Bank Investasi Cina Mengincar Pasar Indonesia

Katadata/ M Yana/AI
Bank investasi terbesar di Cina, CICC, berencana ekspansi ke pasar Indonesia.
Penulis: Hari Widowati
24/7/2024, 14.59 WIB

Perbankan Indonesia bakal kedatangan pendatang baru. Bank investasi terbesar asal Cina, China International Capital Corp (CICC), telah menetapkan Indonesia sebagai salah satu tujuan ekspansinya di Asia Tenggara.

CICC mencari pasar baru lantaran aktivitas transaksi lokal berjalan lambat. Meningkatnya tensi geopolitik dan melemahnya ekonomi Tiongkok membuat aktivitas transaksi penggalangan dana di Hong Kong dan Cina lesu.

Riset KPMG berjudul "Chinese Mainland and Hong Kong IPO Markets: 2024 Mid-year Review" menunjukkan nilai penggalangan dana dari penawaran umum perdana saham seri A di bursa-bursa Cina turun 75% secara tahunan menjadi 56,5 miliar yuan (Rp 125,85 triliun) pada semester I 2024. Sementara itu, jumlah perusahaan yang melaksanakan IPO turun 70% menjadi 52 perusahaan.

Pasar IPO di Hong Kong juga mencatat penurunan walaupun tidak sedalam di Cina daratan. Pada semester I tahun ini, nilai penggalangan dana IPO di Hong Kong mencapai HKD 11,6 miliar (Rp 24,07 triliun), turun 35% secara tahunan. Adapun jumlah perusahaan yang melaksanakan IPO turun 15% menjadi 27 perusahaan.

Tentu saja penurunan aktivitas penggalangan dana di Cina daratan dan Hong Kong ini berpengaruh pada bisnis CICC. Sekadar gambaran, 74% pendapatan bank ini pada 2023 disumbangkan oleh operasinya di dalam negeri sedangkan bisnis di luar negeri berkontribusi sebesar 26%.

Kondisi ini berlawanan dengan pasar Indonesia. Pada 2023, Indonesia menjadi jawara untuk pencatatan umum perdana saham di kawasan Asia Tenggara dan Hong Kong dengan kontribusi 51%. Nilai IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun lalu mencapai US$3,55 miliar atau sekitar Rp 55,87 triliun dari 79 perusahaan.

Namun, pelaksanaan IPO di Indonesia hingga semester I tahun ini melambat menjadi hanya 25 perusahaan dengan nilai penggalangan dana Rp 4,07 triliun. Deloitte memprediksi kondisi ini terjadi karena investor masih wait and see (menunggu) kebijakan dari pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

Mengapa Indonesia Jadi Target Ekspansi CICC?

Bank investasi yang didirikan pada 1995 ini sudah memiliki kantor cabang di tujuh pusat keuangan global, antara lain di Hong Kong, New York, London, dan Singapura. Menurut laporan Reuters, CICC membuka kantor perwakilan di Vietnam untuk memperluas jangkauannya di Asia Tenggara pada Juni lalu.

Di pasar-pasar utamanya di Cina dan Hong Kong, CICC telah mengurangi gaji para bankir dan mempertimbangkan untuk mengurangi jumlah tenaga kerja. Laba dan harga saham bank investasi ini juga turun secara signifikan.

Bank-bank investasi Tiongkok lainnya juga terkena dampak yang sama, sehingga mendorong bank-bank asal Cina ini untuk mengejar prospek komersial di pasar-pasar Asia Pasifik lainnya.

   

Asia Tenggara memiliki prospek yang cerah berkat pertumbuhan ekonomi kawasan ini, populasi yang muda dan berketerampilan tinggi, serta infrastruktur yang terus berkembang. Dalam beberapa tahun terakhir, Asia Tenggara telah menjadi pusat investasi dunia.

CICC juga melihat potensi besar dalam pendanaan swasta untuk perusahaan-perusahaan startup digital, termasuk yang sudah berstatus unicorn di Asia Tenggara. Hal ini tidak lepas dari peran kedua pemegang sahamnya, raksasa teknologi di Cina yakni Tencent dan Alibaba, yang gencar berinvestasi di startup digital.

Bank investasi tertua di Cina ini juga membidik potensi peningkatan investasi lintas batas dari perusahaan-perusahaan Tiongkok. Sektor yang dibidik bank beraset Rp 1.276 triliun ini terutama sektor konsumen, teknologi, media, telekomunikasi, fintech, logistik, dan kendaraan listrik.

 

Seperti diketahui, dalam beberapa tahun terakhir Indonesia gencar mendorong investasi kendaraan listrik dari produsen otomotif Cina. Nama-nama besar seperti Wuling dan BYD bahkan sudah membangun pabrik di sini.

Selain di sektor kendaraan listrik, perusahaan-perusahaan Cina juga gencar berinvestasi di sektor hilirisasi mineral, dengan membangun smelter. Ini berarti peluang yang besar bagi bank-bank asal Cina untuk masuk dan menawarkan pembiayaan bagi perusahaan-perusahaan Tiongkok yang ingin berinvestasi di Indonesia.

