“Saya Butuh Menteri Eksekutor”

Ilustrator Katadata/Betaria Sarulina
Presiden RI Joko Widodo
Penulis: Redaksi
29/5/2019, 14.53 WIB

Terkait upaya meningkatkan ekspor, saat ini kita menghadapi perang dagang antara Amerika Serikat dengan Tiongkok. Bagaimana strategi pemerintah menghadapi ini?

Sebetulnya justru (bisa menjadi) peluang. Tapi kita sendiri sudah nyaman berpuluh-puluh tahun mengekspor bahan mentah. Nah itu yang mau kita balik. Sekali lagi kuncinya ada di ekspor. Karena itu, hilirisasi industri itu penting, baik setengah jadi maupun barang jadi.

Berpuluh-puluh tahun Indonesia ekspor seperti CPO (kelapa sawit) dan batubara. Kenapa kita tidak ekspor barang-barang mentah yang menjadi produk, seperti kosmetik dari minyak sawit atau sabun. Turunan (dari minyak sawit mentah) kan banyak sekali.

Kenapa tidak ekspor hasil gasifikasi batubara? Begitu juga dengan produk mentah lain seperti kopi dan nikel. Kita perlu memulai proses sehingga ekspornya (berupa) barang jadi, barang setengah jadi. Ada nilai tambah di dalam negeri. Itu untuk memperkuat neraca perdagangan kita.

Begitu juga dengan barang-barang substitusi impor, Mengapa kita harus impor produk petrokimia? Mengapa tidak kita buat industrinya di sini? Apalagi yang berkaitan dengan pertanian (produk turunan), banyak sekali, kita harus mengurai satu per satu.

Artinya nanti porsi Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian menjadi sangat penting di kabinet mendatang?

Untuk (mengatasi persoalan) industrialisasi berarti Menteri Perindustrian penting sekali. Untuk urusan ekspor nanti Menteri Ekspor atau mungkin bisa tetap seperti sekarang, berarti keberadaan Menteri Perdagangan itu penting.

Anda menginginkan sosok yang lebih cepat untuk melakukan eksekusi di kabinet. Artinya akan cukup banyak sosok-sosok muda di kabinet nanti?

Setiap periode itu butuh karakter menteri yang berbeda, sesuai dengan tantangan yang dihadapi. Sekarang ini saya melihat kita butuh eksekutor yang kuat.

Dan itu diartikan sebagai sosok muda?

Biar larinya lebih cepat daripada saya. Hahaha...

(Baca: Perubahan Kabinet, Ekonom Minta Jokowi Pilih Menteri Sesuai Strategi)

Majalah Forbes belum lama ini menyebutkan Indonesia dengan penduduk muda yang besar dan pesatnya perekonomian digital merupakan macan baru ekonomi di Asia Tenggara. Pandangan Anda?

Asal kita bisa memanfaatkan bonus demografi (besarnya penduduk usia muda dan produktif yang diperkirakan berpuncak pada 2030). Harus bisa kita manfaatkannya. Karena itu, lima tahun ke depan kita akan konsentrasi ke pembangunan kualitas SDM.

Untuk itu, kami akan lakukan beberapa hal. Pertama, reformasi pendidikan. Kedua, pelatihan pendidikan vokasi yang dilakukan secara terintegrasi sesuai kebutuhan industri. Kebutuhan dunia usaha sudah mulai kami petakan.

Bappenas sudah memetakan kebutuhan, misalnya di tekstil dan industri otomotif dalam 5-10 tahun ke depan. Begitu juga kita siapkan SDM untuk ekonomi digital.

Ini harus ada shifting strategy, ada pergeseran. Sebagian dari SDM dimasukkan ke digital economy, karena ke depan itu peluang besar kita. Jangan sampai pasar besar kita ini nanti dimanfaatkan oleh negara lain. SDM kita sendiri harus mampu mengelola ini.

Dalam wawancara kami sebelumnya, Anda menyebutkan sektor pariwisata dan industri kreatif akan mendapatkan porsi besar karena merupakan masa depan ekonomi Indonesia. Apakah masih akan menjadi fokus pemerintah?

Salah satu kekuatan kita, keindahan alam laut, pantai, gunung. Saya kira kekuatan besar memang ada di sektor pariwisata. Sehingga kami mulai memproses 10 Bali baru, dan saat ini baru (mengembangkan) empat wilayah, yakni Mandalika, Labuan Bajo, Borobudur dan Danau Toba. Sudah, fokus di empat itu saja dulu.

Konsentrasi kami pada infrastruktur, pemasaran, dan investasi, agar betul-betul konkret. Misalnya di Mandalika sudah terdapat 7 hotel, sirkuit Motor GP juga mulai dalam proses pembangunan. Kami juga membangun infrastruktur, sehingga dari Bali ke Lombok bisa juga lewat laut, tidak hanya lewat udara.

Kemudian mengintegrasikan infrastruktur dengan kawasan wisata. Infrastruktur yang kita bangun dengan kawasan ekonomi khusus, juga infrastruktur dengan kawasan industri yang ada. Ini masih dalam proses semuanya.

Tim Redaksi Katadata saat mewawancarai Presiden RI Joko Widodo, Senin (27/5/2019). (Katadata/Donang Wahyu)

Dalam pemerintahan periode kedua nanti, apakah masih akan tetap fokus pada kebijakan jangka panjang seperti infrastruktur, atau pada jangka pendek misalnya pemenuhan kebutuhan pangan dan energi?

Pembangunan infrastruktur dan SDM memang tidak bisa kita nikmati langsung, itu risiko yang saya ambil. Karena (pembangunan) ini menjadi fondasi kita menuju Indonesia Emas 2040-2045. Tanpa fondasi ini, kalau kita hanya memikirkan (kepentingan) jangka pendek, maka ini tak akan terbangun. Percaya (dengan) saya.

Infrastruktur tidak bisa return-nya kita nikmati langsung, baik secara ekonomi maupun politik. Pembangunan SDM juga membutuhkan waktu 10-15 tahun, baru terlihat (manfaatnya). Kita tidak bisa menikmati keuntungan ekonomi atau politiknya sekarang.

(Baca: Proyek Infrastruktur dan Amunisi Jokowi untuk Pilpres)

Itu risiko yang sudah saya ambil. Karena, kita ini bukan sedang membangun bisnis, tapi membangun negara. Berbeda antara kepentingan berbisnis dan bernegara. Ini sesuatu yang berbeda, sangat beda.

Misalnya bila hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi, ya kita bangun saja superkoridor ekonomi di Jawa bagian utara. Di kawasan itu sudah terdapat pelabuhan, jalanan tinggal diperbaiki sedikit-sedikit. (Pekerjaannya) lebih mudah dan lebih cepat. Tapi kan kita ini bernegara, jadi perlu memikirkan bagaimana saudara-saudara kita yang di Papua, Maluku, NTT hingga Aceh.

Apakah pada periode kedua nanti, Anda juga siap membuat kebijakan-kebijakan yang mungkin tidak populis?

Ya, karena saya sudah tidak punya beban lagi. Apa pun yang baik untuk negara ini, yang baik untuk rakyat, akan saya lakukan (katanya dengan nada tegas, sambil mengetuk-ketuk kertas yang berserak di hadapannya).

Halaman: