor penopang dampak negatif tersebut di Tanah Air.

Pertama, bank di Indonesia belum banyak yang mendanai startup layaknya Silicon Valley Bank. Tauhid melihat startup Tanah Air banyak didanai oleh modal ventura alias venture capital (VC). Memang saat ini pendanaan ke startup sedang seret, tapi keterkaitan pendanaan dari SVB pun kecil. 

Kedua, kecilnya keterkaitan tiga bank yang tumbang itu pada Indonesia. Ini tentu berbeda dengan Credit Suisse dan Deutsche Bank yang sudah mendapat efek negatif dari jatuhnya bank di AS, lantaran memiliki hubungan yang kuat. 

“Fondasi fundamental Indonesia kuat, sehingga bila di luar sana terjadi guncangan, tidak terlalu terpengaruh,” ujar Tauhid pada Katadata. 

Pengamat perbankan dari Binus University Doddy Ariefianto pun mengamini hal ini. Kebijakan moneter Indonesia masih belum seagresif Amerika Serikat. Di kala The Fed menaikkan suku bunga ke 5% pada Maret, BI tetap pada posisi 5,75%. 

Selain itu, hingga Januari 2203 rasio kecukupan modal alias CAR perbankan Indonesia di angka 25,93%. Sebanyak 85% komponen modal ini masuk dalam klasifikasi modal inti. Sebagai perbandingan, rasio modal inti perbankan Amerika senilai 13,52% dan Eropa senilai 16,13%. 

The Fed menyiratkan kemungkinan menaikkan lagi suku bunga di masa mendatang. Pasalnya, sampai akhir Februari 2023 laju inflasi AS masih di level 6%.

Peningkatan suku bunga AS ini adalah yang tertinggi selama 16 tahun belakangan, seperti terlihat dalam Databoks berikut:

 

Penopang utama lainnya adalah bagaimana mata uang kripto di Tanah Air masih terpisah dari perbankan. Beda halnya dengan AS. Mata uang digital sudah bisa disimpan di perbankan. Ketika mata uang kripto ambrol, Silvergate Bank dan Signature Bank ikut kolaps. 

“Kemudian, bank sentral memberi assurance pembelian injeksi likuiditas di pasar. Meski BI Rate tinggi, likuiditas pasar disediakan. Jadi dengan kondisi ini, saya kira dampak dari kejadian global relatif tertangani,” ujarnya dalam sambungan telepon dengan Katadata.

Peneliti INDEF Ahmad Heri Firdaus menghitung penutupan SVB secara tidak langsung mengurangi produk domestik bruto alias PDB Indonesia sebesar 0,024% dan PDB dunia senilai 0,02%. Ini dihitung berdasarkan analisis Global Trade Analysis Project. 

Di sisi lain, penutupan SVB secara tidak langsung bisa menurunkan ekspor Indonesia sebesar 0,35% dan ekspor dunia senilai 0,16%. “Negara manapun di dunia perlu mengelola kebijakan agar pelaku pasar tidak mengambil tindakan yang tidak diperlukan dan bisa terhindar dampak negatif,” ujarnya pada 16 Maret 2023.

Silicon Valley Bank (123rf)

Psikologis Deposan

Kendati fundamental perbankan Indonesia cukup kuat untuk menahan gelombang krisis ekonomi AS, Doddy menilai ada satu sisi yang harus diperhatikan: psikologis deposan. 

Credit Suisse contohnya, bank berusia lebih dari satu abad asal Swiss ini ia nilai tidak sepatutnya mengalami krisis hingga hampir bangkrut. Salah satu problem bangkrutnya Credit Suisse, menurut Doddy, adalah ketakutan deposan-deposan besarnya atas dana yang diletakkan di bank tersebut. 

Salah satu investornya, Saudi National Bank, tidak bisa memberi lebih banyak uang kepada Credit Suisse, lantaran aturan otoritas Swiss membatasi suntikan modal asing maksimal 10%. Begitu juga dengan investor besar David Herro dari Harris Associates yang menjual sahamnya di Credit Suisse. 

Sudah jatuh, tertimpa tangga. Nasabah Credit Suisse tercatat menarik uang dari bank hingga dana keluar sebanyak 111 miliar Franc Swiss pada akhir tahun lalu. Berikut gambaran merosotnya saham Credit Suisse, dirangkum dalam Databoks:

  

“Kalau bank segede itu rontok, mungkin ada bank kita yang berhubungan dengan dia. Inilah yang harus kita khawatirkan dan harus jaga. Kondisi bank sedang sulit, tapi regulator pun harus siap dengan senjata. Kalau rumor tidak bisa dijaga, bagaimana?” kata Doddy. 

Credit Suisse (123rf)

Bagaimana Pengaruhnya di Startup?

Runtuhnya bank-bank di AS menginfeksi ke beberapa negara. Salah satu bank terbesar Swiss, Credit Suisse, nyaris bangkrut lantaran nasabah besar menarik uangnya dari bank tersebut hingga sahamnya anjlok.

Reuters mencatat, bank berusia 167 tahun ini sudah kehilangan lebih dari 75% nilai sahamnya selama 12 bulan belakangan. Credit Suisse akhirnya bisa selamat setelah kompetitornya, UBS, sepakat melakukan akuisisi. 

Korban lainnya adalah 60 startup di India yang didukung Y Combinator dengan total dana US$ 250 ribu, terjebak di Silicon Valley Bank. Lusinan startup India yang didukung oleh YC, Accel, Sequoia India, Lightspeed, SoftBank, dan Bessemer Venture Partners terhubung dengan SVB.

Katadata.co.id mengonfirmasi dampak kolapsnya SVB ini pada beberapa VC. Mereka masih mempelajari dampaknya.

Di sisi lain, Golden Gate Ventures selaku VC yang mendanai startup di kawasan Asia Tenggara mengonfirmasi adanya dana yang diletakkan VC di Asia pada SVB. Namun, perusahaan hanya menaruh kurang dari 1% dana di bank yang kolaps tersebut.

“Biasanya modal ventura memiliki dana minimal di rekening bank. Kami lebih suka menjalankannya dengan berinvestasi atau menyerahkannya kepada mitra terbatas alias limited private,” tulis mitra pendiri Golden Gate Ventures, Vinnie Lauria di LinkedIn pada 11 Maret lalu.

Kendati demikian, ia tetap menyarankan agar pendiri startup di Asia memberitahu investor mereka, apakah perusahaan terdampak atau tidak. Kemudian, startup bisa mengukur sentimen pasar untuk penggalangan dana di masa mendatang. 

Reporter: Amelia Yesidora