Selain menyediakan pembiayaan, bank-bank negeri Panda ini bisa menawarkan jasa sebagai penasihat keuangan untuk transaksi merger atau akuisisi, serta menjadi arranger untuk kredit sindikasi.

Perlu Siapkan Modal Inti Minimal Rp 10 Triliun

Meski kabar rencana masuknya CICC ke Indonesia santer terdengar, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan belum menerima permohonan resmi dari CICC untuk membuka kantor perwakilan di Indonesia. OJK juga baru mendengar informasi tersebut dari pemberitaan media asing.

"Berdasarkan informasi yang kami miliki belum terdapat permohonan atau pernyataan resmi dari CICC kepada OJK mengenai rencana ekspansi pembukaan kantor di Indonesia," ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae kepada Katadata.co.id, Selasa (23/7).

Dian menjelaskan, pembukaan Kantor Cabang Bank Luar Negeri (KCBLN) merujuk pada Peraturan OJK 12/03 Tahun 2021. Aturan tersebut mengatur bahwa pendirian KCBLN itu harus berbadan hukum Indonesia. Bank tersebut juga harus menyediakan modal inti minimal Rp 10 triliun.

"Berdasarkan hasil penelitian OJK, bank dapat beroperasi secara efisien, menghasilkan laba, serta memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional jika modal inti yang dimiliki berada pada rentang Rp 10 triliun," tutur Dian.

Lima Pemegang Saham Terbesar CICC (Katadata/Ajeng)

Sementara itu, Ekonom dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Ryan Kiryanto menilai CICC melihat prospek perbankan di Indonesia yang masih dalam fase pertumbuhan sebagai daya tarik bagi investor asing. "Loan to GDP ratio atau rasio total kredit yang disalurkan terhadap PDB itu kurang lebih 35%. Jadi, ruang untuk bertumbuh masih besar," ujar Ryan kepada Katadata.co.id.

Rasio pendanaan terhadap PDB atau funding to GDP ratio Indonesia juga sekitar 40%. Yang terpenting, pendapatan bunga bersih atau net interest margin (NIM) industri perbankan RI di kisaran 4%-5%, tertinggi di ASEAN.

"Ini sejalan dengan kebijakan pemerintah, siapa pun presidennya. Ke depannya akan agresif membangun infrastruktur, manufaktur, kemudian menarik investasi. Ini termasuk proyek-proyek strategis nasional dengan segala dampak ekonominya," kata Ryan. Hal ini membuat peluang bagi bank-bank asing untuk ikut meraih cuan dengan mengucurkan pendanaan ke sektor-sektor tersebut.

Kompetisi Bakal Semakin Ketat

Masuknya bank besar asal Cina ini akan memperketat persaingan dengan bank-bank lokal maupun bank asing yang sudah lebih dulu ada di Indonesia. Kompetisi untuk memperebutkan pasar kredit bisa dipastikan bakal semakin ketat.

Akan tetapi, masuknya bank asing tidak selalu berarti negatif. Ryan menilai semakin banyak pemain-pemain yang bagus di pasar perbankan suatu negara, tingkat persaingan di pasar akan semakin sehat. "Siapa yang diuntungkan dengan masuknya asing? Konsumen. Karena kita sebagai nasabah, itu punya pilihan-pilihan," kata Ryan.

Ryan mengatakan bank asing bisa jadi akan membawa teknologi canggih maupun menawarkan produk simpanan dan fasilitas kredit yang menarik bagi nasabah. Hal itu justru bisa memberikan inspirasi bagi bank-bank lokal untuk mengadopsi teknologi atau produk yang bagus. Alhasil, persaingan menjadi lebih terbuka dan lebih sehat.

"Bank-bank lokal akan terus memperbarui dirinya, melakukan improvement agar daya saing bank-bank lokal itu tidak tertekan, tidak menurun ketika masuknya bank-bank asing tadi," tuturnya.

Dengan modal inti minimum Rp 10 triliun, bank asing seperti CICC yang membuka kantor cabang di Indonesia akan masuk dalam Kelompok Bank Berdasarkan Modal Inti (KBMI) 2. Kelompok ini memiliki kisaran modal Rp 6 triliun hingga Rp 14 triliun. Artinya, bank Cina ini nantinya akan bertarung dengan bank-bank skala menengah hingga bank skala besar.

Ryan menilai, bank-bank lokal justru bisa mengambil keuntungan dengan menjadikan bank asing ini sebagai mitra kerja. Jadi, ujung-ujungnya tidak selalu harus bersaing.

"Tidak ada kerugiannya bank asing masuk ke Indonesia. Yang penting dia masuk, dia ikut membiayai pembangunan ekonomi di Indonesia," ujar dia.

Perbankan Indonesia sudah menganut prinsip globalisasi sehingga bank asing bisa ekspansi ke pasar Indonesia. Sebaliknya, sah-sah saja jika bank lokal juga membuka kantor di luar negeri.

Ryan berharap OJK nantinya memberikan arahan agar bank asing tersebut bisa ikut membiayai ekonomi produktif. "Pasti ada guidance-nya, tidak dilepas begitu saja (oleh OJK)," lanjutnya.

Reporter: Nur Hana Putri Nabila, Patricia Yashinta Desy Abigail