Presiden Joko Widodo tetap akan menerapkan kebijakan belanja yang ekspansif memasuki tahun keempat pemerintahannya pada tahun 2018. Hal itu tercermin dari nota keuangan dan Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja negara (RAPBN) 2018 yang dibacakan oleh Presiden di depan sidang paripurna DPR, Rabu (16/8) pekan lalu. Infrastruktur tetap mendapat porsi besar dalam anggaran tersebut.
Meski begitu, pemerintah juga berupaya terus menekan kemiskinan dan menjaga daya beli masyarakat dengan memperbesar dana bantuan sosial dan subsidi. Hal tersebut tentu berdampak terhadap kenaikan belanja yang berujung pada membengkaknya defisit anggaran dan harus ditutup dengan menambah utang.
"Ada implikasi kenaikan subsidi terhadap anggaran," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara kepada wartawan Katadata, Metta Dharmasaputra, Martha Ruth Thertina, dan Miftah Ardhian, usai konferensi pers RAPBN 2018 di kantor Ditjen Pajak, Jakarta, Rabu malam (16/8) pekan lalu. Berikut petikan wawancaranya seputar strategi anggaran pemerintah tahun ini dan tahun depan
Bagaimana peluang meraih pertumbuhan ekonomi 6% seperti target pemerintahan Presiden Jokowi?
Pertumbuhan ekonomi Indonesia itu mengalami tren turun sejak 2011, setelah comodity boom (lonjakan harga komoditas). Anda bayangkan kalau trennya sudah turun 5-6 tahun, usaha yang paling berat adalah mengubah tren 5-6 tahun itu.
Tren itulah yang berhasil kami ubah di 2016. Jadi, di 2015 belum berhasil di angka 4,9 persen (pertumbuhan ekonomi) tetapi di tahun 2016 berhasil naik ke angka 5,0 persen, ini trennya belok. Tren belok ini adalah momentum yang sangat besar. Kami perkirakan trennya akan naik terus tetapi dengan syarat harus benar bikin kebijakannya. Karena itulah, dari 2015 kebijakannya membangun infrastruktur.
Di samping infrastruktur harus ada proporsi yang cukup serius untuk perlindungan sosial dalam bentuk transfer, asuransi sosial, subsidi, dan lain sebagainya. Makanya, pengumuman (RAPBN 2018) yang paling baru Program Keluarga Harapan (PKH) jumlah pesertanya ditambah dari semula 6 juta menjadi 10 juta keluarga. 10 juta keluarga itu cukup besar karena sudah meliputi kelompok rumah tangga yang sedikit di atas garis kemiskinan.
Apa komponen lain dalam APBN untuk mendorong ekonomi?
Di anggaran pemerintah sejak 2-3 tahun ini sudah ada pula dana desa, yang tahun ini dianggarkan Rp 60 triliun dan tahun depan juga Rp 60 triliun. Kalau kami bandingkan dengan PKH yang sebesar Rp 17 triliun tahun depan, berarti dana desa itu tiga kali lipatnya PKH. Harusnya, dampaknya itu besar. Sekarang tinggal bagaimana kita membelanjakan uang Rp 60 triliun itu.
Sekarang kami lihat pemakaiannya, ada hasilnya enggak di desa. Ada infrastruktur tidak yang dibangun, menjadi pemberdayaan atau tidak. Ini yang mau kami pastikan terus.
Ada kenaikan subsidi energi dalam RAPBN 2018. Apakah pergeseran kebijakan subsidi energi ini terkait tahun politik pada 2018?
Memang akan ada peningkatan subsidi energi karena melihat kondisi ekonomi yang kita hadapi. Awal tahun ini, pemerintah melakukan pengurangan subsidi kepada pengguna listrik 900 VA dan naratifnya adalah kami mencoba membuat penerima subsidi 900 VA lebih tepat sasaran.
Caranya melakukan penyisiran dan memindahkan mereka yang dianggap mampu ke tarif non-subsidi. Dengan cara seperti itu, sudah berhasil dipindahkan kalau tidak salah 17-18 juta pelanggan dari tarif listrik bersubsidi.
Tapi kami juga melihat di tahun ini, kondisi ekonomi – ada yang bilang lesu, belum pulih, shifting, wait and see. Kondisi ini membuat bagaimana pemerintah yang paling penting adalah kondisi ekonominya. Karena itu, diputuskan oleh pemerintah tidak ada penyesuaian harga BBM sampai kuartal III, dan tidak ada kenaikan tarif listrik sampai akhir tahun. Di situlah kami yakin, daya beli masyarakat tidak akan tergerogoti lagi.
Apakah sudah terlihat hasil dari kebijakan itu?
Inflasi mulai turun year on year-nya (secara tahunan), kami berharap di Agustus bisa lebih turun lagi. Tapi memang di sisi lain, ada implikasi kenaikan anggaran subsidi terhadap anggaran.
Jadi, subsidinya meningkat secara angka, tetapi kondisi ekonomi dari sisi konsumsinya tidak menurun secepat yang diperkirakan orang. Malah kalau bisa konsumsinya dengan adanya income yang bisa ditabung karena tidak ada kenaikan, ditambah confidence, kami berharap konsumsi keep up (berlanjut). Jadi, mengelola anggaran itu dengan pilihan kebijakan tersebut, ada cost-nya.
Apakah tren kebijakan ini seperti mengulang masa pemerintahan Presiden SBY: turunkan subsidi di awal, lalu naikkan kembali di akhir pemerintahan?
Saya rasa pemerintahan ini sangat memahami sekali bahwa subsidi energi kalau dipindahkan ke pengeluaran yang lebih produktif, contohnya ke infrastruktur dan perlindungan sosial, itu memiliki dampak yang baik. Karena itulah, pilihannya dari awal seperti itu. Tapi tentu pilihan itu tidak harus selalu menjadi dogmatik. Dia harus tetap ditaruh dalam konteks yang terjadi dari tahun ke tahun.
Saya mau menyampaikan juga di tahun 2017 ini, keputusan tidak menaikkan harga (energi) itu memang berdampak ke anggaran. Tapi kami berharap ini memiliki dampak juga ke perekonomian. Ini balancing (penyeimbangan) yang dicari.
Apakah kebijakan distribusi tertutup elpiji 3 kilogram akan ditunda karena kenaikan subsidi energi tahun depan?
Distribusi tertutup itu sudah jadi pembahasan di Banggar (Badan Anggaran). Sebagai kebijakan yang dibicarakan di pendahuluan, sepertinya tetap akan dilakukan. Implementasinya, bisa lewat pilot project atau nanti kami tanya dengan yang di Kementerian ESDM. Bagaimana konsepnya ESDM nanti dan siapa yang mau diperintah.
Mengapa kebijakan anggaran pemerintahan ini terlihat lebih ekspansif dari sisi belanja sehingga akan berimplikasi pada kenaikan utang?
Persepektifnya, tingkat pembangunan infrastruktur kita sudah sejak lama tidak cukup, sehingga sudah sejak awal pemerintahan ini, saya yakin Anda juga bisa buka semua your own report (laporan Anda), semua itu teriak "kita kekurangan infrastruktur". Infratsruktur yang dirasakan kurang terus itu menjadi bottleneck (penghambat).
Mau kita beli barang lebih banyak, tapi jalanannya macet? Kita mau produksi lebih banyak tapi listrik enggak cukup, telekomunikasinya tidak ada, pelabuhan tidak mencukupi, atau jalannya enggak nyambung? Disadari sejak awal pemerintahan ini, salah satu kuncinya adalah bangun infrastruktur.
Di situlah kemudian, pembangunan infrastruktur itu membutuhkan biaya yang tinggi dari awal. Tapi sambil biaya infrastruktur, tidak boleh ditinggalkan juga perlindungan sosialnya. Karena itu, APBN fokusnya selalu untuk mengurangi ketimpangan dan kemiskinan.
Bagaimana mengatasinya?
Jadi kebutuhan belanjanya besar, penerimaan pajaknya dalam jangka pendek agak chalengging sehingga diputuskan bahwa defisit APBN diperbesar. Makanya kita lihat defisitnya sampai 2,5% (tahun 2015), 2,4% (tahun 2016), dan tahun ini diperkirakan 2,67%. Tahun depan kami konsolidasi sehingga seperti disampaikan di 2,19%.
Itu adalah tren yang mau kami buat. Defisitnya kami tahan di level itu, defisit primernya kami kurangi, kalau bisa kami upayakan positif, mungkin di tahun depan defisit primernya sekitar Rp 78 triliun.
Bagaimana kerja sama dengan swasta agar pembangunan infrastruktur tidak terlalu membebani APBN?
Kerja sama swasta itu tahun 2016 ada sekitar beberapa belas proyek yang ditandatangani. Jadi financial closing. Tahun ini sudah lebih banyak lagi. Presiden sudah mengeluarkan 245 daftar proyek yang sifatnya strategis, ditawarkan kepada swasta. Itu KPPIP di kantor Menko Perekonomian. Lalu, kalau membutuhkan garansi pemerintah disediakan modalitas. Bappenas juga giat keluar dengan pembiayaan investasi non-APBN. Karena itu memang jadi kerja bersama.
Tapi prosesnya tidak bisa cepat. Swasta itu kalau diajak bisnis lihat term and condition-nya. Ini pemerintah menawarkan apa, KPBU (Kerja Sama Pemerintah Badan Usaha) itu kan berarti ada bagian pemerintah juga. Entah bagian pemerintah guarantee letter, atau bagian pemerintah adalah viability payment, atau viability get fund, harus dihitung-hitung dulu.
Berbeda dengan proyek yang dibiayai murni dari anggaran pemerintah. Itu direncanakan, didiskusikan dengan DPR, dianggarkan, kemudian eksekusi. Kalau dengan swasta, itu lain lagi. Mereka menghitung dulu, kemudian dilihat term and condition. Kalau tahun 2015 swasta cuma melihat itu. Baru tahun 2016 mulai ada berapa belas proyek yang financial closing. Ini indikasi pihak swasta mulai comfortable (nyaman) dengan term and condition pemerintah.