Ada Ceruk Pasar yang Niche saat "New Normal" Covid-19 (Bagian 2)

Katadata
Chatib Basri
Penulis: Yura Syahrul
10/5/2020, 08.30 WIB

Belum lama ini, Presiden Joko Widodo membuat pernyataan mengejutkan yaitu mengajak masyarakat berdamai dengan pandemi Covid-19. Maksudnya, masyarakat perlu produktif meski virus corona masih mewabah dan belum ditemukan vaksinnya. Caranya adalah menyesuaikan kehidupan dengan kondisi saat ini alias hidup normal dengan cara baru (new normal).

"New Normal" menjadi frasa yang belakangan sering terdengar di saat pandemi virus corona --yang muncul akhir tahun lalu dan menjangkiti hampir seluruh dunia-- tak jelas kapan akan berlalu. Padahal, pandemi telah memukul semua sektor kehidupan masyarakat dan perekonomian diprediksi terpuruk lebih dalam dibandingkan krisis-krisis sebelumnya.

Dalam wawancara khusus secara virtual dengan Katadata.co.id, awal Mei 2020 ini, mantan Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri menyatakan, krisis Covid-19 ini berbeda dan lebih unik dibandingkan krisis-krisis ekonomi sebelumnya. Selain penanganannya berbeda, pandemi ini juga mempengaruhi perilaku dan pola aktivitas ekonomi, usaha, serta peluang bisnis.

Bagaimana gambaran kondisi ekonomi dan bisnis di masa “new normal” dan pasca-pandemi? Berikut petikan wawancara dengan Ekonom Universitas Indonesia tersebut, yang terbagi dalam dua bagian. Bagian pertama bisa disimak di sini: Krisis Covid-19 Unik dan Rumit, Perlu Penanganan Berbeda (Bagian 1)

Bagaimana opsi mencetak uang oleh BI untuk menambah likuiditas penanganan Covid-19?

Yang kita lihat, tahun 2008 ketika Amerika melakukan Quantitative Easing (QE), ini efektif. Sekarang Ada lihat, Amerika sudah keluarkan US$ 2 triliun melalui stimulus unlimited QE, tapi pasar keuangan di Amerika tidak membaik. Itu menunjukkan kebijakan moneter dengan fiskal di Amerika, itu juga tidak seefektif seperti ketika dilakukan 2008. Karena persoalannya, pandeminya. Di Amerika itu menjadi masalah besar, jumlah kematiannya tinggi.

(Baca juga: Rekor Tambahan 533 Kasus, Positif Virus Corona RI Jadi 13.645)

Jadi langkah yang tepat saat ini?

Fokus pada pandemi itu tidak bisa dihindarkan. Tidak bisa diganti dengan kebijakan fiskal, kebijakan moneter. Karena itu, walau sudah stimulusnya segitu banyak, ekonomi Amerika tetap shaky. Anda lihat angka penganggurannya, sektor finansialnya, itu sangat shaky.

Jadi kalau yang efektif dari QE itu sebetulnya adalah life. Mereka melakukan Quantitative Easing untuk membantu perusahaan-perusahaan. Jadi perusahaan itu tidak mati di Amerika. Perusahaan diminta mengeluarkan surat utang, dan berutang ke bank sentral. Kalau berutang ke bank sentral, maka perusahaan itu punya likuiditas.

Dengan likuiditas itu, perusahaan tidak tutup dan tidak memberhentikan orang. Jadi tujuannya itu lebih daripada untuk stabilitas di sektor finansial, tapi menyediakan life line untuk aktivitas bisnis. Ada yang namanya triple P. Misalnya, paycheck property payment, itu misalnya yang diberikan bank sentral di Amerika. UKM dijamin. Kemudian kredit dari UKM yang dijamin itu mendapat bantuan dari bank sentralnya.

Jadi kebijakannya itu bukan untuk membuat pasar keuangan stabil, tetapi lebih kepada proteksi. Kalau orang diberikan social protection, diberi cash, diberi macam-macam. Kalau perusahaan diberikan sosial protection, supaya tidak PHK orang.

Apakah skema QE untuk proteksi perusahaan bisa dilakukan Bank Indonesia?

Bank Indonesia tidak memilih itu. Saya tidak tahu. Itu mesti tanyakan ke Bank Indonesia, kenapa tidak mau melakukan pola yang sama seperti yang dilakukan bank sentral Amerika.

Apakah itu dimungkinkan secara regulasi?

