Apa saja produk atau komoditas ekspor yang terkena kondisi tersebut?

Batu bara dan kelapa sawit karena 40% ekspor kita adalah itu, komoditas bahan baku. Yang terjadi karena permintaan dari Tiongkok menurun, maka terjadilah demand shock. Akibatnya, harga baru bara dan kelapa sawit jatuh. Jadi ini kombinasi dari supply dan demand shock. Dari sini, dampaknya akan ke ekspor. Kalau ekspor kena, maka orang akan menurunkan investasinya.

Di sisi lain, karena sisi ekspor kena, penghasilan orang di batu bara dan CPO juga kena sehingga pendapatannya hilang. Kalau income-nya hilang, maka daya belinya turun. Kalau daya belinya turun, maka orang akan bilang, "saya tidak mau menambah produksi. Mengapa saya menambah produksi kalau permintaannya tidak ada?"

Kalau permintaannya tidak ada, maka permintaan kredit ke bank juga turun. Di sisi lain, karena pasokan yang kena maka produksinya berkurang. Ujungnya terjadi PHK. Jadi kita bisa lihat sequence-nya, polanya seperti itu.

Sekarang diberlakukan PSBB atau social distancing. Aktivitas ekonominya berhenti. Implikasinya, pertama, orang itu akan menjadi pengangguran karena kehilangan pekerjaan. Makanya, yang pertama harus dilakukan adalah kita harus fokus menyelesaikan pandeminya. Kalau tidak selesai, dampaknya akan terus-menerus di semua negara di dunia. Itu yang dilakukan di Wuhan, di Australia, Korea, Selandia Baru.

Artinya Pemerintah Indonesia juga harus fokus menyelesaikan dulu pandemi?

Jadi pemerintah memprioritaskan penanganan Covid-19 ini, yang sebetulnya tercermin di dalam Perppu (Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Corona). Alokasi dana diberikan unutuk sektor kesehatan.

Kedua, orang harus tinggal di rumah, maka “you are paid to stay at home, you are being paid to stay at home”. "Kalian tinggal di rumah, karena kalian tidak bisa kerja maka kalian harus dibayar." Untuk itu dibutuhkan resources yang besar. Jadi, program kedua yang paling penting adalah memberikan perlindungan sosial.

Ketiga, karena tidak ada aktivitas produksi perusahaan akibat tak ada permintaan, maka perusahaan itu setop. Implikasinya, perusahaan tidak bisa bayar pinjamannya. Maka dalam tiga bulan atau enam bulan sejak bulan Mei, perusahaan akan bilang, "saya tidak bisa bayar kredit.”

Bagaimana efek berantainya ke sektor keuangan?

Ada risiko non-performing loan atau kredit macetnya naik. Bank tidak mau kredit macet naik, tapi sudah terlanjur. Agar jangan sampai makin buruk, bank akan setop pemberian kredit. Akibatnya, working capital-nya berhenti di perusahaan. Kalau life line atau tali nyawanya itu berhenti di perusahaan, dia betul-betul setop. Maka aktivitas ekonominya tidak bisa jalan lagi.

Kalau itu yang terjadi, maka kredit macetnya akan muncul. Selanjutnya, tergantung ini berapa lama. Kalau bank-bank yang cukup kuat modalnya, well capitalize, penurunan dan peningkatan NPL dapat diserap. Tapi kalau bank-bank yang tidak kuat, akan punya problem di sini. Itulah kalau kita bicara mengenai urutannya. Bagaimana dari Wuhan, global, sektor riil, sampai dengan sektor keuangan akan terkena.

(Baca juga: Matahari Tutup Semua Gerai dan Kurangi Jam Kerja Karyawan)

Dalam kondisi sekarang apakah sektor finansial sudah cukup tertekan?

Kalau sampai saat ini belum, karena situasi perbankan kita itu sudah jauh lebih baik. Jadi salah satu pelajaran sebenarnya dari krisis 1998 adalah dilakukannya reformasi perbankan pada waktu itu. Karena itu ketika global financial crisis (tahun 2008), dampak di sektor keuangannya tidak terlalu besar. Perbankan kita secara umum sudah well capitalize. Jadi modalnya sudah cukup kuat.

Memang ada bank-bank tertentu yang modalnya tidak cukup kuat. Tapi saya melihat bahwa sektor perbankan itu jauh lebih strong. Sehingga mungkin mereka bisa menahan situasi ini, sampai derajat tertentu.

(ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc.)

Kalau pandeminya sampai tahun depan, tentu modalnya akan mengalami penurunan. Makanya faktor berapa lama pandemi ini akan menentukan semua analisa yang ada. Sayangnya tidak ada yang bisa menjawab itu.

Jadi kalau misalnya bicara skenario sampai dengan Desember, saya kira sektor perbankan masih bagus. Mungkin ada beberapa bank akan terganggu, tapi secara umum itu well capitalize. Saya tidak bisa bilang bahwa semua bank, dan ini juga sensitif ya. Tapi secara umum sektor keuangan kita itu relatif kuat, karena likuiditas juga.

Saya kasih contoh. Uang deposito itu turun karena orang tidak ada yang punya aktivitas ekonomi. Maka permintaan terhadap kredit bank turun, malah mungkin turun sekali. Akhirnya yang terjadi adalah bank itu punya likuiditas banyak. Padahal, problem dari krisis perbankan itu selalu persoalannya adalah likuiditas yang kurang.

Apa pelajaran dari krisis tahun 97/98 dan 2008, yang bisa dilakukan dalam menangani Krisis Covid-19 tahun 2020 ini?

Ini pertanyaan yang bagus karena susah dijawab. Beda soalnya. Saya harus mengatakan beda. Karena, 97-98 itu yang saya sebut “homegrown but not home alone”. Jadi, asalnya dari domestik tapi Indonesia tidak sendiri, karena ada soal fundamental ekonomi. Kalau krisis tahun 2008 itu dipicu oleh subprime, jadi eksternal.

Di dalam kondisi sekarang, itu dipicu oleh Covid-19, oleh wabah, oleh pandemi. Kemudian ditambah lagi dengan aktivitas ekonomi yang tidak berjalan. Jadi kalau 97-98, korporasi besar itu kena. Tapi Anda bisa berharap dari UKM. Pada 2008, eksternalnya kena, tapi Anda bisa berharap dari domestik. Tapi kalau Covid-19 ditambah dengan social distancing, itu semuanya kena: yang besar, yang kecil, lokal, eksternal. Karena aktivitas ekonominya tidak boleh berjalan. Itu yang membuat kondisinya menjadi jauh lebih parah dibandingkan dengan situasi sebelumnya.

Jadi penanganannya pun berbeda dan lebih berat?

Esensi dari aktivitas ekonomi adalah pasar. Sekarang pasarnya tidak boleh eksis, kecuali yang virtual seperti ini. Jadi, aktivitas ekonomi tidak boleh ada. Ini yang ekstrim tentunya. Karena itu, penanganannya beda, Tapi mungkin kalau ada yang perlu dipehatikan di sini, lesson learned tentu kita harus jaga misalnya pangan. Karena kalau pangan kurang, harganya naik. Maka itu menimbulkan persoalan sosial yang terjadi seperti tahun 1998. Kemudian sektor keuangannya harus relatif kuat. Karena kalau tidak kuat dan periodenya panjang maka sektor keuangan bisa terkena. Itu mungkin, karena saya melihat dari nature dari krisisnya itu berbeda.

Jadi tidak bisa penanganan saat ini meniru dari krisis-krisis sebelumnya?

Tidak bisa. Kebetulan 2008 saya terlibat. Saya ada di pemerintahan waktu itu, bantu Ibu Sri Mulyani (Menteri Keuangan). Saya terlibat menangani makronya dan juga sebagai deputi untuk G20. Jadi pada waktu itu --ya kalau sudah lewat enak ngomongnya-- itu relatif lebih mudah. Karena, kita tahu bahwa sumbernya eksternal, kemudian yang kita lakukan adalah stimulus fiskal saja. Daya beli domestik dinaikkan, kita pindah ke lokal, maka permintaannya akan naik.

Tahun 2013, ketika saya jadi Menteri Keuangan, itu saya tahu persis persoalannya adalah karena tekanan defisit. Jadi yang dilakukan adalah potong subsidi BBM, interest rate-nya naik, kita selesai, kita selamat.

Tapi di dalam Covid-19 ini, kalau misalnya mau meningkatkan daya beli, apa yang mau dibeli orang kalau barangnya tidak ada? Anda mau turunkan bunga, apa gunanya kalau kemudian orang tidak meminjam kredit?

Jadi yang bisa dilakukan, pertama, alokasi uang untuk sektor kesehatan. Kedua, orang tinggal di rumah ini diberikan bantuan sosial. Ketiga, menolong perusahaan agar tidak tutup. Hanya itu saja. Nanti situasinya setelah normal, baru kita bisa bicara mengenai resesi tahun 2008 dan 1998.

Halaman: