- Banyak penerima KIP Kuliah yang tidak tepat sasaran karena mekanisme verifikasi dan seleksi penerima yang belum tepat.
- Kurangnya transparansi mekanisme pengelolaan dan pendistribusian kuota di tingkat perguruan tinggi sebagai lembaga pengelola.
- Skema baru belum menjawab persoalan, berpotensi menimbulkan kesenjangan baru dan dianggap belum mencetak ahli
Sebanyak 44.928 siswa pendaftar Kartu Indonesia Pintar atau KIP Kuliah dinyatakan lolos Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP) 2023 dari total pendaftar KIP Kuliah tahun 2023 jalur SNBP sebanyak 191.827 orang. Selain melalui jalur SNBP, KIP Kuliah juga menerima siswa yang melalui seleksi lainnya seperti Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) pada Seleksi Nasional Berbasis Tes (UTBK-SNBT) yang telah dibuka pada 23 Maret hingga 14 April 2023.
Tahun ini, pemerintah menyediakan anggaran sebesar Rp 233,9 triliun untuk Program Indonesia Pintar (PIP) dan KIP Kuliah. Anggaran itu akan dialokasikan untuk 20,1 juta siswa dan 976,8 ribu mahasiswa.
Putra, bukan nama sebenarnya, mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Lampung, merasa gemas. "Banyak teman saya menerima KIP Kuliah tetapi mereka mampu membeli laptop mahal, handphone mahal, dan bisa liburan keluar kota tanpa harus bekerja paruh waktu karena ternyata berasal dari golongan mampu sekali," kata dia laki-laki berusia 19 tahun tiu.
Putra merupakan penerima KIP Kuliah 2020. Keluarganya terdaftar sebagai penerima Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan Program Keluarga Harapan (PKH). Ayahnya tak lagi dapat bekerja, sementara ibunya bekerja sebagai buruh harian lepas di perkebunan kopi.
Bantuan biaya hidup yang ia terima untuk menyewa kosan. Lalu, untuk memenuhi biaya sehari-hari dan aneka kebutuhan perkuliahan yang tak ditanggung KIP Kuliah, ia bekerja paruh waktu sebagai penjaga kafe.
Nada kesal serupa banyak ditemui di media sosial menyusul pengumuman pembukaan KIP Kuliah 2023 beberapa waktu lalu. Warganet ramai-ramai mengeluhkan mahasiswa penerima KIP Kuliah yang menunjukkan gaya hidup mewah seperti menggunakan iPhone 14, hingga rajin memburu konser yang harga tiketnya jutaan rupiah.
KIP Kuliah Merdeka dulunya merupakan beasiswa Bidikmisi yang berubah nama pada 2020. Program ini merupakan pelaksanaan kewajiban pemerintah untuk meningkatkan akses dan kesempatan belajar di perguruan tinggi, khususnya bagi masyarakat miskin yang dimandatkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Program ini merupakan salah satu program Program Indonesia Pintar (PIP) di bawah naungan Kenenterian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek). Penerima program ini harus terdaftar dulu dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial/Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (DTKS/P3KE).
Padahal, data DTKS sangat rawan bermasalah. Pada Januari lalu, Kementerian Sosial mencoret 10.249 keluarga yang terdaftar dalam DTKS. Sebelumnya, pada 2021 Kemensos mencoret 21 juta data penerima bansos dalam DTKS yang bermasalah.
Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono juga melakukan aksi coret-coret DTKS. Ia mencoret 1,1 juta penerima yang tidak layak masuk dalam DTKS. "Memang tidak patut mendapatkan bantuan karena punya mobil dan lainnya," kata dia dikutip dari Antara pada Rabu (22/02).
Menuntut Transparansi Mekanisme Pengelolaan
Koordinator isu pendidikan tinggi Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (Aliansi BEM SI) Chairul Soleh mengatakan ketidak-tepatan penerima KIP Kuliah sudah menjadi rahasia umum. "Salah satunya karena mengandalkan DTKS yang banyak bermasalah," kata dia.
Ia berpendapat sebaiknya data penerima PKH yang menjadi acuan utama. Sebab, PKH merupakan program pengentasan kemiskinan yang telah melalui verifikasi ketat dan memiliki pendamping di setiap kecamatan.
Pada 2020, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan dana bantuan PIP sebesar Rp 2,86 triliun kepada 5.364.986 penerima tidak tepat sasaran. Sementara itu, ada 2.455.174 siswa yang terdaftar dalam PKH justru tidak menerima bantuan tersebut.