Kalau soal regulasi kan itu bisa dibikin. Secara regulasi, defisit anggaran kita tidak boleh lebih 3%. Tetapi dengan Perppu, diubah batasnya. Begitu juga, secara regulasi Bank Indonesia tidak boleh membeli obligasi di pasar perdana. Tapi kemudian itu bisa dilakukan. Jadi kalau di dalam kondisi extraordinary, saya tidak melihat bahwa regulasi itu adalah masalah. Jadi persoalannya bukan di situ.

Kalau QE dengan mencetak uang tidak akan efektif, apa yang perlu dilakukan BI saat ini?

Saya berbeda pandangan antara cetak uang dengan QE. Kalau bicara mengenai cetak uang, itu bicara mengenai pembiayaan, dimana defisit anggaran di Amerika dibiayai dari bank sentral. Memang di dalam program QE, bank sentral mencoba injeksi likuiditas cukup besar. Dalam kasus di Amerika itu bisa dimungkinkan sebab kalau cetak dolar maka yang memakainya itu seluruh dunia. Semua aktivitas internasional di seluruh dunia itu menggunakan US dollar. Karena itu permintaan terhadap dolar tinggi dimana pun. Indonesia dagang dengan Singapura juga menggunakan US dollar. Jadi kalau cetak uang, antara jumlah barang dengan jumlah uangnya itu seimbang.

(ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/wsj.)

Jadi tidak bisa mencetak rupiah yang banyak?

Kalau misalnya rupiah dicetak begitu banyak, sementara yang menggunakannya hanya di lokal maka aktivitas ekonominya tidak berjalan. Anda menambah pasokan uang sementara produksinya tidak ada. Maka risikonya inflasi naik karena jumlah uang beredarnya lebih banyak daripada kebutuhan.

Ini sama dengan hukum suppply demand. Kalau pasokan ditambah, maka harga dari barang itu akan turun. Kalau pasokan uang ditambah maka demand-nya tidak naik sehingga harga uangnya turun. Harga uang yang turun itu kan inflasi sebetulnya.

Jadi, apakah ada ruang BI untuk mencetak uang? Ada, karena dalam situasi seperti ini, aktivitas ekonominya rendah. Di dalam konsep yang namanya “Keynesian Range”, kalau Anda cetak uang maka menambah agregat permintaan. Resources-nya masih banyak sehingga bisa meningkatkan output. Tapi jangan lupa bahwa produksi juga mengalami penurunan. Jadi uangnya tidak banyak.

(Baca juga: Skenario Mal Dibuka Juni, Pengusaha Siapkan Protokol Kesehatan Ketat)

Di sisi lain, apakah pemerintah masih punya ruang fiskal untuk membiayai pemulihan ekonomi?

Kalau bicara ruang fiskal maka pertanyaannya adalah, untuk apa? Tidak bisa menaikkan defisit tapi tidak tahu itu digunakan untuk apa. Jadi, defisit itu akan ditentukan oleh seberapa besar kebutuhan. Kalau ditanya semua kementerian, semua pasti akan bilang butuh. “Saya perlu uang, saya perlu bujet."

Persoalannya adalah uangnya terbatas, jadi mesti ada prioritas di dalam anggaran. Pertama, untuk kesehatan. Kita lihat rasio dari tempat tidur terhadap populasi, bahkan di Jawa itu sangat rendah. Kemudian rasio dokter terhadap populasi, itu sangat rendah. Kalau jumlah kasus positifnya meledak maka mungkin rumah sakit, dokter dan obat tidak cukup. Apakah sekarang jumlahnya sudah mencukupi untuk anggaran? Itu yang harus dilihat.

Kedua, di dalam perlindungan sosial, diberikan BLT dan PKH. Tapi ada satu hal yang unik dari krisis ini, yang berbeda dengan krisis sebelumnya. Di seluruh dunia, yang selalu dilindungi adalah kelompok miskin karena memang sangat rentan. Tapi jangan lupa di dalam kasus Covid-19 ini, orang tidak boleh punya aktivitas ekonomi. Karena PSBB, dia tidak boleh jualan. Orang seperti ini kan mesti diberi kompensasi, dan mereka itu bukan kelompok miskin.

Jadi, kompensasi atau bantuan sosial tidak hanya untuk kelompok miskin?

Iya, diberikan juga untuk mereka yang terdampak social distancing. Terutama yang memang tidak punya tabungan cukup besar, itu yang saya sebut sebagai lower middle income group. Masalahnya, BLT dan PKH itu tidak menyediakan uang untuk mereka, karena datanya tidak ada. Dan memang pemerintah tidak pernah berpikir untuk membantu kelas menengah bawah. Buat apa? Mereka bukan orang miskin. Tapi dalam kondisi ini, dia butuh uang karena tidak ada kerja.

