Bisnis gas di Indonesia mengalami kontradiksi. Saat ini, produksi gas tidak diserap di dalam negeri sehingga sebagian produksinya harus diekspor ke luar negeri dengan kontrak jangka panjang. Namun, pada 2019 nanti, negara ini diperkirakan kekurangan pasokan gas sehingga harus mengimpor dari luar negeri.
Selain konsumsi gas di dalam negeri terus meningkat, penyebabnya adalah produksi gas diramal bakal stagnan, bahkan sedikit turun, dalam beberapa tahun ke depan. Pangkal soalnya yaitu beberapa megaproyek gas masih menghadapi kendala, seperti proyek Blok Masela di Maluku dan Proyek Tangguh di Papua.
Pemerintah berupaya mengendalikan impor sehingga pangsa pasar domestik juga bisa terjaga dalam jangka panjang. “Keseimbangan itu memang harus dijaga antara domestik dan impor,” kata Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I Gusti Nyoman Wiratmaja Puja kepada wartawan Katadata, Arnold Sirait, di sela-sela forum “The 40th IPA Convention and Exhibition” di Jakarta, Jumat (27/5). Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana kondisi bisnis gas hingga 2019 yang terancam impor gas, padahal saat ini gas dalam negeri belum terserap?
Kondisi gas saat ini cukup bagus dengan produksi sekitar 8 ribu mmscfd (juta standar kaki kubik per hari). Sedangkan serapan dalam negeri sekitar 4 ribu mmscfd. Sisanya masih dieskpor. Kami ingin serapan gas melaju cepat, tapi kendalanya nomor satu adalah infrastruktur. Kita banyak butuh gas untuk pembangkit listrik dan industri di berbagai tempat. Tapi infrastrukturnya belum terbangun. Dengan proyeksi jika infrastruktur terbangun baik maka tahun 2019 produksi kita tidak akan cukup memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Apa faktor utama impor gas?
Kalau produksi ke depan ini sampai 2025 belum akan ada peningkatan signifikan. Proyek yang akan onstream ENI (Proyek Jangkrik) dan IDD (Indonesian Deepwater Development) Bangka (milik Chevron) untuk menambah produksi. Tapi kan ada juga penurunan. Artinya, kalau produksi hampir konstan atau turun sedikit tapi dengan adanya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur maka akan membantu penyerapan gas untuk domestik hingga naik cukup tajam. Jadi kita butuh tambahan untuk dalam negeri.
Di sisi lain, kontrak-kontrak gas itu jangka panjang. Jadi tidak bisa disetop tiba-tiba untuk dipakai di dalam negeri. Kita harus tetap hormati kontrak itu.
Apa antisipasi pemerintah untuk mengendalikan impor sehingga pangsa pasar domestik juga bisa terjaga?
Keseimbangan itu memang harus dijaga antara domestik dan impor. Jadi harga impor LNG saat ini memang jauh lebih murah dari dalam negeri. Kita tidak bisa impor begitu saja dan gas dalam negeri kita flare atau curtail. Jadi ini harus diseimbangkan. Kami izinkan impor gas dari luar, setelah dalam negeri terserap semua.
Apakah bakal ada regulasi untuk itu?
Akan ada regulasi tata kelola gas. Di situ akan disebutkan, ada rekomendasi impor LNG, siapa saja yang boleh, dan bagaimana prosedurnya. Apa persyaratannya.
Bagaimana upaya Kementerian ESDM agar lebih banyak gas yang diserap di dalam negeri?
Kementerian ESDM dalam beberapa tahun terakhir sangat massif mendorong pembangunan infrastruktur. Kami sudah punya roadmap pembangunan infrastruktur sampai 2030 dengan kebutuhan investasi US$ 48,2 miliar. Kalau ini terbangun dan roadmap bisa berjalan baik maka otomatis penggunaan gas dalam negeri jauh lebih besar dari yang diekspor. Gas yang diekspor saat ini, kalau masa kontraknya habis maka akan kita pakai dalam negeri, tidak lagi diekspor.
Apa saja infrastruktur gas yang akan dibangun pemerintah?
Fokus nomor satu adalah menggunakan LNG (gas alam cair) untuk wilayah timur karena wilayah tersebut sangat tertinggal. Penyediaan energinya tertinggal, gas infrastruktur tidak ada sehingga industri di sana kurang berkembang. Anchor buyer-nya adalah PLN dengan memakai FSRU (Floating Storage Regasification Unit) kecil di Bali, atau bisa land base. Bisa juga FSRU besar, ada hub dan sebagainya.
Kedua, membangun jaringan pipa. Jadi, jaringan pipa di Jawa harus segera terbangun. Jalur Gresik-Semarang dalam proses 74 persen. Selanjutnya Semarang-Cirebon, terus menyambung dengan Cilamaya. Jadi grid utara bisa menyambung. Setelah itu beberapa tahun ke depan, grid selatan juga akan disambung dari Cilacap, ke Solo, Yogyakarta, Ngawi dan sebagainya. Dengan infrastruktur pipa maka utilisasi gas bisa massif di Jawa.
Bagaimana untuk daerah lainnya?
Sedangkan di Sumatera, kita akan sambung Trans Sumatera. Dari Duri-Dumai, lalu Dumai-Medan. Jadi menyambung semua di situ. Untuk Kalimantan Timur, kami akan garap Samarinda dan Balikpapan sehingga dapat tersambung sampai 15 tahun ke depan. Kita harapkan Kalimantan Selatan, Timur dan Barat itu sudah tersambung. Apalagi Natuna nanti ada teknologi baru sehingga bisa digunakan (untuk produksi dan memasok gas).
Bagaimana dengan masalah harga gas?
Salah satu pekerjaan rumah besar di gas ini adalah harga. Karena sistem harga yang kita gunakan sekarang adalah fixed price untuk gas pipa. Saat harga minyak tinggi sekali maka industri bisa menggunakan gas pipa. Begitu harga minyak turun, jatuh seperti sekarang sehingga harga gas dan minyak hampir sama, maka tidak ekonomis lagi (sistem fixed price). Hal ini yang sedang kami kaji, apakah harga gas perlu mengikuti harga minyak ke depan.
Kedua, untuk menolong industri, pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 40 untuk stimulus ekonomi. Adanya Perpres ini membantu industri-industri padat karya untuk menggunakan gas sebagai bahan baku. Antara lain, industri pupuk dan petrokimia. Dengan penurunan harga gas ini, kami harapkan industri maju cepat meski penerimaan negara berkurang ke depannya. Tapi dengan industri maju maka ada tambahan pajak dan sebagainya. Kajian yang dilakukan Kementerian Perindustrian adalah, kalau harga gas turun satu dolar maka efek ekonominya itu tiga atau empat kali lipat. Jadi itu cukup membantu.