Pada 2021, BPK lagi-lagi menemukan persoalan dalam PIP, khususnya KIP Kuliah. Persoalan itu antara lain belum adanya mekanisme penggunaan biaya pengelolaan untuk proses verifikasi, penggunaan dana kelolaan yang dianggap tak akuntabel sebesar Rp10 miliar.
Terdapat pula kekurangan penerimaan sisa dana kelolaan sehingga menimbulkan risiko penyalahgunaan sebesar Rp196,9 juta. Lalu, BPK menemukan adanya pemborosan penggunaan dana kelolaan KIP-Kuliah sebesar Rp 777,500 juta.
Auditor negara itu menyebut akar masalanya adalah Puslapdik yang belum melakukan monitoring dan evaluasi secara memadai atas dana kelolaan KIP Kuliah. Selain itu, pengelola di tingkat lembaga perguruan tinggi tidak tertib melaksanakan pelaporan dana kelolaan KIP Kuliah.
Dalam pengelolaan KIP Kuliah, perguruan tinggi merupakan pengelola jaminan biaya kuliah. Jaminan biaya pendidikan yang diberikan oleh Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan Kemdikbudristek akan diberikan langsung ke rekening perguruan tinggi.
Mekanismenya, biaya pendidikan diusulkan oleh peguruan tinggi kepada Puslapdik berdasarkan rata-rata besaran biaya pendidikan mahasiswa non-KIP Kuliah Merdeka di masing-masing program studi pada tahun akademik yang sama. Selain itu, perguruan tinggi memiliki wewenang untuk melakukan seleksi dan menetapkan penerima KIP Kuliah.
Chairul juga mengkritisi mekanisme pengelolaan di seluruh perguruan tinggi yang tak transparan. Mulai dari pendistribusian kuota, verifikasi data, hingga saluran pengaduan jika ditemukan ada penerima yang tak tepat, mahasiswa tidak mengetahui proses ini. "Pun ketika terjadi kekosongan setelah pendistribusian karena penerima tidak layak atau tidak melanjutkan kuliah atau meninggal, mekanisme penggantiannya tidak clear," kata dia.
Selain itu, persoalan kuota masih menjadi ganjalan. penetapan besaran kuota penerimaan KIP Kuliah, menurut Puslapdik, menjadi wewenang perguruan tinggi. "Penetapan kuota ini juga tidak clear apa yang menjadi pertimbangannya," kata Chairul.
Tahun lalu, ia memantau, perguruan tinggi yang memiliki kuota mahasiswa penerima KIP Kuliah di angka 20% dari seluruh mahasiswa yang diterima di perguruan tinggi itu masih minim. Dari jumlah itu, ia meyakini ada 'kebocoran' karena masih diperbolehkannya menggunakan surat keterangan tidak mampu yang rawan disalahgunakan.
Ia mencatat di salah satu perguruan tinggi di Lampung pada tahun ini, hanya 20 mahasiswa penerima KIP Kuliah yang betul-betul berasal dari keluarga miskin yang dibuktikan dari PKH.
Menurut dia, sebaiknya pemerintah menetapkan batasan minimal dan maksimal kuota yang jelas bagi setiap perguruan tinggi. Serta memperbaiki sistem verifikasi untuk calon penerima.
Skema Baru tak Luput Kritik
Pada tahun ini, pemerintah menerapkan skema baru bagi penerima KIP Kuliah. Dalam skema baru tersebut, penerima KIP Kuliah terbagi ke dalam dua kluster atau skema.
Skema pertama, mahasiswa akan mendapatkan manfaat biaya kuliah secara penuh dan mendapatkan tunjangan biaya hidup. Sementara mahasiswa yang masuk dalam skema kedua hanya menerima manfaat biaya kuliah saja, tanpa mendapatkan tunjangan biaya hidup.
Aturan ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, bahkan berbeda dari Bidikmisi yang menjadi cikal-bakal KIP Kuliah. Dalam aturan sebelumnya, seluruh mahasiswa penerima KIP Kuliah menerima manfaat biaya kuliah secara penuh yang ditambah dengan tunjangan biaya hidup.
Skema baru ini tertuang dalam Pedoman Pendaftaran KIP Kuliah Merdeka 2023 yang dikeluarkan oleh Puslapdik Kemdikbud. Dalam pedoman disebutkan ada dua skema penerima KIP Kuliah 2023 dengan menekankan pada keterpilihan penerima yang mendapatkan manfaat biaya kuliah sekaligus biaya hidup.
Yang menjadi catatan dalam pedoman tersebut adalah pemberian skema 1 dan 2 ditetapkan dengan mengacu pada kuota penerimaan masing-masing perguruan tinggi. Adapun penerima skema 1 adalah mahasiswa yang masuk dalam kategori termiskin yang dibuktikan dengan terdaftarnya calon penerima dalam DTKS/P3KE.
Menurut Chairul, skema baru yang diusung pemerintah bagi penerima KIP Kuliah 2023 membuat KIP Kuliah menjauh dari cita-cita luhurnya. "Penerima KIP Kuliah, baik skema 1 dan 2, merupakan mahasiswa yang berasal dari keluarga prasejahtera. Seharusnya mereka mendapatkan perlakuan yang sama."
Chairul menyinggung ihwal KIP Kuliah yang merupakan transformasi dari Bidikmisi. "Ini program pemerintah untuk membantu agar siswa dari keluarga miskin bisa mengakses pendidikan tinggi dengan layak. Seharusnya tak ada perlakuan perbedaan karena akan menimbulkan kesenjangan," kata dia.
Ia mengatakan mahasiswa dari keluarga miskin yang hanya mendapatkan bantuan biaya kuliah akan tetap kesulitan meneruskan kuliah. Di tengah naiknya angka kemiskinan, kata dia, KIP Kuliah seharusnya dioptimalkan untuk membuat siswa miskin benar-benar dapat kuliah dengan layak dan tenang.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin pada September 2022 sebesar 26,36 juta orang, meningkat 0,20 juta orang terhadap Maret 2022. Dari angka itu, terdapat peningkatan penduduk miskin perkotaan sebesar 0,16 juta orang, dari 11,82 juta orang pada Maret 2022 menjadi 11,98 juta orang pada September 2022.
Pada periode yang sama, jumlah penduduk miskin pedesaan meningkat sebanyak 0,04 juta orang dari 14,34 juta orang pada Maret 2022 menjadi 14,38 juta orang pada September 2022. Presiden Joko Widodo dalam Rapat Koordinasi Nasional Kepala Daerah dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah se-Indonesia di Bogor, Jawa Barat, pada Selasa (17/01) menyebutkan angka kemiskinan di 14 provinsi masih di atas rata-rata nasional.
Chairul menyebut, perbedaan skema ini menjadi polemik baru karena tak ada kejelasan seleksi, verifikasi, distribusi kuota per skema, hingga penetapan siswa yang berhak mendapatkan pembiayaan penuh. "Jangan yang miskin tak mendapatkan haknya secara penuh, tetapi yang mampu malah mendapatkan bantuan penuh," kata dia.
Dengan tak optimalnya KIP Kuliah, turut berpengaruh pada angka partisipasi perguruan tinggi di Indonesia. Sesuai data Bank Dunia tahun 2020, APK pendidikan tinggi di Singapura mencapai 91%, Thailand 49%, dan Malaysia 43%. Sementara angka partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia pada 2021 baru mencapai 31,49% dan di angka 39,37% pada 2022.
Pemborosan yang tak Mencetak Ahli
Pengamat pendidikan Indra Charismadji mengatakan KIP Kuliah merupakan program bansos yang tak didesain untuk mencetak ahli sejak awal. "Seharusnya program ini tidak sebatas untuk memperluas kesempatan kuliah kepada mahasiswa miskin yang mampu secara akademik saja, tetapi harus digunakan untuk mencetak ahli," kata dia.
Menurut dia, ada kerugian yang ditanggung oleh kedua belah pihak dalam program ini. Kerugian dari pemberi beasiswa, yaitu pemerintah, adalah tak optimalnya bantuan untuk menyiapkan ahli yang diperlukan untuk pembangunan di berbagai aspek.
Sementara itu dari sisi penerima, kata dia, mahasiswa yang tak memiliki keahlian yang mumpuni akan terlunta-lunta dan malah menjadi beban baru dengan menambah jumlah pengangguran. "Dengan desain yang tidak jelas, yang penting kuliah, manfaat bagi penerima akan minim juga pada akhirnya," kata dia.
Indra mengatakan KIP Kuliah masih dapat dioptimalkan untuk menciptakan ahli dengan membenahi mekanisme penerimaan, seleksi dan verifikasi yang ketat seperti yang dilakukan pada seleksi beasiswa bergengsi umumnya, hingga membenahi cetak biru program studi untuk penerimannya. "Dengan begitu mahasiswa dari golongan miskin akan bertransformasi menjadi para ahli yang dibutuhkan oleh negeri ini," kata dia.
Kami telah menghubungi Kepala Puslapdik Abdul Kahar dan Pelaksana tugas (Plt.) Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Anang Ristanto untuk mengkonfirmasi. Namun hingga tulisan ini diturunkan, belum ada jawaban.