- Pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, termasuk Sirkuit Mandalika, menanggung utang sebesar Rp 4,6 triliun.
- Hingga kini tak ada kejelasan mengenai pembayaran atas pembebasan lahan untuk pengerjaan KEK Mandalika.
- Kerugian demi kerugian dan tumpukan utang menunjukkan KEK Mandalika tidak didesain dengan baik untuk kegiatan pariwisata.
Hajatan balap motor World Superbike alias WSBK yang digelar di Sirkuit Mandalika, Nusa Tenggara Barat, menyisakan beragam persoalan. Perhelatan itu menyebabkan kerugian Rp 100 miliar. Sedangkan ajang MotoGP yang digelar pada 2022 lalu di lokasi yang sama membukukan kerugian Rp 50 miliar.
Akibatnya, holding BUMN Industri Aviasi dan Pariwisata Indonesia InJourney berencana membatalkan balapan WSBK di Mandalika untuk menyehatkan Mandalika Grand Prix Association. Unit usaha ITDC ini memiliki bisnis utama mengelola dan mengoperasikan Mandalika International Street Circuit.
Alasan Merugi Meski Dipadati Penonton
Direktur Utama InJourney Dony Oskaria mengatakan penyelenggaraan WSBK merugi karena tak mendapatkan sponsor yang memadai. "WSBK itu sebetulnya event-nya tidak menarik secara sponsorship," kata dia dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI, Rabu lalu (14/6).
Lalu, MotoGP yang merupakan ajang balapan paling bergengsi di dunia disebut merugi karena pemasukan dari iklan tak sebanding dengan biaya operasional yang dikeluarkan. "Kami sedang mencari upaya untuk mendapatkan tambahan sponsorship untuk menutupi gap ini," ucap Dony.
Padahal, menurut keterangan resmi dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, jumlah penonton WSBK pada 2021 mencapai 20 ribu penonton. Pada 2022, angkanya meningkat drastis menjadi 51.629 ribu penonton.
Jumlah penonton itu melampaui target yang diberikan sebesar 45 ribu penonton. Bahkan sempat disebut-sebut melampaui rekor WSBK Inggris yang hanya dipadati 42 ribu penonton di Donington Park.
Pada perhelatan 2023, jumlah penonton tercatat 59.251 penonton, melampaui pencapaian pada tahun sebelumnya. Meski jumlah penonton membludak, hasil dari penjualan tiket tak cukup untuk membayar seluruh utang untuk membangun kawasan Mandalika.
Secara keseluruhan, pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika termasuk Sirkuit Mandalika di dalamnya, menanggung utang sebesar Rp 4,6 triliun. Utang itu terbagi menjadi utang jangka pendek sebesar Rp 1,2 triliun dan jangka panjang sebesar Rp 3,4 triliun.
Kerugian dari dua ajang balapan motor kelas dunia itu menambah berat upaya InJourney untuk membayar kewajiban pembayaran utang jangka pendek.
Untuk memenuhi kewajiban itu, InJourney, melalui PT Pengembangan Pariwisata Indonesia atau Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC), meminta Penyertaan Modal Negara alias PMN kepada pemerintah sebesar Rp 1,19 triliun. Sebesar Rp 1,05 triliun di antaranya akan digunakan untuk membayar utang kawasan termasuk utang pembangunan sirkuit balap Mandalika.
Berselang sehari dari RDP itu, Komisi IV DPR menyetujui pemberian PMN sebesar Rp 1,19 triliun kepada InJourney melalui ITDC. Anggarannya bersumber dari alokasi cadangan pembiayaan investasi APBN tahun anggaran 2023.
Dalam media sosial, Menteri BUMN Erick Thohir menyebutkan pembangunan itu merupakan proyek jangka panjang untuk menumbuhkan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja dengan menjadikan Mandalika sebagai destinasi wisata lokal dan internasional. "Jangan sekonyong-konyong, oh ini Rp 4,6 triliun pemborosan," kata dia.