Yang jadi persoalan adalah data. Bagaimana mengidentifikasi data? Identifikasi siapa yang bisa dapat BLT itu basisnya adalah aset yang dimiliki. Misalnya, luas rumahnya. Rumahnya kecil dan lantainya tanah, maka dia masuk dalam kategori miskin.

Tapi ada orang-orang yang gajinya tiga-empat juta, jelas bukan miskin. Rumahnya tidak lantai tanah. Tapi gara-gara kehilangan penghasilan beberapa bulan, dia jmenjadi miskin. Ini yang harus diproteksi. Nah, ini yang butuh data.

Bagaimana kesiapan data ini?

Saya bicara mengenai kemungkinan penggunaan data dari Kartu Prakerja yang saat ini kontroversial. Kartu Prakerja, bantuannya bisa dibuat dalam bentuk BLT. Tapi yang bisa dipakai itu adalah saringannya. Orang tidak suka dengan online itu, tapi itu bisa mencerminkan siapa yang desperate. Mereka yang melihat tidak ada gunanya, itu berarti punya income lain. Tapi yang tidak punya pilihan lain, dia pasti ikut walaupun tidak suka dengan sistem online. Yang penting dapat Rp 600 ribu. Dari situ kita tahu, siapa yang benar-benar butuh uang atau tidak.

Ada kasus di India, yang diberikan tepung atau apa, kemudian di bawah kantung tepung itu ada uang. Mereka yang cari uang, tidak begitu butuh tepungnya. Mereka kemudian marah dan tidak mau menerima bantuan itu. Tapi, yang benar-benar desperate, yang butuh makanan, maka akan mengambil kantung itu. Dia pun mendapat uangnya. Itu menunjukkan review preference.

Opsi kedua, bisa melalui data telekomunikasi. 90% dari penduduk Indonesia itu punya handphone. Kalau punya handphone, orang itu harus beli simcard. Jadi, dia harus daftar dan menaruh NIK-nya. Katakanlah datanya tidak akurat 100%, ada 75% lumayan.

Kalau Kementerian Dalam Negeri kerja sama dengan telekomunikasi, kerja sama Kementerian Sosial, maka bisa punya “by name by addres”. Perusahaan telekomunikasi bisa melihat, siapa yang pulsanya banyak tapi karena uangnya terbatas maka segitu saja belinya, atau mereka yang memang prime customer yang tinggi. Dari situ bisa dilakukan socioal economic analysis, mengenai siapa yang lower middle income group.

Kemudian cara membantunya, injeksi atau top up saja pulsanya. Dia bisa cash out di Indomaret kan. Atau gunakan itu di e-wallet. Jadi kreativitas di dalam model seperti ini itu perlu dilakukan.

(ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj.)

Berarti perlu perluasan penerima bantuan sosial?

Kalau kreativitas itu tadi dilakukan, maka ada kebutuhan untuk dananya. Kalau menurut World Bank, expiring middle class atau kelas yang akan menjadi kelas menengah baru, sebesar 115 juta orang. Kalau satu keluarga itu empat orang, berarti 30 juta rumah tangga. Jadi untuk satu rumah tangga, diberikan dana kompensasi sepertiga dari UMR yaitu misalnya Rp 1 juta. Jangan sama dengan UMR, nanti orang berhenti kerja. Kemudian dikalikan 30 juta keluarga, berarti Rp 30 triliun. Mau diberi berapa lama, tiga bulan? Tergantung pandeminya berapa lama. Kalau tiga bulan, berarti kebutuhannya Rp 90 triliun.

Itulah fiskal space yang harus ditambah. Jadi cara menghitungnya itu harus dilihat dari, apa kebutuhannya. Kalau sudah tahu kebutuhan, misalnya lower middle income group mesti ditambah, rumah sakit ditambah maka berapa kebutuhannya? Baru kita bicara mengenai pendanaannya. Sumbernya dari mana?

Bisa tidak sumbernya dengan melakukan prioritisasi bujet. Apakah anggaran pemerintah itu prioritasnya sudah tajam? Contohnya anggaran untuk traveling, perjalanan dinas itu Rp 43 triliun. Dalam kondisi PSBB tidak ada orang yang traveling, sekarang sudah diturunkan Rp 25 triliun. Kenapa tidak dibikin misalnya sekitar Rp 1 triliun saja. Yang Rp 24 triliun bisa dihemat dan dialokasikan lagi.

Halaman: