Yang Terjadi Saat Ini Bukanlah Krisis

Arief Kamaludin|KATADATA
2/5/2016, 06.00 WIB

Perekonomian berbagai negara sedang menghadapi ujian. Dalam wawancara dengan sejumlah wartawan di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, pada Senin, 25 April 2016, Kepala Ekonom Development Bank of Singapore (DBS) David Carbon menyebutkan pertumbuhan ekonomi akan terus melambat. Namun hal ini bukanlah suatu krisis. 

Karena itu, tidak semua negara mengalami pelambatan ekonomi. Bahkan, sejumlah negara malah menuju perbaikan. Misalnya, Indonesia, Filipina, India, dan Thailang sedikit membaik tahun ini. Namun Malaysia dan Cina melemah. Secara keseluruhan, kondisi perekonomian di Asia sudah lebih baik dalam tiga tahun terakhir.

Carbon menuturkan, selama ini pemberitaan di koran seakan-akan menjelaskan perlambatan ekonomi terjadi di seluruh belahan dunia. Tapi dalam pandangannya tidaklah demikian. Amerika Serikat, sebagai contoh, tidak berubah sama sekali. Berikut ini petikan wawancara dengannya.

Perekonomian dunia saat ini mengalami pelambatan. Apa penyebabnya?

Semua orang di dunia mencemaskan krisis global, mengkhawatirkan pelambatan ekonomi. Sebaiknya kita terbiasa dengan kondisi ini karena memang pertumbuhan tidak akan beranjak membaik dalam waktu singkat. Akan tetap di posisinya. Bahkan, pertumbuhan akan melambat dan terus melambat. Yang tidak disadari oleh kita selama ini adalah pertumbuhan populasi juga melambat. Selain itu, perkembangan kelompok usia bekerja yang melambat pun luput dari pengamatan kita.         

Lalu, apa yang sebenarnya terjadi pada kuartal pertama tahun ini?

Saya ingin menjelaskan mengenai yang terjadi untuk jangka pendek. Apa yang terjadi pada kuartal pertama? Pasar melemah. Kita bisa melihatnya di mana saja. Hal ini membuat bank sentral dan International Monetary Fund (IMF) cemas. Begitu pula dengan Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Bank of Japan (BoJ) bahkan menurunkan suku bunganya hingga ke level negatif. Sementara itu, The Fed sudah memulai program mormalisasinya, karena semua orang sekarang takut adanya krisis.

Jadi saat ini dunia bersiap menghadapi krisis?

Sebenarnya, jika kita melihat proyeksi pertumbuhan, tidak ada yang namanya krisis. Kita ambil Eropa sebagai contoh. Pertumbuhan Eropa diprediksi 1,5 persen tahun ini. Angka tersebut sedikit lebih baik dibanding tahun lalu yang sebesar 1,4 persen. Di tahun sebelumnya, pertumbuhan bahkan nol persen. Jadi angka 1,5 persen ini sebenarnya membaik, bukan melemah.

Bagaimana dengan negara-negara di Asia?

Jepang diperkirakan mengalami pertumbuhan 0,6 persen. Ini lebih baik dari tahun lalu maupun tahun-tahun terdahulu yang hampir menyentuh nol. Di Asia, pertumbuhan diharapkan mencapai 6 persen, atau tepatnya 5,8 persen. Sebenarnya ini lebih rendah dibanding tiga atau empat tahun silam yang mencapai 6,5 persen. Namun perbedaan ini tidak terlalu besar. Hal ini bukanlah krisis. Saya tidak mengerti mengapa banyak yang menganggapnya sebagai krisis. Pasar sudah kembali bergairah setelah sempat panik. Tidak ada lagi alasan bagi pasar untuk kembali melemah. Yang sekarang terjadi adalah inflasi inti yang terus-menerus.

Kebijakan apa yang dikeluarkan bank-bank sentral dalam menghadapi inflasi?