Tambahan modal dari negara untuk proyek Mandalika bukan yang pertama bagi ITDC. Sebelumnya, ITDC pernah mendapatkan PMN pada 2015 sebesar Rp 250 miliar untuk pengembangan Mandalika. PMN diberikan lagi pada Desember 2020 sebesar Rp 500 miliar untuk membangun fasilitas dasar dan penunjang seperti drainase, pekerjaan tanah, perkerasan non aspal, perkerasan aspal, pekerjaan struktur dan landscape.
Dana PMN yang diterima pada Desember 2020 itu bersumber dari APBN tahun anggaran 2020 dan merupakan bagian dari program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk sektor pariwisata. Jika ditotal sejak 2015, ITDC sudah mendapatkan PMN sebesar Rp 1,9 triliun, nyaris menyentuh angka Rp 2 triliun.
Temuan Lain dari BPK
Untuk mengawal pembangunan KEK Mandalika dan Nusa Dua, Badan Pemeriksa Keuangan melakukan pemeriksaan kinerja atas kegiatan pengembangan dan pemasaran kawasan pariwisata tahun buku 2019, 2020, dan 2021 (hingga triwulan III).
Dalam hasil audit tersebut, BPK menemukan sejumlah permasalahan, khususnya penanganan permasalahan lahan. Menurut auditor negara itu, seperti dikutip dari Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I 2022, PT Pengembangan Pariwisata Indonesia (Persero) atau PPI belum menetapkan tim lahan yang bertugas untuk menyelesaikan persoalan lahan untuk kegiatan investasi.
Selain itu, PPI belum menyusun prosedur standar yang dapat digunakan tim lahan untuk menangani lahan enclave, klaim maupun penguasaan pada lahan berstatus hak penggunaan lahan (HPL).
PPI juga disebutkan belum menyelesaikan pembebasan lahan enclave di zona tengah dan timur, termasuk lahan penetapan lokasi 2 yang dibebaskan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Target waktu pembebasan lahan pada 2021.
Tak cuma itu, persoalan lainnya yang ditemukan BPK adalah PPI belum menyelesaikan klaim dan penguasaan oleh masyarakat pada lahan HPL untuk kegiatan investasi pembangunan infrastruktur, pembangunan lot, dan lot yang akan dipasarkan dan lahan berperkara eks PT Pembangunan Pariwisata Lombok (PT PPL).
Menurut BPK, klaim yang belum diselesaikan itu dapat menghambat kemajuan dan pengembangan lot-lot yang dikerjasamakan dengan investor di kawasan Mandalika. Selain itu, persoalan tersebut juga dapat mengganggu efektivitas pengembangan dan pemasaran kawasan Mandalika.
Sesuai catatan BPK, komposisi penguasaan lahan di dalam delineasi kawasan pariwisata Mandalika seluas 1.250 hektare. Luasan itu meliputi lahan yang diklaim milik PT PPI seluas 1.172,78 ha; lahan enclave yang dibebaskan oleh Kemenparekraf seluas 6,53 ha; lahan berperkara sesuai SK BPN seluas 15,33 ha; serta lahan enclave yang dimiliki masyarakat seluas 51,65 ha yang belum dibebaskan oleh PT PPI (Persero).
Sejarah Pahit Mandalika
Pegiat dari Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia Harry Sandy Ame menjelaskan hingga kini tak ada kejelasan mengenai pembayaran atas pembebasan lahan untuk pengerjaan KEK Mandalika. Menurut dia, polemik lahan di Mandalika berlangsung sejak akhir 1980-an, bersamaan dengan rencana pembangunan bandara di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Awalnya, menurut Harry yang juga merupakan peneliti di Lembaga Studi dan Bantuan Hukum NTB, warga sekitar Mandalika mulai menggarap lahan pada medio 1950-an. Kemudian mendapatkan Surat Izin Menggarap pada 1964 dan 1967.
Surat itu menjadi salah satu bentuk pelaksanaan reforma agraria untuk menjamin perlindungan hak atas tanah. "Ini layaknya sertifikat ketika reforma agraria jilid satu dimulai di Indonesia," kata dia.
Adapun berdasarkan penelusuran, keberadaan Surat Izin Menggarap atau SIM tersebut dalam kerangka land reform atau reformasi agraria dikaitkan dengan PP 224/1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.
Dalam pelaksanaan land reform disebutkan, tanah negara yang telah ditetapkan sebagai objek redistribusi, terlebih dahulu diberikan izin menggarap sebelum ditingkatkan menjadi hak milik. Setelah tanah ditetapkan sebagai objek redistribusi, bupati atau kepala daerah yang bertugas melaksanakan land reform wajib menerbitkan SIM kepada penerima redistribusi tersebut.
Pada salah satu Surat Keputusan Gubernur Tahun 1976 disebutkan SIM dikeluarkan oleh kepala daerah yang sifatnya sementara sambil menunggu realisasi redistribusi pelaksanaan land reform. Penerima SIM wajib membayar kepada negara sebesar sepertiga dari hasil panen atau uang sebesar jumlah itu, yang saat ini berupa pajak.
Kemudian, kata Harry, setelah diberikan SIM, hampir semua lahan terintegrasi dengan program pemerintah seperti penanaman kelapa, kedelai dan jarak. Sialnya, rencana pembangunan bandara pada awal 1990-an membuat masyarakat yang telah mengantongi SIM selama puluhan tahun dan dijanjikan akan mendapatkan hak milik atas tanah garapan itu, tak boleh membuat sertifikat tanah.
Alih-alih sertifikat, masyarakat justru digusur. "Yang pertama kali menggusur adalah PT Rajawali, perusahaan milik anak Presiden Soeharto. Perusahaan ini menggandeng Pemerintah Provinsi NTB melalui perjanjian kerja sama pada 3 Mei 1989 untuk melakukan pembebasan pada 11 November 1991 dengan luas 600 hektare," kata dia.
Saat itu, aparat militer juga dikerahkan untuk mengintimidasi masyarakat agar menyerahkan lahannya. "Bahasa mereka, kalau terima pembayaran akan dapat duit, kalau tidak terima pun percuma karena tetap akan diusir dan tidak akan mendapatkan apa-apa," ujar Harry.
Dari sini persoalan bermula. Pembayaran dilakukan serampangan, bahkan sebagian besar masyarakat hanya menerima televisi yang dihitung sebagai uang muka. Nilai tanah yang dibebaskan seharusnya sebear Rp 150 hingga Rp 200 per are. Namun, tidak ada satu pun pembayaran yang lunas.
Ketika diambil alih oleh PT Lombok Tourism Development Corporation (LTDC), seluruh dokumen tanah turut diambil beserta Akta Pelepasan Hak Atas Tanah yang menerangkan pemilik lahan telah menjual seluruh lahan. Buktinya adalah kuitansi uang muka yang dibayarkan kepada pemilik lahan.
Saat itu, LTDC tidak berupaya melakukan pelunasan atas pembebasan lahan tersebut. Perusahaan malah menambah area pembebasan lahan seluas 650 hektare. Sehingga total wilayah yang dikuasai adalah 1.250 hektare.
Ketika terjadi krisis moneter 1997, seluruh aset LTDC yang dihitung sebagai bagian dari Grup Rajawali, diambil alih oleh BPPN (Badan Penyangga Perbankan Nasional) karena memiliki kredit macet sebesar Rp 1,3 triliun. Pendiri Grup Rajawali adalah taipan Peter Sondakh.
Sekitar 2014, kata Harry, Mandalika ditetapkan sebagai KEK lewat Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2014. Di tahun itu pula, lahan yang jadi agunan kredit macet tersebut diserahkan ke BUMN bernama BTDC (Bali Tourism Development Corporation) yang kemudian menjadi ITDC (Indonesia Tourism Development Corporation).
Tiga tahun setelah itu, The Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) berkomitmen berinvestasi di KEK Mandalika sebesar US$ 248,4 juta. Penggusuran tak terelakkan, terutama di lahan warga seluas 650 hektare. "Masyarakat cuma diberi uang kerohiman dan tali asih, besarnya Rp 4 juta dan Rp 2 juta per kepemilikan, tanpa menghitung luasan lahan yang dimiliki warga Kuta Mandalika," kata dia.
Dalam beberapa jilid penggusuran tersebut, selain diintimidasi, masyarakat juga dikriminalisasi seperti yang dialami Papu (kakek) Sukril. "Dia ditangkap, lalu dipenjara sekitar tiga bulan karena mencabut plang ITDC yang ditancapkan persis di depan pintu rumah sehingga menghalangi aktivitasnya sekeluarga," kata Harry.
Selain dipenjara, rumahnya juga dibakar kemudian dirubuhkan. Bekas rumahnya berada di bawah tribun VVIP yang memiliki tanda papan Pertamina. Lalu, area pemakaman dibongkar dan sekarang menjadi lintasan sirkuit.
Cerminan Pembangunan Pariwisata yang Gegabah
Menurut pakar pariwisata Azril Azahari, kerugian demi kerugian serta tumpukan utang yang diselesaikan melalui PMN itu menunjukkan KEK Mandalika tidak didesain dengan baik untuk kegiatan pariwisata.
Azril yang merupakan Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia mengatakan sejak awal tak ada master plan yang jelas mengenai pembangunan pariwisata di Indonesia, terutama Mandalika.
"Terlihat dari ujug-ujug ditetapkan 10 destinasi wisata prioritas kemudian lima destinasi super prioritas. Ini dari mana asalnya, apakah ada kajiannya, apakah ada master plan yang dirancang. Kalau ada, bagaimana cara agar publik bisa melihat dan urun rembug?"
Selain itu, ia menyebutkan ada cara pandang yang keliru dari pemerintah saat memandang pariwisata karena masih mengacu pada mass tourism. Padahal, Organisasi Pariwisata Dunia atau UNWTO telah menyerukan untuk mengimplementasikan community based tourism (CBT). Ini adalah metode pariwisata berbasis masyarakat yang mengedepankan keberlanjutan lingkungan, sosial dan budaya.
Pria yang menjadi pelopor perkembangan Ilmu Pariwisata di Indonesia itu menyebutkan, pembangunan KEK Mandalika melanggar berbagai hal. Pertama, tak sepatutnya pembangunan pariwisata dilakukan dengan mengalienasi masyarakat lokal dan intimidatif.
Dalam konsep CBT, masyarakat lokal diperlakukan sebagai aktor aktif yang harus diakui perannya dan dilibatkan sejak dalam aspek perencanaan pariwisata. "Sementara Mandalika adalah proyek mercusuar tanpa ada pelibatan masyarakat, tanpa kajian yang jelas mengenai multiplier effect-nya, terutama bagi masyarakat lokal," kata dia.
Kedua, menggunakan PMN untuk membayar utang akibat pembangunan kepariwisataan yang tak didasari master plan sejak awal merupakan kekeliruan besar. "Selayaknya PMN berasal dari cadangan penyediaan investasi APBN yang hanya boleh digunakan untuk capital expenditure agar mampu meng-generate profit," kata dia.
Azril mengatakan jika ITDC mengalami kerugian, sudah sepatutnya dipailitkan dan diperiksa keuangannya. "Masa kerugian BUMN karena kesalahan dia sendiri dibebankan kepada seluruh rakyat Indonesia?"
Pembangunan pariwisata KEK Mandalika terkesan hanya untuk mengejar sponsorship dan investor serta memiliki profil memaksimalkan profit bagi para investornya. Sebab itu, kata dia, tak heran jika merugi dan sangat berkebalikan dari roh CBT.
Untuk itu, ia berharap pemerintah segera membenahi benang kusut kepariwisataan di Mandalika melakukan evaluasi menyeluruh, secara saintifik. "Gunakan ilmu dalam kepariwisataan. Saat ini pariwisata sudah menjadi ilmu mandiri, sebelum menentukan arah kebijakannya," kata dia
Adapun yang harus dievaluasi menurut Azril adalah kalkulasi multiplier effect, perhitungan dari feasibility study yang dilakukan, perhitungan return on investment, hingga perhitungan physical capacity agar tidak terjadi kerusakan. "Jangan lupa untuk evaluasi destination management organization (DMO)," kata dia.