Inflasi inti terjadi pada bahan makanan dan energi. Di Eropa dan Jepang, terutama di Amerika Serikat, bank sentral hanya fokus pada inflasi ini. Karena, mereka hanya mampu campur tangan atas inflasi inti. Yang menjadi perhatian utama adalah meningkatnya harga bahan makanan dan produk energi. The Fed mentargetkan inflasi dua persen. Pada Desember lalu, The Fed sempat berencana menaikkan suku bunga untuk memenuhi target tersebut. Ternyata inflasi melampaui target. Saya rasa dalam jangka pendek, pasar telah salah paham. The Fed kembali mempertimbangkan untuk menaikkan suku bunganya. Namun hal ini masih dalam perdebatan.

Jadi krisis tidak akan terjadi dalam jangka pendek. Bagaimana kondisi ekonomi untuk jangka panjang?

Pertumbuhan akan baik-baik saja. Seperti yang sudah saya sampaikan, kita harus terbiasa dengan pertumbuhan yang melambat karena kondisi ini masih akan berlangsung. Ada dua hal yang menjadi penyebabnya. Selain pertumbuhan populasi yang merosot tajam, usia penduduk juga semakin tua. Pertumbuhan populasi penduduk berusia 20 hingga 65 tahun turun drastis dibanding keseluruhan populasi. Hal ini berpengaruh terhadap produk domestik bruto (PDB). Kita harus selalu ingat bahwa PDB dipengaruhi dua faktor, populasi penduduk usia bekerja serta produktivas. Jepang bisa menjadi contoh negara dengan pertumbuhan populasi yang sangat lemah, hingga minus 0,2 persen saat ini. Jepang mengalami pertumbuhan negatif untuk populasinya.

Apakah Indonesia mengalami hal yang sama seperti Jepang?

Saat ini, Indonesia masih memiliki pertumbuhan populasi penduduk usia bekerja yang baik, juga dengan produktivitasnya. Keduanya masih tinggi dan hal ini sangat penting. Namun, Indonesia sesungguhnya bisa lebih baik lagi. Saya rasa Indonesia dapat tumbuh enam hingga 6,5 persen. Jika populasi tumbuh 1,5 persen, pertumbuhan produktivitas di Indonesia setidaknya lima persen. Dengan demikian, pertumbuhan PDB bisa menembus 6,5 persen. Negara-negara lain di Asia mampu melakukannya. Indonesia juga harus bisa.

Bagaimana dengan reformasi struktural yang dijalankan pemerintah? Apakah berdampak signifikan?

Ini sangat penting. Pada akhirnya, pertumbuhan produktivitas mencerminkan pertumbuhan pendapatan. Baik itu Jepang, Korea, Cina, maupun Indonesia, semuanya melakukan percepatan reformasi struktural. Oleh karena itu perlambatan terjadi. Pertumbuhan selalu merosot. Satu-satunya jalan yang bisa ditempuh untuk membuatnya meningkat dengan cepat adalah dengan menciptakan industri baru, melakukan reformasi, dan perubahan struktural. Tidak peduli apakah itu di Indonesia, Thailand, Singapura, atau Jepang. Semua harus melakukannya. Perdagangan bebas memang hal yang menyenangkan. Namun saya rasa perubahan struktural lebih penting, melalui percepatan pembangunan infrastruktur, peningkatan taraf pendidikan. Investasi untuk manusia harus dilaksanakan melalui pendidikan. Khusus untuk Indonesia, kita berbicara bagaimana mencari jalan keluar dari ketergantungan terhadap komoditas.

Apakah kebijakan fiskal dan moneter tidak banyak berpengaruh?

Kebijakan fiskal hanya untuk jangka pendek. Begitu juga dengan kebijakan moneter, yang bahkan cuma berlaku di masa yang lebih singkat. Kita tidak ingin membuat kesalahan dalam kebijakan moneter maupun fiskal. Keduanya bukan merupakan solusi. Jika kita menginginkan perbaikan dalam jangka panjang, yang harus dilakukan adalah perubahan struktural. Melalui apa saja? Melalui investasi, pendidikan, logistik, dan infrastruktur yang lebih baik.

Jika demikian, utang akan bertambah?

Kalau kita menginginkan lebih banyak investasi, kita harus siap dengan utang yang lebih besar. Utang bukan sesuatu yang buruk. Kita baru akan mengalami masalah jika negara menghadapi investasi yang buruk. Misalnya, terlalu banyak gedung perkantoran.